Memperjuangkan Kesetaraan dari Tenda Pengungsian
Warga difabel rentan mendapat beban lebih besar saat terjadi bencana. Butuh perhatian khusus agar kesetaraan bagi semua penyintas bisa tetap hidup meski di tenda pengungsian.
Dadan (45) baru saja menuntaskan shalat Dzuhur di sebuah masjid di dekat rumahnya di Kampung Tunggilis, Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, saat bumi bergetar kuat, Senin (21/11/2022).
”Setelah gempa, tubuh saya tertimpa puing bangunan masjid,” kata Dadan di tenda pengungsian Kampung Tunggilis, Kamis (1/12/2022).
Kondisi itu membuatnya panik. Apalagi, alat bantu berjalannya mendadak sulit ditemukan. Difabel netra sejak 18 tahun lalu itu merasa hidupnya di ujung tanduk.
Akan tetapi, keinginannya untuk tetap hidup terlampau besar. Meski tidak mudah, ia meraba-raba sekitarnya mencari jalan keluar.
Usahanya tidak mudah. Baru sekali melangkah, dia menabrak dinding masjid. Lengannya terluka.
Langkah keduanya juga tidak mulus. Dia lagi-lagi terbentur dinding. Kali ini, kepalanya terluka.
Baca juga : Pencarian Korban Gempa Cianjur, Panggilan Hati Si Pencari Jiwa
Untungnya, tidak lama kemudian, dia menemukan pintu keluar. Gagang pintunya tidak macet. Dia berhasil membukanya dan meninggalkan masjid.
Namun, perjuangannya tak berhenti di situ. Berharap ada orang lain menolongnya, ia ternyata sendirian di sekitar masjid. Baru setelah tiba di sekitar jalan raya depan masjid, terdengar suara orang belarian.
”Tulungan abdi (tolong saya),” teriak Dadan mencoba mencari pertolongan.
Kali ini, harapannya tidak sia-sia. Ada anak kecil meraih tangannya sembari mengajaknya lari. Dari suaranya, dia tahu anak itu adalah Bais (8), keponakannya.
”Ini ada apa?” tanya Dadan waktu itu.
”Semua bangunan roboh,” jawab Bais sembari menangis.
Saat itu, Dadan merasa pasrah. Nyawanya ada di tangan anak kelas II SD itu.
Baca juga : Bantuan Pakaian Menumpuk, Penyintas Gempa Cianjur Butuh Bahan Makanan
Beruntung, nasib baik masih bersama mereka. Bais menemukan kedua orangtuanya yang melarikan diri ke tanah lapang. Di sana, Dadan mengucapkan syukur karena bisa bertemu dengan istri dan anaknya.
Akan tetapi, selamat dari guncangan gempa tidak lantas semuanya menjadi baik-baik saja. Di pengungsian, kemandirian Dadan mendapat banyak tantangan.
Belum mendapat pengganti tongkat bantu berjalan, langkah Dadan kerap terganggu tumpukan barang hingga pakaian sumbangan. Banyaknya batuan besar di depan tenda juga menyiksanya.
”Ke depan juga tidak pasti. Belum tahu mau bekerja apa setelah gempa,” kata Dadan yang sebelumnya bekerja sebagai kuli bangunan.
Di pengungsian, kemandirian Dadan mendapat banyak tantangan.
Adaptasi
Kegalauan serupa dialami Elly Sundari (44), ibu dari Muhammad Zildan (18), remaja dengan autisme dan epilepsi, di Kampung Gintung, Desa Mangunkerta, Kecamatan Cugenang. Saat gempa, Elly panik setengah mati karena tidak memiliki bekal mitigasi yang cukup.
Kala itu, Zildan hanya diam di tempat tidurnya. Kemungkinan besar, itu adalah respons anaknya yang ketakutan menghadapi gempa.
Namun, Zildan juga masih diberi umur panjang. Ketika bagian rumah lainnya rusak, kamarnya tidak runtuh.
”Saya bersyukur dia selamat meski salah satu ipar saya sampai kini masih hilang akibat tertimbun longsor,” kata Elly.
Hanya saja, tantangan bagi Elly juga tidak berhenti setelah getaran gempa usai. Di tempat pengungsian, ia dan Zildan harus belajar beradapatasi dari nol.
Baru pertama tinggal di pengungsian, Zildan kerap terbangun pada malam hari. Zildan juga tidak terbiasa berbagi kamar mandi dengan banyak orang. Elly menyiasatinya dengan memakaikan popok. Namun, bukannya nyaman, kulit Zildan malah teriritasi.
Menunggu pendataan
Di antara 114.683 penyintas gempa Cianjur yang mengungsi di 494 lokasi pengungsian, nasib difabel rawan dilupakan. Dadan, misalnya, tidak termasuk dalam difabel yang menerima bantuan dari Kementerian Sosial. Bantuan itu berupa 25 kursi roda, 6 tripod, dan 1 kruk.
Mulyana (42), wakil ketua posko pengungsian Tunggilis, mengatakan, belum ada bantuan bagi warga yang memiliki keterbatasan atau difabel. Dia berharap ada uluran tangan dari berbagai pihak untuk meringankan beban yang dialami warga difabel.
Baca juga : Bantuan Rumah Rusak Terdampak Gempa Cianjur Terealisasi Pekan Depan
Kepala Dinas Sosial Cianjur Asep Suparman mengatakan, pihaknya masih mendata jumlah difabel terdampak gempa. Ia mengklaim, pendataan bukan hal mudah karena terbentur keterbatasan akses menyambangi difabel.
Selain itu, pendataan tidak bisa terburu-buru. Praktiknya harus mendetail karena banyak warga terluka berpotensi meningkatkan jumlah difabel.
Annisa (11), warga Tunggilis lainnya, bisa jadi salah satu di antaranya. Saat gempa merobohkan dinding rumahnya, Annisa hanya bisa pasrah. Ditinggal sang ibu mencari barang bekas untuk dijual dan neneknya pergi ke kebun, dia tidak bisa melarikan diri.
Annisa tidak bisa berjalan karena kaki kirinya terluka akibat kecelakaan sepeda motor tiga bulan sebelumnya.
Beruntung, sebelum dinding rumah benar-benar runtuh, ia melihat pamannya. Dengan susah payah Annisa berhasil dikeluarkan dari rumah. Namun, ia kehilangan alat penyangga kakinya.
Saat ini, di pengungsian, Annisa lebih banyak menahan nyeri. Tidur di dipan tua dilapisi selimut tipis, luka di kaki kirinya masih terasa sangat sakit. Untuk meredakannya, ia hanya mengandalkan obat pereda nyeri.
Di Desa Cirumput, Kecamatan Cugenang, Ny Ai (70) juga masih menahan sakit. Dia terluka saat berusaha melindungi cucunya dari reruntuhan tembok rumah tetangga. ”Mamah (Ai) ketimpa (tembok) dua kali,” ungkap Teti (41), anak Ai.
Akibatnya, lutut kanan Ai retak di empat titik. Ada gips seberat 3 kilogram membekap kakinya. Ai juga menggunakan popok dewasa karena sulit bergerak.
Kini, di antara semua keterbatasan, difabel dan mereka yang rawan mengalami disabilitas berharap kepedulian sesama. Mereka harus bertumpu pada keluarga dan orang terdekat.
Annisa dan Ai kini bergantung pada orang-orang terdekatnya jika tidak tahan harus ke kamar mandi. Mereka harus digendong sembari tetap menahan sakit.
Zildan yang kulitnya mengalami iritasi dan tidak kuat panas di pengungsian juga lebih sering dibawa Elly ke teras rumah yang masih berdiri untuk mendapatkan udara sejuk.
Zildan juga tidak pernah ditinggalkan sendirian. Selalu ada sanak saudara yang menemaninya. Mereka khawatir, tidak semua orang paham dengan cara berkomunikasi Zildan yang terbatas.
”Sekarang kalau ada gempa susulan, dia selalu panggil ayahnya, ibunya, hingga kakaknya. Dia minta semua keluarga supaya berkumpul. Kami akan terus menemaninya,” kata Elly.
Sabtu (3/12/2022) adalah peringatan Hari Disabilitas Internasional. Diperingati seluruh dunia, warga difabel dan mereka yang rawan terdampak di Cianjur pantas mendapat perlakuan lebih baik.