Petani Keluhkan Harga Kedelai Turun, Ongkos Giling Naik 30 Persen
Petani kedelai di Sidoarjo mengeluhkan harga kedelai yang cenderung turun di pasaran. Padahal, biaya produksi pertanian, terutama ongkos giling, naik sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Petani kedelai di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, saat ini memasuki masa panen. Namun, mereka mengeluh karena harga kedelai yang cenderung turun di pasaran. Padahal, biaya produksi pertanian, terutama ongkos giling dan upah buruh tani, naik sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak.
Masa panen kedelai itu setidaknya berlangsung di Desa Pagarngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Minggu (25/9/2022). Hamparan lahan pertanian sekitar 6 hektar (ha) di Dusun Bendet, yang dipenuhi tanaman kedelai, hampir separuhnya telah dipanen. Bahkan, kedelai yang dijemur di tengah sawah sudah mengering dan siap digiling untuk memisahkan biji dari kulitnya.
Ketua Kelompok Tani Dusun Bendet Suwardi mengatakan, rata-rata hasil panen kedelai pada musim kemarau tahun 2022 ini mencapai 2,1 ton per ha. Produktivitas itu termasuk tinggi mengingat pada masa panen tahun lalu hasil yang diperoleh hanya sekitar 1 ton per ha karena habis diserang tikus.
”Dengan bantuan burung hantu dan obat kimia, petani berhasil mengatasi serangan tikus sehingga hasil panennya meningkat. Namun, kini petani dihadapkan pada biaya produksi yang tinggi, sementara harga kedelai turun saat panen,” ujar Suwardi.
Petani kedelai, Tohir (60), mengatakan, harga kedelai di tingkat petani saat ini Rp 10.200 per kilogram (kg). Harga itu turun dibandingkan pada Agustus lalu yang mencapai Rp 11.600 per kg. Di sisi lain, biaya produksi pertanian naik tinggi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Bahkan, kenaikan biaya produksi itu terjadi di semua komponen. Sebagai gambaran, ongkos giling kedelai naik 30 persen karena kenaikan harga solar bersubsidi. Ongkos giling yang sebelumnya Rp 70.000 per zak kini menjadi Rp 100.000 per zak.
Selain itu, biaya upah tenaga kerja naik dari sebelumnya Rp 50.000 per buruh tani untuk pekerjaan dari pukul 06.00 hingga pukul 10.00 kini naik lebih dari 100 persen atau dua kali lipat menjadi Rp 110.000 per pekerja. Upah butuh tani pada sore hari naik dari Rp 25.000 menjadi Rp 50.000 per orang.
”Dulu, untuk pekerjaan sehari penuh upahnya hanya Rp 75.000 per pekerja per hari, sekarang menjadi Rp 160.000 per pekerja per hari. Kenaikan upah buruh dan ongkos giling ini sangat menggerus keuntungan petani di tengah harga kedelai yang turun,” ucap Tohir.
Samira (60), petani kedelai lainnya, menambahkan, petani juga harus mengeluarkan biaya untuk pembelian benih, pupuk, bahkan obat-obatan pembasmi hama, terutama tikus. Bagi yang tidak punya lahan sendiri, biaya produksinya semakin membengkak karena harus bayar sewa lahan.
Dia mengatakan, petani di Desa Wonoayu menerapkan pola tanam padi, kedelai, dan jagung atau tanaman palawija lain untuk menghemat biaya produksi dan meminimalkan potensi gagal panen. Petani tidak memaksakan diri menanam padi pada musim kemarau pertama karena khawatir gagal panen akibat kekurangan air.
Dampak kenaikan harga BBM sangat dirasakan oleh petani karena menyebabkan kenaikan biaya produksi usaha tani. Keuntungan mereka pun tergerus hampir 50 persen, yang mengakibatkan kesejahteraan keluarga petani semakin terancam. Para petani ini berharap pemerintah menjamin stabilitas harga komoditas agar sektor pertanian lebih menarik dan menguntungkan.
Sementara itu, untuk mengatasi serangan hama tikus, petani di Dusun Bendet, Desa Wonoayu, memilih memelihara burung hantu sebagai predator alami. Konsekuensinya, mereka harus menyediakan rumah burung hantu (rubuha). Saat ini terdapat empat rubuha untuk mengendalikan hama tikus pada 18 ha tanaman padi dan kedelai.
Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Sidoarjo Muhammad Rudy Al Amin mengatakan, upaya mengendalikan hama tikus melalui predator alami burung hantu sudah mulai dikembangkan banyak petani di wilayahnya. Bahkan, saat ini tercatat sudah 308 rubuha dibangun di sawah untuk mengendalikan serangan tikus.
”Cara ini cukup efektif dan juga ramah lingkungan, bahkan mampu mengembalikan keseimbangan ekosistem. Hal itu juga bisa menekan biaya produksi petani untuk pembelian obat-obatan, yakni racun tikus, yang harganya cukup mahal,” kata Rudy.
Berdasarkan informasi dari petani, harga racun tikus Rp 10.000 per bungkus. Sehari mereka bisa menghabiskan tiga bungkus racun tikus atau mengeluarkan biaya Rp 30.000 untuk ditebar pada pagi dan sore hari saat tanaman mulai berbuah. Itu pun hasilnya terkadang tidak efektif.