Energi Baru Terbarukan Terkendala Regulasi dan Investasi
Pemanfaatan energi baru terbarukan di Sumatera Selatan belum optimal. Tingginya investasi hingga terbatasnya wewenang pemerintah daerah menjadi beberapa penyebabnya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pemanfaatan energi baru terbarukan di Sumatera Selatan belum optimal. Tingginya investasi hingga terbatasnya wewenang pemerintah daerah menjadi beberapa penyebabnya.
Hal ini disampaikan Kepala Bidang Energi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sumatera Selatan Aryansah dalam diskusi publik bertajuk ”Transisi Energi Berkeadilan dan Berkelanjutan di Provinsi Sumatera Selatan”, Jumat (11/11/2022). Dia mengatakan, sebenarnya potensi energi baru terbarukan (EBT) di Sumsel sangatlah besar, yakni mencapai 21.032 megawatt (MW), tetapi yang terpasang hanya 945,52 MW atau sekitar 4,5 persen dari potensi yang ada.
Beberapa jenis EBT yang telah terpasang seperti bioenergi, tenaga surya, tenaga air, dan geotermal (panas bumi). Adapun komposisi terbesar dari keempat jenis pemanfaatan energi itu adalah bio-energi dengan kapasitas terpasang mencapai 776,06 MW.
Ada beberapa penyebab potensi EBT tidak optimal. Pertama, terbatasnya wewenang pemerintah daerah untuk memberikan izin operasi. ”Pemda hanya berwenang memberikan rekomendasi namun keputusan operasi diserahkan kembali kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian ESDM,” ujarnya.
Selain itu, biaya investasi untuk memasang EBT terbilang cukup mahal dibandingkan menggunakan pembangkit listrik bertenaga fosil. ”Investor pasti memiliki pertimbangan tersendiri utamanya terkait keuntungan jika berinvestasi di bidang itu,” ujarnya.
Padahal, penggunaan EBT sudah sangat mendesak karena produksi energi berbasis fosil, seperti minyak dan gas bumi, di Sumsel sudah mulai menurun dari tahun ke tahun. Untuk gas bumi, misalnya, produksi pada 2021 mencapai 13 juta barel, menurun dibandingkan tahun 2020 sebesar 18 juta barel. ”Untuk membuka lahan eksplorasi yang baru, butuh biaya hingga 5 juta dollar AS per titik dengan tingkat keberhasilan hanya 50 persen,” katanya.
Karena itu, transisi energi perlu dilakukan apalagi Indonesia sudah berkomitmen untuk net zero emissions atau nol bersih emisi pada 2060. Komitmen pemerintah Sumsel untuk menyediakan energi bersih terbukti dengan pencanangan Pagar Alam sebagai kota hijau pertama di Indonesia.
”Kebutuhan listrik di sana (Kota Pagar Alam) menggunakan konsep EBT dengan memanfaatkan pembangkit listrik tenaga mikrohidro,” ujarnya.
Jika dilihat dari sisi bauran energi, kontribusi EBT di Sumsel sekitar 23,14 persen dari seluruh energi yang dihasilkan di Sumsel. Adapun dari minyak bumi 17,33 persen, gas bumi 23,06 persen, dan batubara merupakan yang terbesar, yakni 36,47 persen. ”Ke depan, komposisi EBT akan diperkuat karena transisi sudah harus dilakukan,” ujar Aryansyah.
Senior Manager PLN Wilayah Sumsel Jambi Bengkulu Jaka Sumantri menyebut komitmen PLN untuk mulai menggunakan EBT telah direncanakan sebagai wujud transformasi PLN menjadi perusahaan listrik bersih. ”Produk kami akan menjadi energi berkelanjutan,” ujarnya.
Jika dilihat dari porsi pembangkitan berdasarkan teknologi, kata Jaka, komposisi EBT pada tahun 2020 sekitar 14 persen dan batubara masih memegang komposisi terbesar, yakni 62 persen. Namun, pada 2060, sesuai dengan komitmen Indonesia untuk nol bersih emisi, penggunaan teknologi EBT memegang peranan terbesar dari porsi pembangkitan, yakni 66 persen dan tidak lagi menggunakan energi batubara.
Pemda hanya berwenang memberikan rekomendasi, tetapi keputusan operasi diserahkan kembali kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian ESDM. (Aryansah)
Untuk beralih dari energi fosil menuju energi bersih, diperlukan waktu. Hal itu karena masih ada pembangkit seperti PLTU yang masih beroperasi. ”Biasanya usia operasi sampai 25 tahun karena itu kita masih menunggu sampai proses operasinya selesai dan secara bertahap,” ujarnya.
Namun, jika dilihat dari bauran energi, penggunaan EBT di Sumatera sudah mencapai 27,33 persen melampaui target nasional, yakni 23 persen. Karena itu, kata Jaka, peran semua pihak, termasuk masyarakat, sangat dibutuhkan agar pemanfaatan EBT bisa lebih besar lagi di tahun berikutnya.
Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang, Yerizal, beranggapan pencanangan EBT perlu sosialisasi lebih intensif lagi. Sebagian besar anak muda di Sumsel bahkan tidak tahu apa itu EBT. ”Padahal, merekalah yang akan menggunakan EBT ini,” ujarnya.
Lembaga pendidikan berperan penting untuk memberikan pemahaman tentang EBT. Kampus harus sudah menggelar konsep kampus hijau yang mengedepankan penggunaan EBT. Selain itu, kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan operator harus diperkuat agar pelaksanaan EBT bisa lebih cepat.
Direktur Perkumpulan Sumsel Bersih Bonifasius Ferdinandus Bangun menuturkan, Indonesia sedang mencanangkan megaproyek energi baru terbarukan guna menggantikan energi fosil yang sudah puluhan tahun menjadi andalan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Namun, dalam proses transisi energi di Indonesia, pemerintah haruslah berlandaskan pada prinsip yang berkeadilan dan berkelanjutan. Prinsip itu seperti pelibatan masyarakat, perlindungan hak asasi manusia, keadilan ekologis, transformasi, dan keadilan ekonomi. Menurut Bonifasius, transformasi energi fosil menuju EBT harus dilakukan agar kerusakan lingkungan dapat diminimalisasi.