Dukungan untuk Menolak Pengurangan Luasan KBAK Gunung Sewu
Koalisi Masyarakat Pemerhati Karst Indonesia menggalang dukungan untuk bersama-sama menolak usulan pengurangan luasan kawasan karst Gunung Sewu yang diusulkan oleh Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Pemerhati Karst Indonesia berupaya menggalang dukungan untuk mempertahankan luasan Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu. Penggalangan dukungan untuk melawan usulan pengurangan luasan KBAK Gunung Sewu yang sekarang tengah diajukan oleh Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul.
”Kami akan berupaya melawan karena dari tiga daerah yang dilewati bentang alam kawasan karst Gunung Sewu, usulan pengurangan luasan kawasan cuma diajukan dari Kabupaten Gunung Kidul saja,” ujar Petrasa Wacana, Ketua Masyarakat Speleologi Indonesia, Jumat (25/11/2022). Adapun kawasan kars Gunung Sewu membentang di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Pacitan di Jawa Timur, Kabupaten Wonogiri di Jawa Tengah, dan Kabupaten Gunung Kidul di DIY.
Masyarakat Speleologi Indonesia adalah salah satu dari 35 elemen yang tergabung dalam Koalisi Pemerhati Karst Indonesia. Dalam koalisi ini juga tergabung berbagai kelompok lain dari kalangan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Upaya menggalang dukungan tersebut, menurut dia, akan dilakukan dengan mengirimkan surat pernyataan penolakan terhadap usulan pengurangan luasan kepada pihak-pihak terkait, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Badan Geologi. Dalam surat, mereka juga akan melampirkan semua alasan penolakan tersebut.
Selain itu, upaya menggalang dukungan juga akan dilakukan dengan membagi informasi terbaru, latar belakang pengetahuan terkait reaksi penolakan mereka, dalam bentuk diskusi-diskusi di berbagai tempat, hingga di lingkup komunitas-komunitas.
Reaksi penolakan tersebut, menurut dia, perlu secara gencar disuarakan karena kawasan karst adalah kawasan yang istimewa. Adapun keistimewaan ini semakin bertambah karena kawasan ini sudah ditetapkan sebagai kawasan warisan dunia, dengan nama Gunung Sewu UNESCO Global Geopark.
Sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 3045 K/40/Men/2014 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu sebagai kawasan lindung geologi, luasan KBAK Gunung Kidul adalah 75.835,45 hektar. Namun, Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul mengusulkan pengurangan sekitar 48,81 persen atau menjadi 37.018,06 hektar.
Ketua Umum Pusat Studi Karst UPN Veteran Yogyakarta Bahagiarti MSc mengatakan, kawasan karst terbentuk dari rangkaian proses sejak jutaan silam.
Kawasan ini juga disebutnya istimewa karena bisa menjadi ladang ilmu pengetahuan yang tidak akan pernah habis digali, dari aspek geologi, geomorfologi, hidrologi, arkeologi, biologi, sosial, budaya, dan sebagainya.
Dengan mempertimbangkan berbagai hal tersebut, menurut dia, semestinya terus dilestarikan dan bukan malahan dikurangi luasnya.
General Manager Gunung Sewu UNESCO Global Geopark Budi Martono mengatakan, luas kawasan semestinya tidak dikurangi karena Gunung Sewu memiliki keunikan dan nilai ilmiah tinggi karena terdiri atas ribuan bukit berbentuk kerucut tumpul, yang disebut Conical Karst Hill, di mana bentuk ini hanya ada di negara tropis, seperti Filipina dan Jamaika.
Usulan pengurangan luasan juga menjadi preseden buruk bagi kegiatan revalidasi Gunung Sewu UNESCO Global Geopark, yang direncanakan akan dilakukan tahun depan.
Sekretaris Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kabupaten Gunung Kidul Mahartati mengatakan, usulan pengurangan luasan KBAK Gunung Sewu semata-mata didasari pertimbangan dan keinginan Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul untuk menindaklanjuti pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) dari pemerintah pusat dan pembangunan jalur pantai selatan Jawa dari Pemerintah Provinsi DIY. Kedua pembangunan ini membelah, melintasi kawasan karst.
”Ketika sudah ada pembangunan di atasnya, daerah di sekitarnya akan tumbuh dan kawasan karst tersebut tidak mungkin terus bertahan sebagai kawasan yang dilindungi,” ujarnya.
Mahartati mengatakan, Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) sebelumnya disusun pada tahun 2010, di mana ketika itu belum ada pembangunan JJLS. Saat ini, kajian ulang terhadap RTRW masih terus dilakukan karena sudah ada berbagai perubahan sebagai dampak dari pembangunan JJLS.
Dengan mempertimbangkan kelestarian alam lingkungan, untuk merencanakan kegiatan pembangunan, termasuk di kawasan karst, Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul juga selalu berupaya berkoordinasi, meminta masukan dan rekomendasi dari Badan Geologi.