Forum Rektor Indonesia: Hindari Jebakan Penyalahgunaan Identitas Politik
Kampus berperan aktif dalam melaksanakan pendidikan politik. Rakyat diajak menghindari jebakan penyalahgunaan identitas politik berupa politisasi SARA serta tidak mudah terpengaruh hasutan, hoaks, dan ujaran kebencian.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Perguruan tinggi berperan aktif dalam melaksanakan pendidikan politik bagi masyarakat. Untuk itu, kampus mengajak seluruh komponen bangsa menghindari jebakan penyalahgunaan identitas politik berupa politisasi SARA (suku, agama, ras, antargolongan).
Politik identitas berupa politisasi SARA berpotensi menimbulkan konflik, kekerasan, merusak persatuan kesatuan, dan menodai nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa bernegara. Seluruh warga negara agar bersikap merdeka, tetapi tidak mudah terpengaruh hasutan, hoaks, ujaran kebencian, dan upaya lain yang bertujuan pembelahan bahkan perpecahan sosial.
Demikian sebagian rekomendasi konferensi Forum Rektor Indonesia (FRI) yang dibacakan dalam Konvensi Kampus Ke-28 dan Temu Tahunan Ke-24 FRI di Airlangga Convention Center, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (30/10/2022). Rekomendasi dibacakan oleh Rochmat Wahab, anggota Dewan Kehormatan FRI sekaligus Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, pada hari kedua dan terakhir acara di Kampus C (Mulyorejo) Universitas Airlangga.
Selain itu, dalam bidang politik, FRI mengajak rakyat menjadikan pemilihan umum sebagai media pendidikan politik untuk pembangunan moral bangsa yang luhur. Kedepankan kejujuran, keteladanan moral, dan keadaban kontestasi dalam sistem demokrasi. Hindari persaingan politik yang menyampingkan nilai moral dan terjebak pada perebutan kekuasaan. Rakyat agar berpartisipasi aktif, kritis, dan konstruktif dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai bentuk kewarganegaraan yang luhur dan bermartabat.
FRI juga mengumumkan lima rekomendasi untuk hukum dan delapan rekomendasi untuk pendidikan. Dalam hukum, FRI berpandangan terus mendorong perwujudan negara hukum berlandaskan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang terutama, melestarikan Pancasila sebagai cita-cita hukum dan norma tertinggi dalam menentukan keabsahan dan keberlakuan tata hukum dalam sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk pendidikan, yang terutama, FRI mendorong pemerintah segera melaksanakan kajian, menghimpun masukan, dan melakukan pembahasan mendalam untuk penyempurnaan revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Revisi sudah dikembalikan kepada pemerintah oleh Badan Legislasi DPR. Pemerintah jangan mereduksi berbagai substansi dalam UU sebelumnya yang memenuhi kaidah filosofis, sosiologis, yuridis, dan menjawab kebutuhan masa depan, terutama mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam sambutan penutupan mengingatkan bahwa perguruan tinggi, termasuk rektor, merupakan penggembala generasi bangsa yang akan memimpin atau menyelenggarakan negara di masa depan. Kampus dan rektor berperan penting dalam demokrasi sesuai amanat Pembukaan UUD 1945, yakni merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. ”Merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur itulah yang menurut saya Indonesia Emas 2045,” katanya.
Pembukaan UUD 1945 juga menyebutkan, ”disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Indonesia memilih demokrasi yang berdasar Pancasila dan sudah final. ”Demokrasi jalan terbaik,” kata Mahfud.
Dalam perjalanan, cacat demokrasi yang terkadang disebut mati atau kebablasan juga terjadi dan telah disadari bukan sebagai hal baru. Indonesia terus berusaha memperbaiki jalannya demokrasi, terutama melalui sistem hukum. Cacat dalam kehidupan demokrasi, lanjut Mahfud, di era sekarang ialah demokrasi jual beli jabatan serta besarnya pengaruh hoaks dan politik pasca-kebenaran (post-truth). Kejahatan, terutama korupsi, dibangun melalui jalur hukum dengan cara suap dan atau jual beli jabatan.
Solusinya bukan dengan mengganti demokrasi, melainkan memperkuat mitigasi melalui sistem hukum. Ia menekankan, kampus harus terus menjadi bagian penting dalam pembangunan demokrasi yang sehat. Bersihkan kampus dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme secara terus-menerus. Perguruan tinggi harus menjadi lembaga yang sehat dan bersih untuk menggembalakan generasi bangsa dan negara demi mewujudkan cita-cita mulia, yakni merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.