Tersangka Korupsi Beasiswa Aceh Bertambah, Aktor Utama Belum Tersentuh
Penetapan 10 tersangka dalam kasus dugaan korupsi beasiswa aspirasi DPR Aceh diapresiasi. Polisi didorong menyentuh auktor intelektualisnya.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Penyidik Kepolisian Daerah Aceh kembali menetapkan tiga tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi beasiswa dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Namun, lembaga antikorupsi menilai, auktor intelektualis atau orang yang mendesain korupsi belum disentuh hukum.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Aceh Komisaris Besar Sony Sonjaya, Kamis (27/10/2022), mengatakan, tiga tersangka baru itu adalah SH, SL, dan MRF. Ketiga tersangka berperan sebagai koordinator lapangan dalam merekrut calon penerima beasiswa.
”Kami sudah gelar kasus korupsi beasiswa. Tiga orang sudah ditetapkan sebagai tersangka,” kata Sony.
Dengan demikian, jumlah tersangka dari kasus itu menjadi 10 orang. Penyidikan masih terus dilakukan sehingga berpotensi menambah tersangka.
Korupsi beasiswa itu bermodus memasukkan calon penerima yang tidak memenuhi kriteria. Namun, setelah beasiswa masuk ke rekening penerima, para tersangka meminta atau memaksa penerima memberikan sebagian kepada mereka.
Sejauh ini penyidik masih mendalami ke mana aliran uang hasil pungutan atau pemotongan yang dilakukan koordinator lapangan.
Tiga tersangka baru merupakan koordinator lapangan yang ditunjuk oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai pemilik dana aspirasi.
Dalam mekanisme penganggaran di Aceh, anggota DPRA diberikan kewenangan untuk mengusulkan program melalui skema dana aspirasi atau dana pokok pikiran. Namun, anggaran tersebut dititipkan kepada dinas/badan eksekutif.
Dalam kasus korupsi beasiswa, anggaran tersebut ditempatkan oleh anggota DPRA ke Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Aceh sebagai pengelola. Kegiatan tersebut masuk dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) tahun 2017.
Besaran anggaran untuk beasiswa itu mencapai Rp 22,3 miliar untuk 803 penerima. Namun, seleksi dianggap tidak sesuai aturan dan beasiswa tidak diterima utuh oleh mahasiswa.
Kasus dugaan korupsi beasiswa mulai mencuat setelah inspektorat Aceh melakukan audit dan melakukan pemeriksaan mendalam. Hasil uji petik yang dilakukan inspektorat Aceh ditemukan ada potensi korupsi.
Jika polisi tidak berani memeriksa anggota DPRA, saya berharap kasus ini disupervisi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Askalani).
Motifnya para koordinator lapangan mencari calon penerima beasiswa. Berkas diusulkan kepada BPSDM Aceh. Diduga sebagian calon penerima tidak memenuhi kriteria, tetapi tetap diloloskan. Beasiswa tersebut ditransfer ke rekening mahasiswa penerima.
Setelah beasiswa masuk ke rekening penerima, para koordinator mendatangi mahasiswa tersebut untuk meminta bagiannya. Besaran pemotongan bervariasi, mulai dari Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per orang.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh, nilai kerugian negara dari kasus itu mencapai Rp 10 miliar atau separuh dari pagu anggaran.
Adapun 10 tersangka yang sudah ditetapkan meliputi empat orang dari BPSDM Aceh, yaitu SYR, FZ, RSL, dan FY. Sementara enam tersangka lain adalah koordinator lapangan, yakni SM, RDJ, RK, SH, SL, dan MRF.
Koordinator Gerakan Antikorupsi (Gerak) Aceh Askalani menuturkan, penetapan 10 orang tersangka dalam kasus beasiswa aspirasi DPR Aceh harus diapresiasi. Meski demikian, menurut Askalani, auktor intelektualis belum tersentuh hukum.
”Tidak mungkin koordinator lapangan berani mencari calon penerima dan memotong beasiswa jika tanpa sepengetahuan pemilik dana aspirasi,” katanya.
Askalani menilai, dalam kasus itu anggota DPRA sebagai pemilik dana aspirasi harus diperiksa. Askalani juga mendorong penyidik untuk menelusuri aliran dana yang dipotong oleh para koordinator lapangan.
”Jika polisi tidak berani memeriksa anggota DPRA saya berharap kasus ini disupervisi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Askalani.