Pentingnya Mengawal Penangkapan Terukur di Laut Arafura
Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota belum dilaksanakan. Menurut rencana akan diuji coba di Laut Arafura.
Jumain (41) memutar pedal gas mesin berkekuatan 15 HP (tenaga kuda) untuk mendorong perahu melaju di atas permukaan air laut. Rabu (16/11/2022) malam itu, dari pesisir Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, ia bertolak menuju Laut Arafura untuk mencari ikan untuk membiayai hidupnya.
Setelah menempuh sekitar 10 mil laut atau sekitar 18,5 kilometer, tampak di hadapannya pemandangan terang benderang. Seperti kota terapung, begitu pikirnya.
Puluhan kapal ikan berukuran paling kecil 30 gros ton yang dihiasi lampu kerlap-kerlip bermanuver sambil melepas pukat. Jumain lalu membelokkan arah perahunya yang berukuran 1,5 gros ton itu.
”Lebih baik menghindar. Mereka (kapal besar) tidak peduli karena kapal mereka besar dan bahannya besi. Pernah terjadi perahu nelayan seperti saya punya ini ditabrak,” kata Jumain yang menggunakan perahu berbahan fiber sepanjang 5 meter dan lebar sekitar 1,5 meter itu.
Ia terus bertolak semakin ke jauh hingga 20 mil laut (37 kilometer). Di sana ia memancing selama dua hari dan mendapatkan lebih dari 100 ekor ikan.
Ia kemudian pulang menjualnya di Dobo. Uang hasil penjualan sekitar Rp 3 juta itu ia bagi lagi dengan pemilik perahu motor.
Lebih dari 20 tahun menjadi nelayan, ia belum mampu membeli perahu motor, yang saat ini harga per unit sekitar Rp 40 juta.
”Saya sewa perahu dengan sistem bagi hasil. Setelah dikurangi bahan bakar, saya dapat bersih sekitar Rp 1,5 juta. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari,” ujarnya.
Menggunakan perahu pinjaman tak masalah bagi Jumain selama ikan di Laut Arafura masih banyak. Laut Arafura yang membentang dari bagian tenggara Kepulauan Maluku hingga selatan Papua merupakan perairan yang subur.
Ekosistem mangrove dan lamun yang tumbuh di pesisir Papua dan Kepulauan Maluku memberi pasokan makanan bagi biota laut.
Di luar itu, Laut Arafura mengalami proses upwelling atau pangadukan setiap tahun. Mulai bulan Mei hingga Agustus terjadi pergerakan massa air bersuhu dingin yang kaya nutrisi dari dasar laut ke permukaan.
Proses itu ditandai angin kencang dan gelombang tinggi. Warga setempat menyebutnya musim timur.
”Biasanya setelah musim timur, ikan banyak,” ujar Jumain.
Kesuburan perairan itu terlihat pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menyebutkan potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) 718, termasuk Laut Arafura di dalamnya, mencapai 2,64 juta ton per tahun atau 21 persen dari keseluruhan potensi ikan nasional. Angka ini tertinggi dari 11 WPP-RI.
Penangkapan terukur
Tingginya potensi ikan mendorong KKP berencana menjadikan Laut Arafura untuk uji coba kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota. Dalam kebijakan tersebut, negara memberikan izin kepada perusahaan perikanan untuk menangkap dalam kurun waktu tertentu dan batas kuota yang ditetapkan. Hingga 18 November 2022, kebijakan itu belum dilaksanakan.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam rapat kerja Komisi IV DPR, Selasa (30/8/2022), Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota telah disiapkan komprehensif.
Hasil penangkapan ikan terukur dinilai akan mendongkrak penerimaan negara bukan pajak, yang hasilnya akan dialokasikan untuk mengangkat kesejahteraan nelayan.
Baca juga: Kebijakan Penangkapan Terukur untuk Siapa?
