Nasib Koperasi dan Pembentukan Holding Ultra Mikro
Koperasi tak boleh terus-menerus terpuruk karena koperasi merupakan soko guru perekonomian Indonesia.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·3 menit baca
Dibutuhkan sebuah kejernihan dan cara pandang baru menyelamatkan usaha mikro, kecil, dan menengah. Relasi pelaku UMKM dan koperasi, terutama di perdesaan, seakan tak terpisahkan. Di satu sisi, kehadiran koperasi adalah penyelamat bagi para anggotanya yang belum tentu bankable. Di lain sisi, anggota koperasi dapat merasakan manfaat keberadaan koperasi berupa pembagian sisa hasil usaha pada setiap rapat anggota tahunan.
Namun, bagaimana nasib koperasi ketika pemerintah membangun sebuah konstelasi baru berupa Holding Ultra Mikro? Sementara, pemerintah sendiri dinilai belum sepenuhnya bisa melindungi kebutuhan anggota koperasi.
Contohnya, dana simpanan anggota koperasi yang akrab disebut simpanan wajib. Atau program simpanan lain yang kerap diciptakan secara ”kreatif” oleh pengurus koperasi. Semua itu tak terlindungi oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Holding Ultra Mikro merupakan integrasi bisnis ultra mikro antara BRI, Pegadaian, dan PT Permodalan Madani Nasional (PMN).
Sontak, kegelisahan kalangan pemerhati koperasi pun terbaca. Persoalannya, bagaimana nasib masa depan koperasi, khususnya Koperasi Simpan Pinjam (KSP)?
Muncul anggapan, pembentukan holding berpotensi memonopoli layanan pembiayaan untuk sektor mikro dan ultramikro. Dampaknya, koperasi, Baitul Maal wat Tamwil (BMT), dan lembaga keuangan mikro lainnya akan mati.
Karena itu, muncul desakan agar pemerintah mencabut kebijakan yang diskriminatif terhadap lembaga keuangan milik masyarakat.
Holding Ultra Mikro dinilai juga akan menciptakan monokulturalisasi lembaga keuangan dalam bentuk mekanisme perbankan. Hal ini sangat berbahaya bagi fundamental ekonomi karena monokulturalisasi akan menyebabkan ketergantungan layanan keuangan hanya kepada bank.
Padahal, perbankan terikat pada aturan prudensial yang ketat sehingga pada saat krisis kerap tidak mampu membantu usaha mikro. Selama ini, pelaku usaha mikro justru terbantu dengan adanya berbagai bentuk layanan keuangan.
Holding Ultra Mikro dikhawatirkan juga hanya akan mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Lebih dari itu, tak ada lagi kepemilikan bersama seperti halnya koperasi.
Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunarto menjelaskan, Holding Ultra Mikro yang mengintegrasikan ekosistem usaha milik BRI, Pegadaian, dan PMN ditujukan untuk memberi manfaat yang lebih besar bagi masyarakat dan pelaku usaha (Kompas, 29/7/2021).
Kementerian Koperasi dan UKM sebagai ”bapak asuh” koperasi juga meyakini bahwa Holding Ultra Mikro bukanlah pesaing bagi KSP.
Kemenkop dan UKM melalui senjata andalannya, yakni Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB), merasa yakin untuk memberikan solusi atas kesulitan likuiditas koperasi. Sistem penguatan terhadap koperasi semestinya diciptakan secara ajek. Sebut saja, misalnya, koperasi perlu perlindungan LPS, ada dana penempatan, modal penyertaan, subsidi bunga, penjaminan pinjaman, dan juga dana talangan (bailout) ketika kesulitan likuiditas.
Hampir di setiap kesempatan, pemerintah membeberkan data tentang jumlah UMKM di Indonesia. Target peningkatan jumlah pun kerap disampaikan untuk menunjukkan keberhasilan dalam pengembangan UMKM.
Pertanyaannya, sudahkah pemerintah secara kontinu memperjuangkan segala upaya membangun sistem yang membuat anggota koperasi merasa terlindungi? Tak boleh lagi, ada dana simpanan para anggota koperasi yang tersandera akibat ketidakmampuan pengurus koperasi dalam mengelola simpanan anggota.
Sudahkah koperasi menjadi teman seperjalanan bagi usaha para anggotanya? Ataukah justru membiarkan anggotanya bergumul sendirian menggunakan modal dari hasil pinjaman koperasi tanpa ada pendampingan? Intinya, pemerintah perlu memperkuat kapasitas koperasi.
Dalam buku berjudul Pengusaha Koperasi-Memperkokoh Fondasi Ekonomi Rakyat (2010), penulis Bernhard Limbong dalam salah satu babnya mengangkat tantangan koperasi sebagai entitas bisnis. Tiga pilar ekonomi nasional kita–perusahaan swasta, perusahaan milik negara, dan badan usaha koperasi–dihadapkan pada situasi dan kondisi persaingan yang mengglobal. Ketiganya dituntut untuk memiliki daya saing secara internasional, regional, nasional, dan lokal.
Jadi, sekali lagi, koperasi tak boleh terus-menerus terpuruk karena koperasi merupakan soko guru perekonomian Indonesia.