Zahra Khan, Menghidupkan Pangan Lokal Gorontalo
Melestarikan pangan dan makanan lokal adalah sebuah perjuangan panjang. Zahra Khan mengakui, usahanya adalah bagian kecil dari perjuangan itu.
Entah sudah berapa lama petani padi di Gorontalo hanya bisa pasrah melihat ekspansi jagung hibrida yang pemerintah tetapkan sebagai primadona. Sebagai penggiat pangan lokal, Zahra Khan (36) menolak tinggal diam. Ia berusaha memberi nilai tambah pada bahan pangan lokal hasil jerih payah petani lokal, yakni beras varietas lokal.
Menjelang sore, Kamis (6/10/2022), seorang pria masuk ke pekarangan rumah Zahra yang dilingkupi segala macam pohon dan tanaman di Desa Huntu, Kecamatan Bulango, Kabupaten Bone Bolango. Ia berhenti dan memarkir sepeda motor otomatisnya tepat di depan teras.
”Ada beras coklat?” tanya pria itu. Zahra pun segera mengambil sekantong beras dari tumpukan di dalam sebuah rak kaca. Pada sisi depan bungkus hampa udara itu tertempel stiker logo Goronto, yang tak lain adalah nama usaha mikro yang Zahra rintis sejak 2016. Slogannya tertera pada stiker itu: locally produced, proudly consumed, diproduksi secara lokal, dikonsumsi dengan bangga.
Sebungkus beras coklat itu berbobot 1 kilogram dan harganya Rp 30.000. Zahra pun memberikannya kepada pria tersebut, yang akan menggunakannya sebagai pengganti beras putih bagi orangtuanya yang sudah sepuh.
Beras tersebut berasal dari sawah seluas 11 panthango atau 2,2 hektar milik bapak mertua Zahra. ”Varietasnya mekongga dan situ bagendit yang adalah bibit bantuan pemerintah. Setiap panen, sebagian tidak kami giling jadi beras, tetapi dijadikan benih untuk musim tanam berikutnya,” ujarnya.
Sejatinya, beras coklat adalah beras putih yang tak dipisahkan dari kulit arinya saat proses penggilingan. Namun, pengaruhnya pada kesehatan, kata Zahra, sangat signifikan. Kulit ari yang mengandung protein aleuron mampu menekan indeks glikemik beras tersebut ke kisaran 50, lebih rendah dari sekitar 72 pada beras putih.
Selain beras coklat, Zahra juga menjual beras merah. Tak kurang dari 30 kilogram beras terjual setiap bulan. Jika permintaan datang setelah stok beras dari sawah bapak mertuanya habis, ia akan membeli beras dari petani padi lain di sekitar Desa Huntu Selatan. Penggilingannya diawasi ketat demi menghindari tercampur dengan beras lain.
Sekalipun belum cukup banyak dari segi jumlah, menurut Zahra, penjualan beras coklat dan merah secara intra-Gorontalo adalah perkembangan yang baik. Sebagian ingin menghindari risiko diabetes, sebagian lainnya ingin membuat makanan pendamping air susu ibu (MP Asi).
”Sejak pandemi, orang lebih sadar soal pangan sehat. Banyak juga produk pangan sehat yang bermunculan. Tetapi kalau mau kita rujuk dari dulu, pangan sehat itu sudah banyak di kampung,” katanya.
Namun, ia menegaskan, apa yang ia lakukan bukan sekadar soal meraup untung dari ceruk pasar, melainkan menyuntikkan semangat baru bagi petani setempat. Selama ini, beras yang diproduksi petani Gorontalo tersingkir oleh beras yang datang dari Sulawesi Selatan, Barat, maupun Utara.
Baca juga: Pemuda Merayakan Pangan Lokal Gorontalo
Sistem yang mengatur komoditas beras pun tak propetani. Petani sangat kesulitan mendapatkan pupuk karena hampir semuanya terserap untuk lahan jagung yang membentang 400.000 hektar di Gorontalo, 10 kali lipat luas lahan padi. Itu pun difokuskan untuk jagung hibrida, bukan varietas lokal Gorontalo seperti momala yang berwarna keunguan atau pulut lokal berwarna putih.
”Alternatifnya adalah pupuk organik, tetapi mahal. Akhirnya petani harus berutang ke penggilingan. Tapi, karena banyak beras dari daerah lain di pasar, akhirnya beras di rumah petani dan di gilingan menumpuk. Otomatis, mereka tidak punya pilihan selain jual murah, berapa pun yang penting dapat duit,” papar Zahra.
Pemerintah daerah di Gorontalo bahkan kebingungan sendiri mempertahankan varietas padi lokal, seperti panelo, maraya, bokungo, baruna, atau ponda. Sistem pasar berlandaskan asas keunggulan absolut yang telanjur mengakar kuat telah melemahkan semangat para petani padi.
Maka, sebagai magister teknologi pangan, Zahra melakukan apa yang ia bisa, yakni mengolah dan menjual pangan sehat dari beras yang ditanam secara lokal. Itu pun bukan tanpa tantangan karena beras coklat dan merah yang ia jual dengan merek Goronto harus bersaing dengan produk lain dari luar negeri, seperti beras shirataki.
”Jadi saya berusaha berjualan dengan visi, yaitu mengunggulkan pangan lokal di Gorontalo, apalagi kita punya benih unggul. Dengan mengonsumsi pangan lokal, kita juga bisa berkontribusi memangkas jejak karbon. Makan pangan lokal adalah salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk menjaga Bumi,” ujarnya.
