Kebijakan penangkapan ikan secara terukur berbasis kuota hingga kini menuai penolakan sejumlah kalangan. Pemerintah meyakini kebijakan ini mampu mengangkat kesejahteraan nelayan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Dengan cara memanggul menyeberangi pantai, seorang nelayan membawa seekor tuna segar yang baru saja ditangkap menuju tempat penimbangan di Desa Sangowo, Kecamatan Morotai Timur, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, Rabu (27/7/2022).
Kebijakan penangkapan ikan secara terukur berbasis kuota menuju tahapan uji coba. Namun, kebijakan yang digulirkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak akhir tahun 2021 itu masih dihadang sejumlah persoalan.
Kebijakan penangkapan ikan secara terukur berbasis kuota memberi kesempatan bagi investor dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya ikan pada zona-zona industri melalui perizinan khusus berjangka 15 tahun. Dari kebijakan itu, pemerintah menargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp 12 triliun pada 2024, atau melesat dari tahun 2021 yang sekitar Rp 1 triliun. Skema penarikan PNBP dialihkan dari pra produksi menjadi pascaproduksi.
Zona industri perikanan yang menerapkan kuota penangkapan ikan meliputi empat zona di tujuh wilayah pengelolaan perikanan RI (WPP NRI), yakni WPP NRI 718 (Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor bagian timur); WPP NRI 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan); WPP NRI 716 (Laut Sulawesi); dan WPP NRI 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik). Selain itu, ada WPP NRI 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera); serta WPP NRI 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan WPP NRI 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara).
Uji coba pada zona industri bakal diterapkan di WPP NRI 718. Wilayah Laut Arafura, bagian dari WPP 718, tercatat sebagai wilayah paling produktif ikan, dengan potensi 2,64 juta ton per tahun atau 21 persen dari total stok ikan nasional, sekaligus wilayah rawan praktik penangkapan ikan ilegal.
Dalam sejumlah kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebut penangkapan ikan terukur berbasis kuota merupakan program prioritas KKP. PNBP yang dihasilkan dari kebijakan itu akan dialokasikan kembali untuk program-program peningkatan kesejahteraan nelayan Indonesia yang hingga kini masih terjerat kemiskinan. Dalam tahun 2023, KKP menargetkan kebijakan penangkapan terukur dapat diterapkan secara menyeluruh.
Tiga pelabuhan disiapkan untuk uji coba, yakni Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tual di Maluku, PPN Ternate di Maluku Utara, dan PPN Kejawanan di Jawa Barat. Meski demikian, uji coba itu beberapa kali tertunda karena persoalan regulasi, kesiapan sarana prasarana pelabuhan dan sumber daya manusia untuk sistem pencatatan dan verifikasi di pelabuhan, serta mekanisme pengawasan.
Semula, pemerintah menggulirkan sistem kontrak penangkapan ikan terukur berjangka 15 tahun pada zona industri. Namun, sistem kontrak pemanfaatan sumber daya alam itu dinilai tidak sesuai konstitusi sehingga akhirnya batal dan dialihkan ke perizinan khusus. Meski berubah, skema perizinan khusus masih menyerupai sistem kontrak, hanya tidak ada penandatanganan kontrak antara pemerintah dan pelaku usaha dalam pemanfaatan sumber daya ikan.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Nelayan membersihkan isi perut dan kepala ikan tuna segar di tempat penimbangan di Desa Sangowo, Kecamatan Morotai Timur, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, Rabu (27/7/2022).
Masalah lain yang mengemuka adalah belum ada payung hukum kebijakan. Peraturan pemerintah terkait penangkapan ikan terukur berbasis kuota hingga kini masih dalam proses penyusunan. Sementara itu, fasilitas pelabuhan belum optimal, termasuk kesiapan timbangan elektronik dan petugas pengolahan data.
Hingga pertengahan Agustus 2022, terdapat 12 perusahaan yang mendaftar perizinan khusus penangkapan ikan terukur. Sebagian besar merupakan perusahaan penanaman modal asing (PMA) dengan investor antara lain asal China, Thailand, dan Malaysia. Sebagian merupakan perusahaan baru yang masih dalam proses pengadaan kapal buatan luar negeri. Sebagian lagi adalah perusahaan lama dengan kepemilikan kapal-kapal buatan luar negeri yang pernah terdampak kebijakan moratorium kapal eks asing pada tahun 2014.
Karpet merah bagi para investor besar tersebut menuai keraguan bahwa kebijakan itu menimbulkan efek ekonomi bergulir bagi nelayan kecil. Sejumlah kalangan, seperti lembaga swadaya masyakarat, akademisi, dan DPR, mengkhawatirkan kebijakan itu hanya akan menguntungkan pemodal besar dalam pemanfaatan sumber daya ikan, dan sebaliknya nelayan kecil dan lokal yang serba terbatas dari segi modal, peralatan, dan teknologi hanya menjadi penonton. Apalagi, sistem pengawasan perairan Indonesia dinilai masih lemah.
Di Maluku, kelompok nelayan meragukan komitmen pemerintah dalam memberdayakan nelayan skala kecil pasca-pemberlakuan kebijakan tersebut (Kompas, 31/8/2022). Muncul kekhawatiran penguasaan izin khusus oleh korporasi besar justru akan mengeruk sumber daya ikan di Maluku.
Di tengah tarik-menarik penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur, pemerintah perlu fokus memetakan kembali persoalan mendasar dan solusinya jika memiliki perhatian serius mengentaskan nelayan dari kemiskinan. Sebanyak 2,2 juta nelayan Indonesia dengan 97 persen di antaranya merupakan nelayan kecil memerlukan pemberdayaan, penguatan kapasitas, dan akses permodalan untuk bisa berdaya saing dan optimal memanfaatkan potensi ikan setempat.
Keberpihakan negara dalam program-program yang langsung menyentuh nelayan kecil menjadi kunci memecahkan persoalan kemiskinan nelayan. (BM Lukita Grahadyarini)