Kisah Kandang Domba dan Rindu pada Rumah yang Hilang
Gempa Cianjur kembali menguatkan fakta tidak ada tempat paling nyaman selain rumah. Di tengah keterbatasan, rindu itu ditahan. Tinggal sementara di kandang domba tidak jadi masalah.
Hidup di pengungsian tidak pernah mudah. Sulit mereka-reka sampai kapan pengungsinya bisa kembali merasakan kehangatan seperti sebelum bencana datang.
Jarum jam menunjukkan pukul 20.00. Sudah lebih dari tiga jam hujan tidak kunjung reda mengguyur Kampung Babakan Baru, Desa Pakuon, Kecamatan Sukaresmi, Cianjur, Jawa Barat, Senin (28/11/2022).
Di antara berisik suara hujan, Ros (62), warga setempat, sebenarnya sudah mengantuk. Namun, matanya masih sulit terpejam.
Malam itu dia tidak tenang. Hujan turun deras. Airnya mulai menerobos atap tempat tinggalnya yang ditutupi lembaran plastik.
Berulang kali menatap ke atap, dia akhirnya mengerahkan tenaga rentanya memindahkan sejumlah barang, termasuk kasur kesayangan. Dia tidak rela kasur, salah satu barang berharga yang tersisa pascagempa berkekuatan magnitudo 5,6, itu basah terkena air hujan.
Tidur diganggu hujan jelas bukan keinginan Ros. Namun, dia tidak punya banyak pilihan. Berjarak sekitar 60 kilometer dari pusat kota Cianjur, rumah temboknya hancur digoyang gempa, Senin (21/11/2022). Sejak itu, dia tinggal bersama 12 kerabatnya di kandang domba yang mempunyai luas 80 meter persegi yang tidak jauh dari rumahnya.
Baca juga: Dapur Umum, Perang Melawan Kelaparan Korban Gempa Cianjur
Kandang domba itu perkasa ketika bencana. Konstruksi bambunya tangguh saat digoyang gempa. Oleh pemiliknya, Ros dan keluarga diizinkan tinggal di kandang berdinding kombinasi plastik dan papan kayu itu.
”Kandang ini dibangun tiga minggu. Baru saja selesai dibangun, tidak lama kemudian datang gempa. Oleh pemiliknya, kami diizinkan tinggal di sini,” ujar Idang (38), anak Ros yang dipercaya mengurus domba-domba itu.
Semula, para penghuninya tidur beralas tikar di tanah. Posisinya diapit dua kandang saling berhadapan yang diisi enam domba.
Namun, baru sehari ditempati, banjir datang. Satu sisi kandang domba kemudian dipindahkan. Mereka membuat panggung setinggi 40 sentimeter dari bekas pintu rumah.
”Saat tidur di tanah, kotoran domba kena muka kami,” kata Nur (38), menantu Ros.
Ros dan keluarganya tidak sendirian bertahan tinggal dekat puing rumahnya. Warga lain tinggal di tenda darurat dekat rumah yang hancur.
Mereka enggan pergi asalkan bisa menjaga barang yang tersisa tidak digondol maling. Selain itu, warga enggan pindah karena khawatir tidak terdata bantuan pemerintah.
Namun, Ros menolak anggapan dia dan keluarganya lebih nyaman tinggal di kandang. Tidur bersama domba bukan kemewahan. Tidak ada tempat terbaik selain rumahnya yang sudah hancur.
”Sekarang sudah tidak punya rumah lagi, numpang di tempat orang. Enggak enak sama yang punya,” kata Ros sembari menenggak obat pereda sakit kepala. Beberapa hari terakhir, cuaca tidak bersahabat dan terlalu berbahaya bagi tubuh tuanya.
Tidak hanya itu, ia juga cemas menatap masa depan. Sebelum gempa, dia dan suaminya menjadi buruh tani. Ros bekerja di sawah dan Ahudin (70) mencari nafkah di kebun bunga. Sehari bayarannya paling banyak Rp 35.000 per orang.
”Setelah ini belum tahu mau bekerja apa. Rumah tidak ada, pekerjaan juga sama. Kasihan anak dan cucu,” kata Ros. Kali ini, usahanya untuk tegar gagal. Ros tidak kuasa menahan air matanya.
