Pencarian Korban Gempa Cianjur, Panggilan Hati Si Pencari Jiwa
Bagi para sukarelawan pencari korban, usaha mereka mencari yang hilang tidak akan pernah sia-sia. Semua menjadi tabungan kebaikan untuk mereka dan keluarga.
Para petugas pencari korban gempa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, berjibaku dengan lumpur tebal hingga bau mayat menyengat. Gempa susulan dan tanah longsor juga sering kali mengancam nyawa. Namun, panggilan hati membuat mereka rela setengah mati mencari korban yang belum ditemukan.
Setelah empat jam lebih bergumul dengan lumpur dan material bangunan, Teguh Susanto (52) akhirnya bisa beristirahat di pinggir jalan dekat Warung Sate Shinta, Cianjur, Rabu (30/11/2022) sore. Kaki keriputnya berkerut terendam air. Bercak tanah sampai ke telinganya.
Bekas lumpur juga hinggap di helm, kacamata khusus, dan rambutnya yang mulai memutih. Celana panjangnya basah dan kotor. Entah berapa kali cangkulnya dihunjamkan ke tanah demi mencari korban yang diduga tertimbun. Begitu kesibukan sukarelawan asal Jember, Jawa Timur, itu sembilan hari terakhir.
Saat gempa bermagnitudo 5,6 mengguncang Cianjur, Senin (21/11/2022), Teguh langsung bersiap ke lokasi bencana. Dari Jember, ia naik kereta api ke Surabaya, lalu menuju Bandung. Ia kemudian naik bus dan ojek hingga tiba di Cugenang, Selasa.
”Kalau sama bekal dan transportasi, kira-kira habis hampir Rp 1 juta. Itu dana dari ’mabes’, mama besar atau istri,” ujarnya diiringi tawa. Sebagai sukarelawan mandiri, ia juga kerap merogoh dompet untuk keperluan lain. Soal makanan, posko menanggungnya.
Tidak hanya mengeluarkan uang, pemilik bengkel pandai besi di Desa Kalisat, Kecamatan Kalisat, Jember, ini juga mendermakan tenaga dan waktunya. Padahal, ia punya 22 pesanan. Satu pesanan bisa selesai lebih dari sehari.
”Pekerjaan saya off dulu. Pelanggan sudah mengerti,” ucapnya.
Baca juga : Kisah Kandang Domba dan Rindu pada Rumah yang Hilang
Berada di lokasi bencana, bahaya pun mengintai. Beberapa kali, gempa susulan terjadi. Bahkan, pada Rabu pagi, pencarian sempat tertunda untuk memastikan lokasi aman. Hujan rawan memicu longsoran di area pencarian. Itu sebabnya, operasi harus dihentikan ketika hujan turun.
Meskipun berkorban waktu, tenaga, dan materi, Teguh menganggap menjadi sukarelawan ibarat sedang menabung. ”(Kegiatan) ini untuk tabungan (amal) pulang kampung ke akhirat. Tabungan itu nanti dikirim oleh orang yang terkena musibah, seperti gempa ini,” ujarnya.
Tidak heran, bapak satu anak ini tampak bahagia meski tidur di tenda dan makan seadanya. Ia kerap tersenyum dan memberi semangat kepada sukarelawan lain.
”Kalau anak main lumpur dimarahin, eh, ini bapaknya malah main lumpur,” katanya disambut tawa rekan-rekannya.
Kalau sama bekal dan transportasi, kira-kira habis hampir Rp 1 juta. Itu dana dari ’mabes’, mama besar atau istri.
Baginya, setiap manusia membutuhkan orang lain. Prinsip inilah yang menjadi pegangan organisasi sukarelawan di Jember bernama Tigaperempat.
”Angka ini kurang dari satu. Artinya, kita ini tidak sempurna,” ucap Teguh yang pernah terjun dalam gempa Aceh, Banten, hingga Palu.
Campur aduk
Gempa Cianjur juga telah memanggil hati Rizki Rizaldi (39) dari komunitas Brotherhood for Rescue and Disaster (BFRAD) 1 Persen. Warga Bogor ini naik bus ke lokasi gempa. Bekalnya, cangkul, alat penyemprot, serta handy talkie untuk memudahkan komunikasi saat evakuasi korban.
Senin (21/11/2022) sore, ia menapakkan kaki di Desa Gasol, Kecamatan Cugenang. Rizki turut mengevakuasi tiga korban gempa yang saat itu sedang merenovasi rumah tiga lantai. Saat ditemukan, dua di antaranya sudah tak bernyawa. Seorang lelaki berusia 40 tahun selamat meski terimpit beton.