Menurut Sakti, sebagian besar nelayan Indonesia yang berjumlah 2,2 juta orang hingga kini belum sejahtera. Program mendorong kesejahteraan nelayan sulit dilakukan jika hanya mengandalkan postur APBN.
Pagu anggaran kementerian tersebut pada 2023 sebesar Rp 6,76 triliun atau 0,0068 persen dari alokasi belanja seluruh kementerian dan lembaga, yakni sebesar Rp 993,2 triliun (Kompas, 31/8/2022).
Menanggapi rencana penangkapan terukur, Collin Leppuy, pemuda Kabupaten Kepulauan Aru, khawatir, kebijakan itu membuka ruang bagi korporasi besar untuk menguasai Laut Arafura. Dukungan armada dalam jumlah banyak dan berukuran besar dapat dimanfaatkan untuk mengeruk hasil laut.
Ia juga menilai, penangkapan terukur berbasis kuota mirip dengan Banda Sea Agreement yang berlaku tahun 1968 hingga 1979. Kesepakatan antara Indonesia dan Jepang itu memberi ruang bagi 100 kapal ikan Jepang untuk menangkap tuna di Laut Banda, Maluku. Kuota yang diberikan maksimum 8.000 ton per tahun.
Kebijakan itu di satu sisi menguntungkan korporasi perikanan. Namun, di sisi lain, minim manfaatnya bagi daerah setempat.
”Apa manfaatnya bagi nelayan lokal di sekitar Laut Banda? Mereka tetap miskin sampai hari ini. Sementara menurut data yang kami peroleh, selama kurun waktu 1970 sampai 1979, tangkapan tuna di Laut Banda mencapai 40.000 ton dengan nilai 20 juta dollar AS,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi menjamin pengawasan penangkapan terukur berbasis kuota akan dilakukan secara ketat. Salah satunya adalah timbangan elektronik di pelabuhan pendaratan yang terhubung secara daring dengan sistem informasi di kantor KKP.
Timbangan elektronik itu pernah diperlihatkan kepada Presiden Joko Widodo saat mengunjungi Pelabuhan Perikanan Nusantara Tual pada September 2022. Kunjungan itu salah satunya untuk mengecek persiapan pelaksanaan penangkapan terukur berbasis kuota. Pelabuhan Tual menjadi titik pendaratan ikan untuk kapal yang beroperasi di Laut Arafura.
Zaini juga memastikan penangkapan terukur tidak menyingkirkan nelayan lokal. Nelayan lokal bebas beroperasi tanpa dibatasi wilayah penangkapan. Titik tekan penangkapan terukur ada pada kuota penangkapan, bukan pengavelingan wilayah laut sebagaimana dikhawatirkan banyak nelayan kecil.
Ia memaparkan, aktivitas ekonomi diprediksi semakin menggeliat mengingat setiap perusahaan pemegang kontrak penangkapan terukur di Laut Arafura diminta membangun industri pengolahan di sana. Tujuannya, problem kemiskinan masyarakat di daerah kaya potensi laut itu dapat terurai.
Akan tetapi, Ruslan Tawari, pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, memperkirakan implementasi penangkapan terukur berbasis kuota tidak semuanya berjalan mulus. Potensi pelanggaran tetap saja tinggi sebab bisnis perikanan tidak lepas dari pengaruh mafia.
”Sebab, perikanan itu duitnya banyak,” ujarnya.
Menurut Ruslan, pengawasan terhadap kebijakan penangkapan terukur perlu melibatkan pihak lain di luar pemerintah. Data tentang kontrak penangkapan, jumlah kapal, pergerakan kapal, pelabuhan pendaratan, dan hasil penangkapan agar dibuka ke publik.
Ruslan juga berharap, penangkapan terukur berbasis kuota jangan sampai mengusik nelayan lokal skala kecil, seperti Jumain yang menggantungkan hidup mereka di Laut Arafura. Jika pada waktunya kebijakan itu dijalankan, mari sama-sama mengawalnya.
Baca juga: Polemik Penangkapan Terukur