Rasa
Kendati begitu, keberhasilan mengangkat harkat beras produksi petani lokal tak hanya bergantung pada kampanye sosial, tetapi juga rasa dan aroma. Karena itulah, Zahra memadukan beras dengan segala macam bahan pangan lokal menjadi beragam makanan khas Gorontalo.
Hal ini ia coba pertama lewat Nasi Baskom, sebuah usaha mikro hasil kongsi dirinya dengan dua kawannya. Mereka membuat beragam hidangan dari beragam ikan lokal, terutama tuna dan cakalang dimasak dengan beragam bumbu, termasuk minyak kelapa alias minyak kampung khas Gorontalo. Adapun karbohidratnya berasal dari beras coklat, merah, atau campur Goronto.
Dengan begitu, kata Zahra, orang dapat menikmati makanan sehat dengan rasa yang lezat pula. Ketika Nasi Baskom terpaksa ditutup akibat pandemi dan segala pembatasan sosial pada 2020, ia melanjutkan sendiri upaya itu melalaui jasa boga di bawah naungan nama Goronto.
Semua makanan yang ia tawarkan adalah khas Gorontalo, dari semacam sup jagung bernama binthe biluhuta yang disajikan dengan ikan nike, ayam iloni, hingga beragam olahan ikan. Tak jarang pula Zahra menawarkan hidangan berbahan lobster yang berasal dari desa asal orangtuanya di Lemito, Pohuwato.
Hal yang membedakan jasa boga Goronto dari bisnis sejenis pada umumnya adalah semua bahannya, terutama sumber protein dan karbohidratnya, diproduksi oleh nelayan, peternak, dan petani asal Gorontalo. Prinsip ini adalah bagian dari upayanya untuk mempromosikan pangan lokal.
”Saya tidak punya menu tetap. Semua makanan yang saya sediakan itu tergantung stok dan apa yang ada di pasar dan pemasok langganan kami. Kalau memaksakan ada lauk jenis tertentu, akan sama saja seperti industri. Saat stok tidak ada, saya harus keliling sampai dapat satu jenis bahan pangan itu tanpa tahu asal-usulnya dari mana,” katanya.
Karena itu, Zahra menjalankan usahanya dengan pola mengumumkan menu dan membuka pesanan pada hari Senin dan Selasa dengan batas 100 porsi, lalu mengirimkannya kepada para pelanggan pada hari Rabu. Untuk hari Jumat, ia menerima pesanan bagi siapa pun yang mau berdonasi ke panti asuhan, masjid atau rumah sakit dalam bentuk makanan sehat.
Dari bisnis tersebut, ia bisa mendapatkan Rp 5 juta hingga Rp 10 juta setiap bulan. Namun, lagi-lagi ini bukan sekadar soal bisnis, melainkan melestarikan pangan dan makanan lokal. Ia pun berusaha menuliskan beragam cerita serta komposisi dan cara memasak makanan yang ia jual, mula-mula di akun bernama bakul Goronto di Instagram dan Facebook.
”Gorontalo sangat kekurangan tulisan tentang produk-produk budayanya, sedangkan jumlah penutur yang tahu tentang makanan lokal semakin berkurang. Jadi saya berharap tulisan saya ini mungkin akan ditemukan oleh orang 10 tahun lagi, misalnya, yang mencari referensi tentang makanan Gorontalo, lalu bisa memasaknya sendiri,” katanya.
Baca juga: Kabupaten Cari Solusi Atasi Banjir lewat Festival Kabupaten Lestari
Untuk itu, ia dan suaminya, Awaluddin Ahmad (36), juga mendirikan Studio Pangan yang merupakan bagian dari Huntu Art Distrik (Hartdisk). Studio Pangan kini beranggotakan 10 ibu di Desa Huntu Selatan yang didukung untuk ikut mempromosikan pangan dan kuliner lokal.
Setiap Sabtu, diadakan semacam pasar seni yang disebut Ambuwa di pekarangan galeri Hartdisk, hanya sepelemparan batu dari rumah Zahra dan Awaluddin. Saat itulah para ibu anggota Studio Pangan menjual berbagai kudapan khas Gorontalo, dari bubur sagela alias roa, bubur sagu manis diniyohu, serta beragam makanan ringan tradisional lainnya.
Ambuwa yang diadakan dua kali seminggu pun menjadi sarana membangkitkan kepercayaan diri para ibu dari Studio Pangan untuk ikut mempromosikan makanan lokal dengan bahan-bahan pangan yang lokal juga. Zahra pun mendukungnya dengan memberikan pesanan kue dari para pelanggannya kepada para ibu.
Melestarikan pangan dan makanan lokal adalah sebuah perjuangan panjang. Zahra mengakui, usahanya adalah bagian kecil dari perjuangan itu. ”Keberhasilan itu akan kita rasakan saat lebih banyak orang terinspirasi dan bangga dengan makanan dan pangan lokal Gorontalo, lalu mau memasak dan memakannya,” katanya.
Zahra Khan
Lahir: Gorontalo, 29 November 1985
Suami: Awaluddin Ahmad (36)
Pendidikan:
- S-1: Teknologi Hasil Perikanan Universitas Brawijaya Malang (2003-2008)
- S-2 Ilmu Pangan Institut Pertanian Bogor (2010-2012)
Pekerjaan: Jasa Boga Goronto