Pemahaman Warga tentang Tindak Kekerasan Seksual Minim
Kendati Indonesia telah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kekerasan seksual terus menjadi momok bagi perempuan dan anak-anak. Implementasi undang undang itu dinantikan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengetahuan masyarakat tentang kekerasan seksual masih amat rendah, menyusul terus terjadinya kekerasan seksual di berbagai daerah. Oleh karena itu, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, mesti makin gencar disosialisasikan kepada publik, termasuk kalangan aparat penegak hukum yang berhadapan langsung dengan kasus-kasus kekerasan seksual.
Sosialisasi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sangat penting dilakukan demi membangun kesadaran semua pihak untuk bergerak bersama melakukan pencegahan terhadap kekerasan seksual. Sejauh ini, sosialisasi dari UU TPKS sudah dilakukan tapi sangat terbatas.
”Agar sosialisasi UU TPKS berjalan cepat, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perempuan Anak, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sebaiknya duduk bersama membangun koordinasi penanganan TPKS,” kata Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi, di Jakarta, Minggu (7/8/2022).
Aminah mencontohkan pentingnya pemahaman bersama. Misalnya soal ketentuan 1 x 24 jam sejak laporan ke kepolisian, pelapor harus diberikan perlindungan sementara, bagaimana caranya dan siapa yang memberikan perlindungan hal itu harus sama-sama disepakati oleh pihak yang terkait.
”Pemahaman dan alur ini bisa menjadi pedoman bagaimana penegakan UU TPKS. Sebab, Komnas Perempuan mulai menerima pengaduan atau informasi di mana polisi sudah mulai menggunakan UU TPKS,” kata Aminah.
Adapun Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) hingga kini Komnas Perempuan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) sedang menyusun saran dan masukan. Salah satunya masukan untuk Rancangan PP Koordinasi dan Pemantauan sebagaimana dimandatkan ke lembaga nasional HAM.
Ketua Yayasan Sekretariat Untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (Yayasan Sukma) Sri Nurherawati menegaskan sosialisasi UU TPKS harus dilakukan secara masif agar ada percepatan perubahan di masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan, termasuk penegakan hukum.
”Pengetahuan masyarakat penting agar bisa memperbaiki perilaku dan pola pikir, serta mendorong masyarakat semakin peduli dengan kasus-kasus kekerasan seksual dan pencegahannya. Edukasi mengenai larangan melakukan kasus kekerasan seksual dan mengenali bentuk-bentuk kekerasan seksual juga harus terus-menerus,” ujar Nurherawati.
Sejalan dengan hal itu, transparansi proses penegakan hukum juga harus ditingkatkan agar korban terbuka akses keadilannya. Misalnya, penegak hukum harus memberikan informasi akan hak-hak korban kekerasan seksual serta memberikan informasi perkembangan penanganan perkara melalui Surat Pemberitahuan Hasil Penyelidikan (SP2HP).
Pemahaman masyarakat penting agar bisa memperbaiki perilaku dan pola pikir, serta mendorong warga semakin peduli dengan kasus-kasus kekerasan seksual dan pencegahannya.
Adapun pemenuhan hak korban harus dilakukan semenjak ada pelaporan, dan pembuktian merupakan beban negara dalam hal ini penyidik. Dengan demikian sehingga korban saat lapor tidak dibebani membawa alat bukti untuk mendukung laporannya.
”Justru negara yang harus menyiapkan layanan pendamping asesmen psikolog dan pekerja sosial untuk membantu korban memberikan keterangan sehingga membantu penyidik mencari alat buktinya,” kata Nurherawati.
Infografik Sejumlah Pasal Krusial di RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
Penegakan hukum
Lusia Palulungan dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasaan menegaskan, dari pendampingan terhadap sejumlah korban kasus kekerasan seksual, sejauh ini aparat penegak hukum (APH) belum menerapkan UU TPKS. Bahkan, di beberapa kasus kekerasan seksual yang viral, belum kelihatan jika UU TPKS digunakan.
”Bisa jadi, aparat penegak hukum di garda terdepan penanganan kasus, yaitu di kepolisian, belum mengetahui bagaimana menggunakan UU ini, atau bahkan belum mengetahui sama sekali. Hal ini perlu pemantauan apa yang menjadi kendala penerapannya. Kalau perlu, dibuat bimbingan teknis bagi para penyidik mengenai UU TPKS dan penerapannya di dalam kasus kekerasan seksual,” kata Lusia.
Menurut Lusia, pengalaman selama ini, tantangan dalam penegakan hukum pada sumber daya manusia APH yang belum mengetahui UU TPKS dan bagaimana penerapannya, baik hukum acaranya maupun ketentuan lain. Selain itu, APH juga masih selalu berpatokan pada perlunya peraturan turunan atau petunjuk teknis lainnya.
Jajak pendapat kekerasan seksual infografik.
Sementara itu, terkait kasus kekerasan seksual di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang menimpa seorang remaja berusia 15 tahun asal Serang, Banten, akhir pekan lalu, Kementerian PPPA menyesalkan kasus tersebut. Kasus tersebut dilakukan pelaku berusia 29 tahun, yang dikenal korban melalui permainan daring. Kasus tersebut terjadi saat korban berada di Cirebon untuk berlibur sekolah di rumah neneknya bersama ayahnya.
”Kami juga akan terus mengawal rencana kepulangan korban kembali ke Serang dan memastikan korban tetap mendapatkan pendampingan yang diperlukan di kota asalnya,” ujar Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA.