Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terus terjadi menjadi alarm untuk meningkatkan kewaspadaan. Apalagi, pelaku mempunyai berbagai modus untuk menjerat korban.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Tiga pelaku kasus pencabulan dan pemerkosaan terhadap anak ditangkap polisi di Lampung dalam sepekan terakhir. Kewaspadaan terhadap lingkungan mendesak ditingkatkan karena pelaku mempunyai berbagai modus untuk menjerat korban.
Tiga kasus kekerasan seksual terhadap anak ini terjadi di Kabupaten Lampung Tengah dan Pesawaran, Lampung. Tiga kasus pencabulan dan pemerkosaan ini menimpa anak perempuan berusia 11 tahun, 15 tahun, dan 17 tahun. Modus yang digunakan mulai dari membujuk, memacari, hingga modus ritual pengobatan alternatif.
Kepala Kepolisian Sektor Padang Ratu Komisaris Rahmin mengatakan, pelaku pencabulan dan pemerkosaan yang ditangkap adalah MM (38), warga Desa Haj Pemanggilan, Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah. Pelaku yang merupakan tetangga korban dibekuk pada Jumat (18/11/2022) dini hari di rumahnya.
Kasus ini terungkap setelah keluarga korban melapor pada polisi. Pelaku diduga sudah tiga kali melakukan pencabulan dan pemerkosaan terhadap korban N (11) dalam kurun waktu September-Oktober 2022.
Ia mengungkapkan, untuk mengelabui korban, pelaku memberikan uang pada korban dan berpura-pura mengajaknya bermain. Namun, korban justru dibawa ke tengah kebun singkong dan mencabulinya. Pelaku juga mengancam korban untuk tidak melaporkan kejadian itu pada orang lain.
”Korban diancam apabila menceritakan pada orang lain akan diikat menggunakan tali tambang di tengah kebun,” kata Rahmin saat dikonfirmasi, Jumat (18/11/2022).
Menurut dia, korban berhasil melarikan diri saat hendak dibawa pelaku ke tengah kebun singkong pada 14 Oktober 2022 lalu. Korban yang ketakutan lalu melaporkan kejadian itu pada neneknya. Keluarga korban pun langsung melaporkan kasus dugaan pencabulan dan pemerkosaan tersebut pada polisi.
Sementara itu, di Kabupaten Pesawaran, pelaku pelecehan seksual yang ditangkap adalah MTF (15). Korban yang masih berusia anak-anak itu dilaporkan oleh keluarga korban karena diduga mencabuli teman perempuannya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Pesawaran Ajun Komisaris Supriyanto Husin mengatakan, pelecehan seksual itu terjadi pada 10 November 2022. Saat itu, pelaku menjemput dan mengajak korban bermain ke rumahnya. Di sana, pelaku tiba-tiba melakukan pelecehan seksual.
Pelaku ditangkap di rumahnya tanpa perlawanan setelah keluarga korban melapor. Dari hasil penyelidikan, pelaku mengaku pernah menonton video pornografi melalui gawai. Paparan konten pornografi itu diduga menjadi salah satu faktor yang mendorong remaja laki-laki itu berani melakukan pelecehan terhadap teman perempuannya.
Pada 14 November 2022, Polres Pesawaran juga menangkap HRT (46), warga Desa Teluk Pandan, Kecamatan Hanura, Pesawaran, karena melakukan pemerkosaan terhadap AWS (17). Pelaku memperkosa korban dengan modus melakukan ritual pengobatan alternatif untuk menghilangkan sihir.
Supriyanto mengungkapkan, dugaan pemerkosaan itu terjadi sekitar satu tahun lalu atau sekitar September 2021. Pelaku yang bekerja sebagai petani itu mengaku bisa mengobati korban yang terkena sihir.
Pelaku lalu meminta korban melakukan ritual di rumahnya pada malam hari. Saat itulah pelaku justru memaksa dan memerkosa korban.
Ia menuturkan, maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi menjadi alarm agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan. Pasalnya, pelaku juga mempunyai berbagai modus untuk menjerat korban. Kekerasan seksual juga bisa terjadi di mana saja dan dilakukan oleh siapa saja, termasuk orang terdekat korban.
Berdasarkan data yang dirangkum Lembaga Advokasi Anak Lampung, sepanjang tahun 2021, terjadi 239 kasus kekerasan di Lampung. Sebagian besar korban berusia kurang dari 18 tahun. Kasus yang terjadi kemungkinan besar jauh lebih banyak daripada yang dilaporkan dan didata.
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Anak Damar Sely Fitriani di Bandar Lampung, tingginya angka kekerasan yang menimpa anak ini dipicu beragam faktor. Anak dianggap tidak berani melawan ketika mengalami kekerasan. Anak juga dinilai belum memiliki nalar cukup untuk melaporkan peristiwa yang dialaminya.
Kurangnya kewaspadaan orangtua juga ikut memengaruhi. Pembiaran perubahan perilaku anak oleh orangtua membuat kasus kekerasan semakin sulit diungkap.