Pengawasan OJK dalam RUU Sektor Keuangan Bisa Mematikan Koperasi
Koperasi simpan pinjam menolak pengawasan otoritas jasa keuangan dalam RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Koperasi menghimpun dana hanya dari anggota. OJK prinsipnya pengawasan dana pihak ketiga.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Koperasi simpan pinjam di Sumatera Utara menolak pengawasan otoritas jasa keuangan dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Koperasi menghimpun dana hanya dari anggota dan menyalurkannya hanya untuk anggota, tidak ada pihak ketiga. OJK prinsipnya adalah pengawasan dana pihak ketiga.
”RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan ini juga sangat minim menyerap aspirasi. Sosialisasi telah dilakukan di Medan, tetapi terkesan hanya untuk memenuhi formalitas penyusunan undang-undang tanpa menyerap aspirasi dari koperasi itu sendiri,” kata Ketua Pengurus Pusat Koperasi Sumatera Timur Justinus Tamba, Selasa (1/11/2022).
Justin mengatakan, RUU Sektor Keuangan itu dikebut dan ditargetkan dapat disahkan akhir tahun ini. RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat itu disusun dengan metode omnibus law yang merevisi sekaligus banyak undang-udang. Selain mengatur perkoperasian, RUU itu juga mengatur tentang perbankan, pasar modal, perdagangan berjangka komoditi, perasuransian, dan semua sektor keuangan lain.
Dalam draf RUU yang diterima saat sosialisasi, kata Justin, masalah terbesar untuk koperasi adalah Bab XII Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi. Pada Pasal 191 dan 192 diatur revisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Pasal itu mewajibkan koperasi simpan pinjam mendapat izin dari OJK. Anggaran dasar koperasi juga harus diubah dan disesuaikan dengan Peraturan OJK. Jika sebelumnya modal koperasi hanya berasal dari anggota, pasal itu mengatur agar modal koperasi bisa juga didapat dari bank, penerbitan obligasi dan surat utang, serta sumber lain yang sah.
Justinus mengatakan, DPR sebagai inisiator RUU tersebut sangat tampak tidak mengerti sejarah, prinsip, dan asas dari koperasi itu sendiri. RUU itu melihat koperasi sebagai lembaga bisnis yang tidak ubahnya seperti perbankan. ”Di Indonesia, koperasi itu sangat kuat karena berpegang pada prinsip dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota,” kata Justin.
Justin menyebut, pemerintah harus membedakan koperasi simpan pinjam dengan rentenir berkedok koperasi. Rentenir bekedok koperasi ini memang harus ditertibkan, tetapi koperasi simpan pinjam yang sebenarnya harus dikuatkan.
Rentenir berkedok koperasi sangat mudah dikenali. Mereka tidak punya anggota dan menyalurkan pinjaman tidak kepada anggota. Rentenir berbaju koperasi itu juga sebenarnya milik perorangan, bukan milik anggota. Bunga pinjamannya juga sangat tinggi.
Sementara koperasi simpan pinjam hanya menghimpun dana dari anggota dan menyalurkan pinjaman hanya untuk anggota. Semua anggota koperasi juga punya hak kepemilikan yang sama pada koperasi sesuai dengan simpanannya di koperasi. Karena itu, semua keuntungan koperasi akan dibagikan sebagai sisa hasil usaha kepada anggota secara proporsional.
Koordinator Divisi Sosial Yayasan Ate Keleng Lesmawati Peranginangin mengatakan, secara gamblang, koperasi itu prinsipnya lebih kurang seperti arisan. ”Koperasi menghimpun uang anggota dan menyalurkannya sebagai pinjaman hanya untuk anggota. Keuntungannya semuanya dibagikan kepada anggota sebagai pemilik koperasi sesuai simpanan dan pinjamannya,” katanya.
Pemerintah harus membedakan koperasi simpan pinjam dengan rentenir berkedok koperasi. (Justin Tamba)
Lesma mengatakan, koperasi simpan pinjam sangat membantu masyarakat di desa yang tidak punya akses ke lembaga keuangan. Banyak usaha mikro, kecil, dan menengah yang bisa berkembang dari pendanaan koperasi. Mereka meminjam uang mulai dari ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. ”Bagaimana mungkin pinjaman ratusan ribu rupiah harus diawasi OJK. OJK tidak perlu masuk ke pinjaman ultramikro,” kata Lesma.
Lesma mengatakan, Yayasan Ate Keleng telah mendorong pembentukan 176 kelompok koperasi di 11 kabupaten/kota di Sumut. Mereka mempunyai sekitar 35.000 anggota dengan aset lebih kurang Rp 400 miliar yang semuanya adalah milik anggota. Koperasi pun didominasi kelompok kecil beranggota belasan sampai puluhan orang dengan aset sekitar 50 juta.
”Kami tidak ada menghimpun dana pihak ketiga. Sementara prinsip OJK itu adalah mengawasi dana pihak ketiga. Bagaimana mungkin OJK mengawasi dana anggota kami sendiri,” kata Lesma.
Lesma juga menyesalkan penyusunan RUU yang terkesan diam-diam. Tiba-tiba ada sosialisasi yang mengubah aturan koperasi secara sangat mendasar tanpa ada menyerap aspirasi dari pelaku koperasi sendiri.
Kepala Bidang Kelembagaan Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Pemerintah Provinsi Sumut Unggul Sitanggang mengatakan, RUU Sektor Keuangan itu pada prinsipnya ingin mengatur rentenir berbaju koperasi yang saat ini semakin banyak menjamur. Ia menyebut, koperasi simpan pinjam yang benar-benar lahir dengan prinsip koperasi seharusnya tidak ikut juga diatur dalam RUU itu.
”Kalau ada koperasi yang melayani pinjaman di luar anggota silakan menjadi lembaga keuangan lain, jangan menjadi koperasi,” kata Unggul.
Unggul mengatakan, pengawasan terhadap rentenir berkedok koperasi ini memang sulit dilakukan karena tenaga pengawas yang terbatas. Pada prinsipnya, kata Unggul, Dinas Koperasi Sumut mendukung penguatan koperasi simpan pinjam di Sumut sepanjang sesuai dengan prinsip koperasi.