Pembuatan ”Landmark” di Tebing Geopark Lembah Harau Dibatalkan
Pembuatan ”landmark” di tebing Geopark Lembah Harau oleh BKSDA Sumbar dibatalkan seusai banjir kritik. Lokasi proyek dialihkan ke tempat lain yang bukan zona inti ”geopark”.

Tangkapan layar unggahan akun Instagram @bksda_sumbar tentang desain landmark di tebing Geopark Lembah Harau yang akan dibangun BKSDA Sumatera Barat. Proyek ini ditargetkan sudah tuntas saat tahun baru 2023.
PADANG, KOMPAS — Pembuatan landmark di tebing Geopark Lembah Harau oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat dibatalkan seusai banjir kritik. Lokasi proyek dialihkan ke tempat lain yang bukan zona inti geopark.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar Ardi Andono di Padang, Kamis (10/11/2022), mengatakan, pembatalan pemasangan landmark itu diputuskan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar.
”Sesuai instruksi Bu Menteri, kami sudah membatalkan pemasangan landmark itu. Jadi, apa pun yang diinstruksikan Bu Menteri kami ikuti dan kami patuhi,” kata Ardi seusai rapat tindak lanjut landmark di Taman Wisata Alam Lembah Harau pascapembatalan di kantor BKSDA Sumbar.
Baca juga: Pembuatan ”Landmark” di Geopark Lembah Harau oleh BKSDA Sumbar Banjir Kritik
Sesuai hasil rapat, lanjut Ardi, lokasi pembangunan proyek senilai Rp 182 juta itu dipindah, tidak lagi di tebing Geopark Lembah Harau. Istilahnya juga diganti, tidak lagi landmark, melainkan sign board atau papan tanda.
”Kami dari BKSDA Sumbar, ahli geologi, dan masyarakat setempat akan menentukan lokasinya,” ujar Ardi. Ia berharap pengerjaan proyek di Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota, itu tetap selesai pada tahun baru nanti.

Suasana rapat tindak lanjut pembatalan pembangunan landmark di tebing Geopark Lembah Harau di ruang rapat BKSDA Sumatera Barat di Padang, Kamis (10/11/2022).
Rapat tersebut dihadiri oleh berbagai ahli, mulai dari ahli geologi, ahli geopark, ahli dan praktisi pariwisata, serta dosen dari sejumlah perguruan tinggi. Selain itu, juga ada perwakilan dari unsur pemerintahan dan masyarakat dari tingkat nagari, kabupaten, hingga provinsi.
Ahli geologi Ade Edward yang ditunjuk sebagai juru bicara untuk memaparkan hasil rapat itu mengatakan, berdasarkan hasil rapat, proyek tidak dibatalkan, tetapi dipindahkan lokasinya. ”Intinya pembangunan itu baik, tetapi detail dan penempatannya betul-betul disesuaikan agar tidak mengganggu atau merusak,” katanya.
Baca juga: Pertunjukan Tradisi di Festival Pasa Harau
Pada zaman Belanda pernah dibangun prasasti di kawasan Lembah Harau, tepatnya dekat kolam Air Terjun/Sarasah Bunta. Selain itu, pada masa awal kemerdekaan juga ada prasasti yang dibuat di Sarasah Aka Barayun.
”Itu saja kita teruskan. Label merek dipasang di dekat situ. Di bawah, tidak perlu di tebing. Rencana semula (di tebing) dibatalkan, tetapi pembangunan tetap. Mereknya dipasang di bawah, tidak di zona inti (geopark),” ujar Ade.

Seorang pemain sipak rago menyepak bola tanpa melihat dalam Festival Seni dan Budaya Pasa Harau di Lembah Harau, Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Minggu (18/8/2019). Dalam olahraga tradisional yang mirip dengan sepak takraw ini, para pemain saling mengoper bola di udara.
Kepala Urusan Pemerintahan Nagari Tarantang Adi Putra menerima keputusan rapat. ”Kami menyetujui kegiatan tersebut ditinjau ulang dari lokasi zona inti ke lokasi memungkinkan. Para pakar tentu punya (pengetahuan) bagaimana sebaiknya (pembangunan) landmark tetap bisa berjalan,” katanya.
Sebelumnya, rencana pembangunan yang diumumkan BKSDA Sumbar pada awal November lalu itu banjir kritikan dari warganet, aktivis lingkungan, hingga ahli geologi dan pariwisata. Proyek itu dinilai nirmanfaat, merusak keaslian situs dan pemandangan, serta bertentangan dengan semangat konservasi.
Baca juga: Tambang Emas Ilegal Ancam Keberadaan Taman Bumi Nasional Silokek
Penanda kawasan yang hendak dibangun itu bertuliskan ”TWA Lembah Harau”. Di bawahnya ada tulisan yang lebih kecil: ”BKSDA Sumbar-50 Kota”. Posisi penanda itu tergantung atau menempel di sisi tebing, menghadap ke arah kedatangan pengunjung atau arah barat daya. Lokasi itu masuk kawasan Nagari Tarantang, Kecamatan Harau, Limapuluh Kota.
Adapun Ardi di awal pengumuman rencana proyek itu mengatakan, pembangunan landmark itu sesuai dengan permintaan warga setempat. Landmark diyakini bakal meningkatkan kunjungan wisata. Pembangunan diklaim sudah mengikuti aturan berlaku dan tidak berdampak negatif pada kawasan.

