Saatnya Warga di Garda Terdepan Pengelolaan Geowisata
Pengembangan pariwisata berbasis taman bumi, seperti di Karangsambung-Karangbolong, Kabupaten Kebumen, dan Gunung Sewu, Kabupaten Wonogiri, mesti berbasis masyarakat. Warga didorong merasa memiliki dan ikut melestarikan.
Selain pelestarian, aspek krusial lain dalam pengelolaan taman bumi tak lain adalah pariwisata berkelanjutan. Begitu pula dengan Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong di Kebumen dan Gunung Sewu yang sebagian wilayahnya berada di Wonogiri, Jawa Tengah. Geowisata mesti mampu menjadikan warga sekitar pemain utama.
Ombak tenang mencumbui bibir Pantai Karangbolong, Kecamatan Ayah, Kebumen, Sabtu (5/6/2021) siang. Sejumlah pengunjung tampak santai menikmati angin sepoi sembari berteduh di bawah naungan tebing karang setinggi 50 meter. Perahu wisata mendekat menawarkan jasa menyeberang ke Pantai Suwuk di sebelah timur. Setelah susah payah merapat ke bibir pantai, perahu itu segera dipenuhi sekitar 10 wisatawan yang sebagian besar anak-anak.
”Byur!” Ombak setinggi 1 meter tiba-tiba mengempas perahu. Seorang ibu yang hendak melangkah naik ke perahu ikut terempas bergelantungan di belakang kapal sambil berteriak kaget. Setelah semua penumpang berhasil naik ke perahu, mesin segera dinyalakan dan perahu menembus ombak menuju Pantai Suwuk. Dua jaket keselamatan dan ban pelampung warna oranye tampak menggantung di bagian atap perahu. Tak ada satu pun penumpang yang mengenakannya, pun pengemudi perahu.
Berwisata di alam tentu butuh antisipasi dan mitigasi kecelakaan. Apa yang tampaknya sepele tidak jarang berujung maut. Seperti diberitakan Kompas.id (30/5/2021), dua wisatawan asal Yogyakarta jatuh terseret ombak, tenggelam, dan ditemukan meninggal di Pantai Menganti, di sebelah barat Pantai Karangbolong, Keduanya terseret ombak saat hendak swafoto di karang.
Meski sudah jadi jujugan wisata merakyat di pesisir selatan Jateng, standar keamanan di Pantai Karangbolong belum optimal. Padahal, kawasan itu menjadi bagian dari Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong yang sedang diusulkan berstatus global.
Petugas, misalnya, hanya tampak di loket masuk dan ada beberapa tukang parkir di sekitar area parkir dan warung-warung. Ketika ditanya tentang apa itu geopark (taman bumi), termasuk konsep mitigasi bencana dalam pariwisata berkelanjutan, petugas loket dan pedagang di sana mengaku tidak tahu.
”Saya enggak paham soal geopark. Kalau tenaga harian lepas jarang untuk pelatihan begitu, biasanya yang PNS yang ikut. Saya belum pernah ikut pelatihan di Kebumen,” kata Sukamto (40), petugas penjaga loket di Pantai Karangbolong yang juga tenaga harian lepas Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Kebumen yang sudah bekerja selama tujuh tahun.
Sebagian besar pedagang pun mengaku tak tahu. Hanya Nani (40), pedagang minuman ringan di sekitar loket Pantai Karangbolong, yang sedikit paham soal geopark dari membaca catatan keterangan tentang terbentuknya Pantai Karangbolong di bawah tugu permanen bertuliskan ”Geopark Karangsambung-Karangbolong”. ”Geopark ya ini batuan alam yang sudah beribu-ribu tahun. Kalau program-programnya kurang tahu, mungkin lebih ke pariwisata. Di sini tidak ada sosialisasi tentang geopark,” tuturnya.
Nani, yang juga guru PAUD di Desa Karangbolong, Kecamatan Buayan, juga tahu mitigasi bencana. Ia memisalkan, jika ada ombak besar, warga harus naik ke tempat tinggi dan juga tidak boleh mengambil batu karang atau pasir di pantai demi menjaga alam.
Selain wisata alam di pesisir selatan, kawasan Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong juga merangkum wilayah kota hingga sebelah utara di mana terdapat banyak situs geologi di Kecamatan Karangsambung. Di taman bumi ini terdapat 59 situs utama terdiri dari 41 situs geologi (geosite), 8 situs biologi, dan 10 situs budaya.
Wakil Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Paras Adi Perkarsa Adi Primanto, yang mengelola kawasan wisata Bukit Pentulu Indah di Kecamatan Karangsambung, menyampaikan, untuk membumikan semangat geopark di masyarakat, butuh kegiatan wisata yang kontinu meski digelar dengan protokol kesehatan ketat.
Ketua Harian Badan Pengelola Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong Junaedi mengakui, sosialisasi kepada masyarakat belum optimal apalagi terhambat pandemi Covid-19. ”Pemahaman masyarakat jadi salah satu elemen penting. Jujur saja, ini belum menjangkau secara optimal,” katanya.