”Saat itu sudah pukul 12 malam. Rasanya campur aduk melihat korban masih hidup,” ucapnya.
Ia lalu menuju kawasan TK Al-Azhar di Kampung Cibeureum, Cugenang. Pencarian korban dari pukul 04.30 itu mengantarkannya menemukan empat korban.
Tak jarang gempa susulan menyapanya. Bau menyengat jenazah tak mengusiknya. ”Sebagai manusia, hal yang paling saya takuti adalah tidak bisa berbuat apa-apa saat ada yang butuh pertolongan,” kata Rizki yang pernah kehabisan ongkos dari lokasi bencana.
Hingga Rabu siang, Rizki sudah membantu evakuasi 30 lebih jasad. Mulai dari bayi hingga warga lansia. Ada yang masih utuh, ada juga yang tinggal separuh. Ia menjalankan prosedur operasi standar saat evakuasi.
Rizki masih ingat saat pertama kali terjun sebagai sukarelawan pada tsunami Aceh 2004. Dia juga sempat puasa selama empat hari lantaran baru mencium bau menyengat. Namun, ia kini terbiasa.
”Bagaimanapun, semua manusia pasti akan meninggal. Jadi, tidak perlu takut,” ucap Rizki.
Cerita lain datang dari Anniel Muzachir (66). Warga lanjut usia ini turut mengevakuasi korban sejak hari pertama. Sejak jadi sukarelawan pada 1983, Pak Niel, sapaannya, sudah akrab dengan tenda pengungsian. Secara bergantian, ia turut mencari korban mulai dari pukul 03.00 sebelum subuh hingga sore menjelang malam.
”Kalau kita sudah merasa tidak mampu, jangan dipaksakan, harus istirahat,” kata Pak Niel yang mengaku bau jenazah masih melekat di pakaiannya hingga dua hari.
Baca juga : Dapur Umum, Perang Melawan Kelaparan Korban Gempa Cianjur
Semua pihak
Tidak hanya manusia, anjing terlatih Dutch Shepherd dan Belgian Malinois turut membantu pencarian. Kepala Unit Satwa Kepolisian Daerah Jabar Inspektur Satu Novian Yuga mengatakan, enam anjing pelacak sudah beraksi sejak hari pertama gempa.
Anjing berpostur tegap dengan bulu gelap itu mampu membedakan bau jasad manusia dan bangkai hewan. Beberapa di antaranya bernama Igor dan Dola. Anjing berusia tiga hingga empat tahun itu telah menemukan sejumlah korban gempa meski medannya di tumpukan material.
”Anjing jenis ini lebih bandel dan suka grusukan. Jadi, cocok untuk masuk ke tempat curam,” kata Novian.
Teguh, Rizki, dan Novian termasuk dalam 1.588 personel SAR yang membantu pencarian korban gempa. Mereka berasal dari TNI/Polri, organisasi kebencanaan, hingga sukarelawan mandiri. Keberadaan mereka pun diapresiasi.
”Basarnas tidak bisa bekerja sendiri,” ucap Kepala Kantor SAR Bandung Jumaril.
Terlebih lagi, gempa dengan kedalaman 10 kilometer pekan lalu itu telah menghancurkan 17.864 rumah dan menyebabkan 328 jiwa meninggal hingga Rabu petang. Sebanyak 109.386 warga juga mengungsi akibat gempa.
Hingga sepuluh hari pascagempa, masih terdapat 12 korban dalam pencarian. Selain tebalnya material tanah hingga bangunan, hujan dan gempa susulan juga turut menghambat operasi SAR. Jumaril memastikan pencarian berlanjut hingga Sabtu (3/12/2022) dan dapat diperpanjang lagi.
Baca juga : Pengungsi Gempa Cianjur Butuh Hidup Layak meski Sementara
Adul Zulkifli (49), warga Cijedil, berterima kasih kepada para pencari korban gempa. Ia berharap operasi itu berlanjut hingga semua korban, termasuk kakak dan keponakannya, ditemukan.
”Semalam saya mimpi mendengar suara, ’Om tolong. Saya kedinginan’. Mungkin itu keponakan saya. Semoga dia segera ditemukan,” katanya.
Para pencari korban adalah harapan untuk keluarga yang ditinggalkan. Tidak berharap imbalan, semua bekerja atas nama kemanusiaan.