Pengungsi Gempa Cianjur Butuh Hidup Layak meski Sementara
Penyintas gempa Cianjur memanfaatkan tempat apa saja untuk berteduh. Mereka membutuhkan perhatian untuk tetap hidup layak meski hanya sementara di pengungsian.
Oleh
z14
·4 menit baca
Gempa bumi magnitudo 5,6 merusak 58.049 rumah di Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022). Sejak itu, nyaris 74.000 orang mengungsi. Sebagian pergi ke rumah kerabat, menempati tenda negara, hingga mencoba mandiri meski dengan sarana seadanya.
Di Sindangpalay, Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Cianjur, misalnya, sedikitnya 100 penyintas tinggal di kumbung (tempat budidaya jamur). Di tengah segala keterbatasan itu, solidaritas antar sesama penghuninya tetap terjaga.
Sabtu (26/11/2022), sudah enam malam warga tinggal di kumbung. Ada dua dari tujuh kumbung yang dijadikan tempat mengungsi di Sindangpalay. Setiap bangunan berkonstruksi kayu ini mempunyai luas sekitar 100 meter persegi.
Bagi penghuninya, kumbung dianggap lebih nyaman ketimbang tenda. Tertahan atap plastik ultraviolet, hujan deras pada Sabtu malam tidak tembus ke dalam. Dinding paranetnya sedikit banyak bisa meredam dingin angin malam.
Dede Aisa (33), warga Sindangpalay, misalnya, pada hari kedua setelah gempa, memutuskan tinggal di kumbung. Dia ingin putranya, Muhammad Khalif (2), lebih terlindungi terutama saat turun hujan.
Dede bercerita, sebelumnya dia mengungsi di areal persawahan depan rumahnya yang roboh digoyang gempa. Nyaman di awal, petaka muncul saat hujan datang. Banjir mulai menggenang tenda. Nyamuk juga ganas menggigiti pengungsi di sana.
”Lebih baik di kumbung. Apalagi, kekuatan kumbung sudah terbukti. Saat gempa, kumbung ini tetap berdiri, hanya goyang ke samping,” katanya.
Namun, didesain bukan untuk tempat tinggal manusia, kumbung tetap menyimpan kelemahan. Untuk tidur, warga menempati rak jamur yang terbuat dari bambu.
Demi sedikit privasi, setiap keluarga menempati ruang sekitar 1,8 meter x 1,6 meter dengan sekat bambu. Di antara sekat bambu, sebagian pengungsi memasang kain penghalau nyamuk nakal pengisap darah.
Selain itu, untuk mengejar kelembapan jamur, bangunan itu didesain minim ventilasi. Pengap menjadi kawan setia penghuninya.
Meski sudah terbiasa beraktivitas dalam kumbung, Nia (35), salah satu penghuninya, mengatakan, tetap butuh waktu untuk tidur di sana. Dengan terbatuk-batuk, ia mengatakan masih sulit tidur. Selain suasana dalam kumbung, gempa susulan juga masih terasa.
Dengan alasan itu juga, Nia menitipkan salah seorang anaknya ke kerabatnya. ”Umur dia baru 10 tahun. Selain agar lebih nyaman, dia trauma. Setiap ada gempa susulan, anak saya menangis dan menjerit. Terakhir, dia menolak makan,” katanya.
Iyah (71) juga masih berusaha keras untuk menemukan kenyamanan tinggal di kumbung. Tidur bersama lima anggota keluarga, ruang yang terlalu sempit membuat kakinya sakit dan pegal. Dia harus menekuk kaki saat mencoba berbaring di sana.
Saling menjaga
Beruntung, di tengah segala keterbatasan, keguyuban penghuninya tetap terjaga. Mereka bergantian memasak. Setiap pukul 06.00 selalu tersaji sarapan.
Pada Minggu (27/11/2022), menunya tempe goreng, sambal teri, telur rebus, hingga sayur kacang panjang. Semua menjadi bakal tenaga bagi pengungsi untuk merawat jamur di kumbung lainnya.
Sebagian warga yang tidak bekerja mengasuh anak dan membersihkan pengungsian. Sebagian anak mulai terbangun. Mereka langsung bermain. Trauma akibat gempa coba ditepis meski bisa jadi hanya sejenak saja.
Salah satu yang menarik perhatian adalah Aira (2). Wajahnya ceria meski baru bangun tidur. Dia menunjukkan giginya ke semua orang di samping kanan-kirinya.
Tidak lama kemudian, ia berlarian dan mencoba mengejutkan beberapa warga. Pura-pura terkejut, beberapa orang-orang itu lantas menggendong dan menciumi pipinya.
Perhatian banyak orang pada Aira bukan tanpa alasan. Warga tahu, Aira yang menggemaskan sesungguhnya rentan paling menderita. Saat gempa hampir sepekan lalu, ibunya tidak selamat. Hingga kini, bocah kecil itu tidak mengetahuinya.
”Kami belum sampai hati bilang kalau ibunya sudah meninggal tertimpa penampungan air saat gempa,” kata Lia Roslianti (37), salah seorang tetangga Aira.
Meski masih ada ayah dan neneknya, kasih sayang warga pada Aira teramat besar. Sabtu malam, misalnya, Lia menggendong Aira, membawanya dari kumbung ke tenda pengungsian. Saat itu, kumbung dirasa terlalu pengap dan padat. ”Biar neneknya Aira juga bisa beristirahat,” jawab Lia.
Sembari menggendong Aira, Lia tidak dapat menutupi kegemasannya. Aira yang tertidur pulas mendapat banyak ciuman di pipi dan dahi. Dia tidak cemas Aira akan bangun. Kata Lia, dia tahu kebiasaan Aira bila bangun di malam hari.
”Jika menangis tengah malam, dia tidak mencari susu tapi teh manis. Biasanya dia tidur lagi,” ujarnya.
Namun, teh manis saja kini tidak cukup, terutama saat Aira menanyakan ibunya. Tidak punya jawab lain, Lia terpaksa tidak jujur.
”Saya bilang, ibunya sedang bekerja. Mungkin nanti bila sudah lebih besar dia akan mengerti,” katanya.
Tidak hanya anak, ibu hamil juga tidak ditinggalkan. Rosita (38) mendapat berbagai bantuan, seperti pakaian bayi dan ibu hamil, hingga selimut.
Namun, bagi Rosita yang kini mengandung delapan bulan, hal itu terasa belum cukup. Ia masih berharap bisa mendapatkan susu untuk untuk menguatkan kesehatan janin.
”Beberapa hari lalu, ada sukarelawan kesehatan datang. Katanya kondisi bayi saya baik-baik saja dan mereka akan bawa susu kalau ke sini lagi. Semoga ada bantuan itu buat kami,” katanya penuh harap.
Menjadi korban bencana, tidak mudah bagi para penyintas mencari tempat hunian baru. Peran pemerintah dan berbagai pihak lainnya menadi harapan mewujudkannya. Bila tidak bisa ideal, setidaknya ada tempat tinggal layak untuk sementara.