Gunung Sewu
Pemberdayaan warga juga jadi pekerjaan rumah berat bagi pengelola Taman Bumi Gunung Sewu di Kabupaten Wonogiri. Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Wonogiri Agus Sriyanto menuturkan, pihaknya berencana mengadakan pelatihan pemandu goa karst yang tersebar di wilayah Wonogiri.
”Kami juga berencana mengaktifkan lagi kelompok sadar wisata setempat. Sebenarnya, dulu sempat dibentuk. Cuma ini tidak aktif lagi,” kata Agus.
Agus melanjutkan, kawasan taman bumi bakal jadi destinasi wisata yang diandalkan kelak. Selama ini, tingkat kunjungan wisata kompleks Museum Kars Indonesia di Wonogiri dan goa-goa di sekitarnya terhitung tinggi. Pada 2019, kunjungan wisatawan mencapai 35.594 orang. Sementara pada 2020, kunjungan anjlok menjadi 6.848 orang akibat pandemi Covid-19.
Sebelum pandemi, sejumlah program peningkatan kunjungan juga digelar pemerintah daerah. Salah satunya dengan membuat acara tahunan bertajuk ”Gowes Susur Lembah Bengawan Solo Purba”, yang titik finisnya di kawasan museum tersebut. Sekolah-sekolah juga didorong melakukan kunjungan untuk belajar mengenai situs geologi ke kawasan tersebut.
Di Wonogiri, ikhtiar merawat situs geologi bersejarah bukan inisiatif pemerintah daerah saja. Salah satunya dilakukan Putra Jaya, yang juga Kepala SMK Negeri 1 Pracimantoro. Keprihatinannya muncul dengan kawasan taman bumi yang seolah kurang terpelihara. Untuk itu, sejak menjabat kepala sekolah pada 2015, hampir setiap semester ia mengadakan kegiatan bersama siswanya di kawasan museum dan goa yang jaraknya 7 kilometer dari sekolah. Kegiatannya tidak sekadar wisata edukasi, tetapi sekaligus bersih-bersih merawat goa-goa di sekitarnya.
”Sekali kegiatan bisa 200-250 orang. Hanya saja kegiatan ini berhenti akibat pandemi,” kata Putra.
Ia menilai, kegiatan seperti itu penting untuk menumbuhkan rasa kepedulian anak muda terhadap situs geologi bersejarah. Lewat kegiatan itu, sebenarnya anak-anak sekaligus dikenalkan dengan alam yang ada di sekitarnya.
Bahkan, pihaknya berinisiatif membuat Taman Bumi Gunung Sewu Corner dengan memanfaatkan ruang bekas kantin sekolah berukuran 3 meter x 7 meter. Di ruang itu tertera banyak informasi tentang kawasan taman bumi tersebut. ”Siswa juga belajar soal geopark dari sana. Dulu, waktu penilaian dari UNESCO, sekolah kami termasuk yang didatangi. Sebagian siswa bisa menjawab dengan jelas soal geopark yang ditanyakan para asesor,” tutur Putra.
Ikhitiar warga lain merespons adanya kawasan taman bumi itu terdapat di Desa Paranggupito, Kecamatan Paranggupito. Masyarakat setempat membentuk pokdarwis bernama Bowosemindhan. Adapun situs geologi yang terdapat di desa tersebut yakni Pantai Sembukan. Wujudnya berupa pantai berpasir putih yang diapit bukit karst menjulang. Sudah disediakan pula titik khusus untuk menyaksikan terbit dan tenggelamnya matahari di pantai itu. Pantai dikelola bersama antara pokdarwis dan pemerintah daerah.
”Kami melihat potensi dengan dijadikannya sebagai kawasan geopark. Untuk itu, desa wisata dirintis sejak 2017,” kata Slamet Arifin dari Humas Bowosemindhan.
Arifin menuturkan, surat keputusan desa wisata baru turun pada akhir 2019. Sejumlah paket wisata sudah disiapkan. Wisatawan nantinya akan menginap di rumah warga (homestay). Kehidupan bersama warga desa menjadi salah satu yang ditawarkan.
Selain itu, ada juga wisata budaya dengan menyaksikan pertunjukan reog, gamelan, hingga gejog lesung. Kuliner yang disajikan pun kuliner lokal seperti nasi berkat dan olahan-olahan makanan dari singkong. Dalam waktu-waktu tertentu, wisatawan juga bisa diikutsertakan dalam ritual tahunan labuhan yang diadakan masyarakat desa.
Keterlibatan warga menjadi salah satu kunci pengembangan taman bumi. Bagaimanapun, situs-situs geologi itu berada di tengah kehidupan masyarakat. Dengan menumbuhkan rasa memiliki, warga akan semakin berikhtiar ikut merawat warisan alam, tak hanya untuk merekab tetapi juga generasi berikutnya.