Sensasi Nasi Nyangku, Kuliner Warisan Leluhur di Lereng Gunung Slamet
Menyantap nasi nyangku di lereng Gunung Slamet, Jawa Tengah, menghadirkan sensasi unik yang sulit dilupakan. Kuliner dengan kemasan ramah lingkungan itu juga merupakan warisan masa lalu yang sarat nilai kultural.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Aroma wangi langsung tercium tatkala Siti (50) memangkas daun nyangku dari pekarangan. Setelah dicuci dan dibersihkan, daun tersebut dibentangkan menyilang di atas piring anyaman lidi, kemudian dilapisi selembar daun pisang tipis.
Di atas lapisan tersebut lalu disajikan nasi dan daging sapi dengan taburan serundeng. Ditambahkan pula tempe bacem, sayur pakis, oseng tempe hitam, dan sambal yang dimasukkan ke dalam pincuk-pincuk ukuran kecil dari daun pisang.
Sajian nasi beserta aneka lauk-pauk yang dibungkus dengan daun nyangku itu dikenal dengan nama nasi nyangku atau sega nyangku. Nasi nyangku merupakan kuliner legendaris warisan masa lalu yang dikenal di kawasan lereng Gunung Slamet, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sajian kuliner itu sangat populer pada zaman dulu ketika wadah plastik dan kardus-kardus kotak belum banyak dipakai untuk pembungkus makanan.
”Sekitar tahun 1980-an, ketika saya masih kelas IV SD, orang-orang masih pakai daun nyangku untuk membawa nasi dan lauk sepulang dari acara selamatan,” kata Siti yang merupakan pemilik rumah makan Oemah Nyangku di Desa Karangsalam, Kecamatan Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (1/10/2022).
Tanaman nyangku (Molineria capitulata) kerap disebut sebagai pandan hutan oleh masyarakat di sekitar lereng Gunung Slamet. Daun tanaman itu memiliki ukuran panjang 60-70 sentimeter dengan lebar 10-15 sentimeter.
Dengan ukuran yang cukup panjang dan lebar, daun nyangku tak hanya digunakan untuk mengemas makanan. Kedua ujung daun itu bisa dipakai pula untuk membawa nasi lengkap dengan sayur dan lauk-pauknya.
”Setelah menunya lengkap, keempat ujung daunnya diikat jadi satu memakai daun nyangku juga,” ujar Siti yang sudah memulai usaha kuliner nasi nyangku sejak tahun 2015, lalu membuka rumah makan pada 2018 bersama suaminya, Sisworo (57).
Menurut Siti, dalam sajian nasi nyangku, tidak ada menu tertentu yang dipakemkan oleh para leluhur. Namun, biasanya terdapat dua pilihan lauk utama dalam sajian itu, yakni olahan daging sapi atau ayam kampung goreng. Sayurnya pun beragam, mulai dari oseng dage, daun atau bunga pepaya, kangkung, genjer atau gendot, jantung pisang, nangka, ataupun oseng ikan asin.
Sisworo menuturkan, saat ini, penggunaan daun nyangku untuk membungkus makanan sudah semakin jarang. Kondisi itulah yang mendorong Sisworo beserta Siti merintis usaha kuliner Oemah Nyangku dengan menu utama nasi nyangku. Selain untuk melestarikan tradisi yang diwariskan leluhurnya, mereka juga ingin memopulerkan daun nyangku sebagai kemasan makanan ramah lingkungan.
Usaha kuliner tersebut ternyata mendapat sambutan baik. Dalam sebulan, Oemah Nyangku bisa mendapatkan pesanan sekitar 500 porsi nasi nyangku. Jumlah itu belum termasuk nasi nyangku yang disantap oleh para tamu yang datang langsung. Harga per porsi nasi nyangku berkisar Rp 18.000 hingga Rp 27.000, tergantung pilihan lauknya.
