Terdapat perbedaan pendapat terkait energi yang layak dikategorikan sebagai EBT di RUU EBT. Daripada menggunakan istilah EBT, lebih baik fokus pada klasifikasi energi terbarukan dan energi tidak terbarukan.
Oleh
ALFAN SARIFUDIN
·4 menit baca
HERYUNANTO
Upaya pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) patut diapresiasi. Berdasarkan laman https://pusatpuu.dpr.go.id/simas-puu/detail-ruu/id/43, RUU tersebut dilandasi semangat transisi dari energi fosil ke EBT yang lebih ramah lingkungan, sumber yang ada belum dimanfaatkan secara optimal, meningkatkan ketersediaan, ketahanan, dan kemandirian energi nasional serta belum adanya perundang-undangan yang komprehensif.
Perhatian pemerintah dalam urusan energi tidak hanya ditunjukkan pada RUU EBT, tetapi juga mengangkat salah satu isu prioritas dalam presidensi Indonesia G20, yaitu transisi energi.
Sayangnya, tujuan mulia pemerintah untuk mengeluarkan paket perundang-undangan komprehensif untuk mengatur EBT masih dalam pembahasan yang sengit dan berlarut-larut. Salah satu penyebabnya adanya perbedaan pendapat terkait energi apa saja yang layak dikategorikan sebagai EBT.
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 4 RUU tersebut: ”Energi baru dan terbarukan adalah energi baru dan energi terbarukan”.
Adapun pada Pasal 1 Ayat 2 bahwa: ”Energi baru adalah semua jenis energi yang berasal dari atau dihasilkan dari teknologi baru pengolahan sumber energi tidak terbarukan dan sumber energi terbarukan”.
Selanjutnya, Pasal 1 Ayat 3 bahwa: ”Energi terbarukan adalah energi yang berasal atau dihasilkan dari sumber energi terbarukan”.
Definisi EBT pada Ayat 4 menjadi ambigu karena menggunakan konjungsi ”dan”. Artinya, apabila salah satu sarat gugur maka pernyataannya menjadi salah. Faktanya, tidak semua EBT pada RUU tersebut dihasilkan dari sumber energi terbarukan sebagaimana isi Pasal 1 Ayat 3.
Kontradiktif
Sumber energi yang masih menjadi silang pendapat yaitu energi nuklir dan turunan batubara seperti gas metana batubara (coal bed methane), batubara tercairkan (liquefied coal), dan batubara tergaskan (gasified coal). Energi-energi tersebut dalam RUU EBT saat ini diklasifikasikan sebagai energi baru. Namun, energi-energi tersebut tergolong tidak terbarukan sehingga kontradiktif dengan Pasal 1 Ayat 1 serta asas dan tujuan (Pasal 2) Huruf (d) ”kelestarian dan keberlanjutan”.
Selanjutnya penggunaan produk turunan batubara juga menjadi kontradiktif dari alasan transisi dari energi fosil ke EBT. Hal ini karena energi-energi produk turunan dari batubara merupakan produk turunan energi fosil. Klasifikasi ini masih serupa dengan energi fosil minyak bumi yang memiliki produk turunan seperti solar (diesel), bensin, avtur, dan lain sebagainya.
Untuk lebih jelasnya terkait klasifikasi EBT berdasarkan definisi dari Pasal 1 Ayat 1-4 disajikan dalam diagram Venn sebagai paradigma lama tentang energi. Segi empat adalah himpunan energi, segitiga adalah himpunan energi baru, lingkaran adalah himpunan energi terbarukan, perpotongan lingkaran, dan segitiga adalah EBT serta area di luar lingkaran dan segi tiga adalah energi tidak baru dan tidak terbarukan.
Daripada menggunakan istilah energi baru dan energi terbarukan, lebih baik fokus kepada klasifikasi energi terbarukan dan energi tidak terbarukan sebagai paradigma baru pada RUU tersebut.
Apabila merujuk kepada Pasal 1 Ayat 4 maka yang bisa diklasifikasikan sebagai EBT hanya sel bahan bakar mikrob, hidrogen, biohidrogen, dan sumber EBT lainnya. Secara logis, apabila masuk dalam energi baru atau terbarukan tidak serta-merta menjadi EBT.
Penggunaan istilah energi baru bukan suatu yang penting apabila merujuk pada asas dan tujuan (Pasal 2). Daripada menggunakan istilah energi baru dan energi terbarukan, lebih baik fokus kepada klasifikasi energi terbarukan dan energi tidak terbarukan sebagai paradigma baru pada RUU tersebut.
Alasan pertama, yaitu tidak semua energi baru merupakan energi terbarukan. Pemberian ruang terlalu luas kepada energi baru di RUU ini dikhawatirkan akan mendorong eksploitasi energi baru tetapi kurang ramah lingkungan dan tidak terbarukan semakin masif. Sebagai contoh eksploitasi produk turunan batubara justru akan semakin mempercepat dan memperparah krisis energi.
Kedua, pemberian istilah energi baru sebagai jenis energi yang berasal dari atau dihasilkan dari teknologi baru (Pasal 1 Ayat 2) merupakan alasan yang tidak mendasar. Pasal 5 Ayat 1 klasifikasi energi baru lebih mengarah didasarkan kapan teknologi tersebut pertama kali ditemukan dari pada energi yang dihasilkan teknologi baru. Berdasarkan penelusuran sejarahnya, semua energi baru pada RUU tersebut pertama kali ditemukan setelah tahun 1900-an.
Padahal, penelitian dan pengembangan pada energi terbarukan masih terus berlanjut dan teknologi-teknologi terbarunya juga masih selalu ditemukan dengan peningkatan kinerja yang semakin baik. Dengan demikian, seluruh energi terbarukan dapat diklasifikasikan sebagai energi baru berdasar temuan teknologi terbarunya.
Alasan selanjutnya yaitu, Indonesia belum menguasai teknologi nuklir untuk pembangkit listrik. Adapun laboratorium nuklir di Yogyakarta dan Bandung untuk penelitian medis dan pangan. Oleh karena itu, ini akan melanggar asas dan tujuan kedaulatan dan kemandirian.
Apabila ditelaah lebih lanjut, energi terbarukan saja justru sudah sesuai dengan asas dan tujuan (Pasal 2). Maka, RUU ini bisa dinamakan sebagai RUU tentang Energi Terbarukan. Akhirnya, paradigma baru terkait energi diharapkan menyelesaikan pembahasan RUU tersebut sesuai asas dan tujuannya.
Alfan Sarifudin, Awardee Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), Lembaga Pendidikan Indonesia (LPDP); Tengah Menempuh Pendidikan Magister (S-2) di Program Studi Teknik Mesin, Universitas Sebelas Maret (UNS)