Galau
Tangisan Ros jatuh bersamaan dengan hujan yang mengguyur Taman Prawatasari, Cianjur. Terpisah 25 kilometerdari Kampung Babakan Baru, di sana berdiri 19 tenda berukuran 15 meter x 8 meter.
Sekitar lima menit dari Pendopo Bupati Cianjur, kawasan itu diisi lebih kurang 1.200 penyintas dari Kecamatan Cianjur, Cugenang, dan Kecamatan Cilaku.
Status Posko Pengungsian Prawatasari berbeda dengan kandang domba yang ditempati Ros. Prawatasari adalah satu dari 331 titik pengungsian terpusat di Cianjur. Adapun kandang domba Ros menjadi satu dari 118 pengungsian mandiri.
Dari tampilannya, pengungsian terpusat terlihat lebih ideal. Tempat itu dilengkapi kamar mandi permanen dan portabel, rumah sakit lapangan, hingga apotek ada di sana. Di Prawatasari ada 51 tenaga medis tinggal bersama penyintas, mulai dari dokter bedah hingga petugas ambulans.
Namun, bukan berarti semua membuat penyintas kerasan. Tenda tetap saja tempat tinggal sementara. Mereka rindu rumah yang hancur direnggut bencana.
Omeii (30), warga Cugenang, misalnya, bersyukur bisa tidur di atas velbed. Logistik pun terjamin. Dia dan dua anaknya, Adara (5) dan Cantika (9), bisa makan tiga kali sehari.
Namun, dia tetap sulit membuat dirinya nyaman tinggal dalam tenda. Hingga malam kedelapan, ia belum leluasa tidur nyenyak. Senin malam, Omeii tidur di depan tenda karena tidak tahan dengan udara yang pengap.
Terang benderang di salah satu tenda berwarna oranye berukuran 15 meter x 8 meter juga tidak benar-benar cemerlang bagi Ai Etty (43), warga Cugenang lainnya. Senin malam itu adalah hari pertamanya tinggal di tenda. Dia galau.
Sebelumnya, Ai bersama tiga anaknya mengungsi di rumah kerabatnya di Bandung sejak hari pertama gempa sepekan lalu. Namun, demi memenuhi permintaan anak bungsunya, ia kembali ke Cianjur.
”Setiap hari anak saya merengek ingin tidur dengan bapaknya,” kata Ai. Herman (45), suami Ai, sejak hari pertama memilih tidak ikut ke Bandung dan tinggal di Cianjur agar terdata pemerintah.
”(Sekarang) Kepala saya pusing. Entah sampai kapan mau tidur di tenda seperti ini,” keluh Ai.
Baca juga: Nasi Bungkus untuk Pengungsi dari Dapur Umum Kostrad
Janjikan jaminan
Di antara suara batuk-batuk dan kernyitan mata sebagian pengungsi yang berusaha tidur lelap, keluhan Ai menjadi warna baru di Prawatasari. Semuanya punya benang merah serupa dengan tangis Ros dan keluh kesah keluarganya tinggal di kandang domba.
Penyintas butuh kepastian. Relokasi diharapkan. Tidak hanya sekadar tempat merebahkan kepala saat malam, tetapi menjamin kehidupan mereka kelak di masa depan.
Bupati Cianjur Herman Suherman mengatakan, pemerintah akan menjamin pilihan penyintas. Selain ada tenda kecil bagi mereka yang bertahan di sekitar rumah, keluarga yang memilih menyewa tempat tinggal sementara akan mendapat Rp 500.000 per bulan. Pilihan lain adalah pindah ke posko pengungsian terpusat.
Selain jaminan tempat tinggal, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Abdul Muhari mengatakan, 3.175 tenaga kesehatan sudah turun ke lokasi pengungsian. Mereka diperkuat 16 ambulans yang bergantian mengantar dan menjemput warga terdampak.
Upaya memenuhi gizi juga dilakukan. Di Cugenang dan Warungkondang, misalnya berdiri dapur pemberian makanan bayi dan anak. Di titik pengungsian lainnya juga dilakukan pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, orang dalam gangguan jiwa (ODGJ), hingga promosi pola hidup bersih dan sehat.
”Enggak ada yang ideal di kondisi darurat. Pasti ada kekurangannya. Namun, penting bagaimana di tengah kekurangan itu kita bisa membuat hidup orang (penyintas) tetap berjalan,” ujarnya.
Baca juga: Tetap Berkarya meski Berkawan Duka