Sensasi
Menikmati nasi nyangku di lereng Gunung Slamet menghadirkan sensasi unik yang sulit dilupakan. Udara sejuk serta gemercik air yang terus mengalir di saluran irigasi membuat suasana hati menjadi sangat rileks. Santapan nasi nyangku juga terasa lebih nikmat jika ditemani wedang jahe susu atau sari buah kecombrang (burus) yang menyegarkan.
Salah seorang pengunjung Oemah Nyangku, Qois Hasan (27), mengatakan datang bersama teman-temannya dari Yogyakarta karena penasaran dengan kuliner tradisional itu. Sebelum datang, Hasan mencari referensi dulu di internet mengenai nasi nyangku.
”Rasanya itu tradisional banget dan secara visual bagus. Saya penasaran dan ini baru pertama kali nyoba. Kalau di Yogyakarta biasanya pakai besek (anyaman bambu) atau daun pisang,” kata Hasan.
Dengan sajian di atas daun nyangku, Hasan mengaku mendapatkan sensasi unik dan luar biasa saat menyantap nasi nyangku. ”Ini unik dan penyajiannya luar biasa. Jadi menambah kesan tersendiri. Rasanya benar-benar cita rasa tradisional dan bumbunya segala macam enak,” tuturnya.
Noviyanti (32), pengunjung lain, juga mengatakan baru pertama kali menyantap sajian nasi nyangku ini. ”Unik sekali penyajiannya, ini baru pertama kali dan baru tahu ada daun nyangku yang bisa dipakai untuk membungkus nasi,” ujarnya.
Selain untuk melestarikan tradisi yang diwariskan leluhurnya, mereka juga ingin memopulerkan daun nyangku sebagai kemasan makanan ramah lingkungan.
Pemerhati budaya Banyumas, Bambang Widodo, mengatakan, dalam masyarakat Jawa dikenal nasi berkat yang biasa diberikan kepada warga yang mengikuti acara selamatan. Di sejumlah tempat, nasi berkat biasanya dibungkus dengan daun kelapa. Namun, di wilayah lereng Gunung Slamet, daun nyangku yang dipakai sebagai pembungkus.
”Itu model nasi berkat. Dulu sebelum ada plastik dan dus, nasi berkat dibungkus pakai anyaman daun kelapa. Kelapa banyak dijumpai di pekarangan rumah penduduk agraris. Tapi, karena di lereng gunung jarang ditemui pohon kelapa, maka dipakailah daun nyangku untuk membawa nasi berkat,” papar lelaki yang akrab dipanggil Dodit itu.
Acara selamatan di Jawa berkaitan erat dengan siklus hidup manusia, mulai dari kelahiran sampai kematian. Saat seorang perempuan hamil, ada selamatan ngupati ketika usia kandungan empat bulan dan ada acara mitoni saat kandungan berusia tujuh bulan.
Setelah seorang bayi lahir, ada berbagai acara selamatan hingga dia kemudian dewasa, menikah, dan akhirnya meninggal. Acara selamatan itu merupakan bentuk syukur kepada Tuhan. Menurut Dodit, simbolisasi rasa syukur itu pula yang tampak dari bentuk bungkusan nasi nyangku yang menyerupai gunungan atau berbentuk lancip ke atas.
Dodit menambahkan, dalam konteks kekinian, pemakaian daun nyangku sebagai kemasan juga menjadi salah satu strategi pemasaran usaha kuliner. Sebab, penggunaan daun nyangku sudah jarang ditemui di masyarakat.
”Memakan nasi dengan dibungkus daun itu ada sensasi tersendiri. Ini yang jadi strategi pemasaran kuliner, tapi juga sekaligus mengingatkan generasi muda tentang tradisi masa lalu,” kata Dodit yang merupakan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, ini.
Penasaran dengan sensasi santapan kuliner nasi nyangku? Cobalah datang ke Banyumas. Di sini tidak hanya ada mendoannya yang khas, tetapi ada pula nasi nyangku yang menawarkan cita rasa tradisional nan unik.