Pemandangan berlatar tebing Lembah Harau di Kecamatan Harau, Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Minggu (18/8/2019).
Geopark dunia
Kepala Puslitbang Geopark dan Lingkungan Hidup Universitas Taman Siswa Padang Osronita, dalam rapat itu, mengatakan, Lembah Harau merupakan salah satu potensi geologi di Sumbar yang bernilai dunia. Proses pengajuan sebagai geopark nasional dan dunia sedang berlangsung meskipun sangat lambat akibat belum ada respons dari daerah.
Destinasi tempat swafoto masuk dalam lima pariwisata yang menyebalkan/norak di Indonesia. (M Zuhrizu)
Dalam webinar beberapa waktu lalu, lanjut Osronita, ia juga sudah menyampaikan kekayaan Geopark Lembah Harau itu kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Namun, koordinasi lebih lanjut belum maksimal.
”Inilah sebenarnya kekurangan kita. Koordinasi dari pusat ke daerah itu belum optimal. Artinya, masih banyak OPD (organisasi perangkat daerah) di daerah belum paham sebenarnya bagaimana pentingnya situs geologi itu dijaga,” kata Osronita.
Hutan di geopark memang merupakan kawasan BKSDA. Namun, dalam hal kebijakan penjagaan situs geologi yang bernilai dunia tinggal penetapan saja. ”Kami masukkan surat ke pusat, akan langsung keluar SK penetapan bahwa Lembah Harau itu bernilai dunia. Hanya satu temannya di dunia, yaitu Taman Nasional Yosemite (di AS). Jadi, besar peluang Lembah Harau untuk jadi geopark dunia,” ujarnya.

Atraksi sembur api membuka pertunjukan silek lacah dalam Festival Seni dan Budaya Pasa Harau di Lembah Harau, Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Minggu (18/8/2019). Festival yang menyajikan pertunjukan musik, seni, budaya, dan permainan tradisi, serta acara kuliner itu merupakan satu dari tiga atraksi wisata di Sumbar yang masuk dalam 100 Calender of Event Kementerian Pariwisata.
Osronita menjelaskan, berdasarkan aturan yang ditetapkan UNESCO, zona inti situs geologi hanya boleh diamati tidak boleh diapa-apakan. Pada Lembah Harau, Pemerintah Hindia Belanda bahkan sudah membuat aturan yang tertuang di tiga tugu di kawasan itu.
”Ada tiga tugu di Lembah Harau. Di tugu disebutkan, pada Pasal 3 Ayat (1) dan (2), bahwa dilarang mengganggu, dilarang merusak, dan dilarang mengubah lingkungan Cagar Alam Lembah Harau. Ini sejalan dengan UNESCO, zona inti hanya boleh diamati,” ujarnya.
Dengan demikian, rencana pemasangan landmark di tebing Lembah Harau itu mengganggu zona inti. Tulisan sepanjang 45 meter dan tinggi 4 meter itu menghalangi kegiatan riset, edukasi, dan konservasi. Walakin, ia mendukung jika landmark dipasang di luar zona inti.
Mulai ditinggalkan
Pegiat pariwisata M Zuhrizul, dalam rapat, mengatakan, niat BKSDA Sumbar dalam membantu memajukan pariwisata Sumbar patut diapresiasi. Sejumlah taman wisata alam (TWA) mulai dibenahi. Walakin, memasang landmark di tebing Lembah Harau tidak tepat.
Menurut Zuhrizul, obyek wisata yang mengedepan titik swafoto (selfie) mulai ditinggalkan pengunjung. Sejumlah destinasi seperti itu mulai gulung tikar. Bahkan, destinasi tempat swafoto masuk dalam lima pariwisata yang menyebalkan/norak di Indonesia.
”Merek (tulisan) yang besar itu justru berada di peringkat pertama. Nomor dua tempat selfie, seperti (simbol) love di pinggir danau. Nomor tiga tempat yang dicat-cat, seperti kampung warna-warni. Nomor empat tempat yang membayar (tiket) dua kali. Nomor lima ketegasan dari daerah soal kebersihan (tempat wisata kotor),” katanya.

Pemandangan obyek wisata Lembah Harau di Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Sabtu (4/1/2020) sore.
Ketua Asosiasi Wisata Minat Khusus (Indonesia Adventure Travel and Trade Association/IATTA) Sumbar itu menambahkan, tempat pariwisata seperti yang disebutkan itu saat ini memang gampang mendatangkan uang bagi masyarakat secara instan. Walakin, konsep seperti itu tidak berkelanjutan.
Riri Afriyanti (28), warga Kecamatan Luak, Limapuluh Kota, mengatakan, ia sangat mengapresiasi BKSDA Sumbar yang membatalkan pembangunan landmark di tebing Lembah Harau. ”Saya apresiasi sekali karena pemerintah mendengarkan masyarakat dan tidak jadi merusak alam,” katanya.
Kejadian ini, kata Riri, menunjukkan kerja pemerintah selalu tanpa studi. ”Entah karena memang hanya mengejar proyek atau memang tidak tahu. Padahal, seharusnya tahu karena lembaga terkait, kan, berisi orang-orang yang paham di bidangnya,” ujarnya.
Ia juga heran dengan konsep warna-warni di alam, seperti bangunan love warna-warni di salah satu titik kawasan Lembah Harau. ”Itu (konsepnya) sebenarnya tidak cocok sama sekali dengan Lembah Harau,” ujarnya.
Lembah Harau lebih cantik jika tetap alami. Alih-alih membuat landmark, akan lebih baik pemerintah memperbaiki sejumlah sarana-prasarana di sana.
”Yang perlu diperbaiki itu akses ke sana, sistem ticketing dan pelayanan. Jalan diperlebar, hasil penjualan tiket masuk ke kas daerah, dan berantas pungli agar orang-orang nyaman dan tidak kapok datang ke sana,” ujarnya.