Sebanyak 5.000 bibit mangrove ditanam di Tongkaina, satu-satunya wilayah dengan tutupan mangrove di Manado daratan. Pemerintah diharapkan memainkan andil lebih karena luas hutan mangrove di Manado tak sampai 100 hektar.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Sebanyak 5.000 bibit mangrove ditanam di Kelurahan Tongkaina, Kecamatan Bunaken, satu-satunya daerah dengan tutupan mangrove di wilayah daratan Kota Manado, Sulawesi Utara. Pemerintah pun diharapkan memainkan andil lebih dalam melestarikan hutan mangrove di Manado yang diperkirakan luasnya tak sampai 100 hektar.
Penanaman bibit mangrove tersebut dilaksanakan di Bahowo Mangrove Park, Kelurahan Tongkaina, Selasa (27/9/2022). Kegiatan tersebut diprakarsai perusahaan produsen alat berat PT United Tractors (UT) Tbk cabang Manado untuk merayakan tahun ke-50 keberadaannya di Indonesia.
Puluhan warga Kampung Bahowo serta karyawan PT UT pun turun ke pesisir untuk menanam batang-batang bibit di pasir pantai ketika laut sedang surut. Bibit-bibit itu dikembangkan sendiri oleh warga yang tergabung dalam Kelompok Mangrove Tunas Baru Bahowo.
”Setiap batang bibit kami beli seharga Rp 7.500 dari warga sehingga total dana kegiatan ini sekitar Rp 37,5 juta. Ini merupakan satu dari beberapa aktivitas CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) kami. Secara nasional, hari ini kami serentak menanam 50.000 bibit mangrove,” kata Deputy Branch Manager UT Manado M Taufik Irmansyah.
Taufik menegaskan, penanaman mangrove sangat mendesak di Manado untuk mencegah abrasi. Apalagi, wilayah Manado daratan memiliki garis pantai sepanjang 18 kilometer. Mangrove juga memiliki sistem sekresi garam sehingga air laut cenderung netral dan dapat diambil untuk dimanfaatkan masyarakat.
”Mangrove juga menjadi tempat berkembang biak ikan sebelum mereka ke laut lepas. Ketika pohon mangrove semakin sedikit, siklus itu bisa terganggu dan nelayan sulit mendapatkan ikan,” ujarnya.
Administration Department Head UT Manado Demas Andwika Yeremia menjamin program ini akan berkelanjutan. UT bekerja sama dengan Perkumpulan Manengkel Solidaritas, lembaga swadaya masyarakat pelestari pesisir, untuk memantau hasil penanaman.
”Kami akan monitor selama enam bulan. Kalau pertumbuhannya baik, kami akan lanjutkan (penanaman bibit) setelah satu tahun, karena akar baru benar-benar kuat setelah satu tahun,” katanya.
Terlepas dari garis pantai yang panjang, menurut berbagai laporan pada 2019, Manado daratan hanya memiliki tutupan mangrove seluas 84 hektar. Seluruhnya berada di Kecamatan Bunaken yang terletak di sisi utara kota, terutama Kelurahan Tongkaina. Sejak 1997, hutan mangrove di Malalayang di selatan hingga Tuminting di utara telah tergantikan oleh lahan reklamasi.
Ketua Perkumpulan Manengkel Solidaritas Erlando Tumangken mengatakan, tutupan mangrove di Tongkaina sekitar 30 hektar dengan lebih dari setengahnya berada di Bahowo. Terdapat tak kurang dari 36 spesies mangrove di Bahowo, paling banyak dari genus Sonneratia dan Avicennia.
Sejak 2015, Perkumpulan Manengkel Solidaritas membina masyarakat dalam Kelompok Mangrove Tunas Baru Bahowo. Mereka berhasil membudidayakan tujuh spesies. Masyarakat kemudian mendapat untung dari pembelian bibit, biasanya oleh pemerintah atau perusahaan untuk program CSR.
Selain untuk pembibitan, hutan mangrove di Kampung Bahowo bermanfaat untuk pariwisata.
”Dulu, banyak warga yang mengeksploitasi mangrove, mengambil kayunya untuk bahan bangunan. Tetapi, setelah kami dampingi dan kami beri tahu manfaatnya, warga bisa melestarikan dengan melakukan pembibitan,” kata Erlando.
Dia menambahkan, pada tahun 2018, ketika pihaknya mengakhiri kerja sama dengan produsen air minum Aqua dalam pembinaan masyarakat Bahowo, saldo kelompok itu terkumpul Rp 80 juta.
Kini, selain untuk pembibitan, hutan mangrove di Kampung Bahowo bermanfaat untuk pariwisata. Manengkel Solidaritas membagi wilayah tutupan mangrove menjadi beberapa zona, antara lain zona pendidikan, wisata, dan rehabilitasi.
Penanaman 5.000 bibit yang diprakarsai UT, menurut Erlando, merupakan langkah kecil membantu penyerapan karbon di atmosfer. Program UT pun ia sebut tak berhenti di penanaman. ”Mereka akan menghitung juga, berapa estimasi karbon yang diserap berkat penanaman ini,” ujarnya.
Namun, menurut dia, hutan mangrove di Bahowo seharusnya bisa lebih lebat lagi. ”Tantangannya adalah kemauan dari semua pihak untuk bekerja sama melestarikan mangrove yang sudah ada, juga menanam bibit-bibit baru,” katanya.
Sementara itu, warga Bahowo juga berharap pemerintah lebih aktif dalam pelestarian mangrove. Magda Makalanis (60), anggota Kelompok Mangrove Tunas Baru Bahowo, mengatakan, tidak ada warga Bahowo yang sehari-hari menjadi nelayan sekalipun kampung tersebut terletak di tepi laut. Ikan sudah sangat sulit didapat sehingga warga beralih menjadi pekebun.
”Saat kebun angus (tidak ada hasil), baru turun melaut. Beberapa yang lain cuma manengkel (menombak ikan pada malam hari). Itu karena ada mangrove, jadi ikan-ikan berkumpul di akar-akarnya,” ujarnya.
Di samping itu, Magda menyebut mangrove sangat penting untuk mencegah kampung terendam air. Sebab, pada sore hingga malam, pasang akan membuat air laut meninggi hingga ke batas kampung.
”Kami juga bisa ambil buah mangrove untuk pembibitan, kemudian juga ada buah pohon nipah yang tumbuh di sekitarnya. Jadi, mangrove sangat penting buat kami,” katanya.
Wali Kota Manado Andrei Angouw sempat hadir dalam acara penanaman 5.000 bibit itu sebelum jadwal yang ditentukan. Ia secara seremonial menanam satu bibit, lalu meninggalkan tempat untuk memenuhi panggilan rapat dari Gubernur Sulut Olly Dondokambey, yang juga diundang tetapi batal datang.