Angan Petani dan Perajin Pindang Majalengka kepada Puan
”Wong cilik” di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, menaruh harapan besar pada kunjungan Ketua DPR Puan Maharani. Semoga Puan mendengar keluhan mereka, bukan hanya sorakan ”Puan presiden” yang marak terdengar saat itu.
”Wong cilik” di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, menaruh harapan besar pada kunjungan Ketua DPR Puan Maharani. Mulai dari petani hingga ibu-ibu pembuat pindang. Sebagai pemilik suara, mereka berhak didengarkan dan dibantu oleh para wakilnya di Senayan.
Warga memadati gang sempit di depan Kantor Koperasi Randegan Ikan Sejahtera, Desa Randegan Kulon, Kecamatan Jatitujuh, Majalengka, Kamis (22/9/2022). Ada yang berlatih bernyanyi, ”Ibu Puan siapa yang punya? Ibu Puan siapa yang punya? Yang punya Indonesia”.
Ada juga yang sibuk menyiapkan hidangan ikan pindang. Mengenakan masker dan sarung tangan, ibu-ibu membersihkan ikan tongkol dan layang (deles), memotongnya, lalu membumbuinya dengan aneka rempah. Mulai dari bawang putih, serai, daun salam, gula, jahe, hingga garam.
Mereka lalu memasak dan mengolah pindang menjadi pepes hingga bakso. Beginilah cara warga menyambut Puan, cucu proklamator Presiden Soekarno. Sebagai kuliner khas puluhan tahun, ikan pindang jadi salah satu sajian kepada putri Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri itu.
Baca juga: Puan Minta Kader Fokus Pemilu 2024, Jangan Terganggu Isu Capres
Bagi Ratini (45), juru masak, ikan pindang adalah harta hidupnya. Sebelum menceburkan diri di usaha itu, ia dan keluarga adalah penjual kupat tahu di depan Gedung MPR di Senayan, Jakarta, sejak 1996. Namun, dua tahun kemudian, demonstrasi terus-menerus menyasar kantor wakil rakyat itu.
“Pas krisis moneter banyak yang demo. Jadi, saya pulang kampung,” ucap perempuan lulusan sekolah menengah pertama ini.
Kehilangan pekerjaan, ia lalu mengikuti usaha orangtua dan warga setempat, yakni menjual ikan pindang. Ratini mulai menjual ikan yang digarami tersebut.
Seiring berjalan waktu, upayanya berkeliling menjajakan ikan pindang membuahkan hasil. Hingga kini, ia mampu menjual 7 kuintal ikan bandeng dan deles serta 4 kuintal ikan tongkol dalam waktu tiga hari. Ada yang masih mentah sampai olahan pindang, seperti pepes dan bakso.
”Sehari, saya bisa dapat Rp 600.000. Saya juga sudah beli sepeda motor dan mobil. Kalau dulu, jual kupat tahu engggak bisa beli itu. Makanya, orang di sini pada sukses karena dagang pindang,” ujarnya. Rumah warga, misalnya, umumnya berkeramik dengan sepeda motor di parkiran.
Tidak hanya meningkatkan taraf ekonomi, ikan pindang juga membuatnya lebih dekat dengan keluarga besar. Sebelumnya, ibu dua anak dan nenek dua cucu ini terpisah lebih dari 200 kilometer dengan kerabat. Kini, bersama keluarga di rumah, ia bisa meraup untung dari pindang.
Ikan pindang turut mendukung ternak lele milik suaminya. Kepala ikan tongkol kecil yang sebelumnya hanya jadi limbah kini untuk pakan ikan lele.
”Ini bisa mengurangi biaya pakan yang harganya lebih Rp 300.000 untuk 20 kilogram. Jadi, semua bahan ikan dipakai,” ucapnya.
Baca juga: Kunjungan Puan Maharani ke Buntet Pesantren Cirebon Bukan soal Pilpres
Gudang pendingin
Ketua Koperasi Randegan Ikan Sejahtera Maryati mengatakan, usaha pengolahan ikan sudah turun-temurun sebelum 1970-an. Kala itu, bahan pindang berasal dari Sungai Cimanuk yang melintasi Jatitujuh. ”Tapi, permintaan pasar terus bertambah,” ucap Maryati.
Ikan laut pun didatangkan dari Cirebon, Indramayu, bahkan Jakarta. Tidak hanya dari nelayan, ikannya juga berasal dari perusahaan yang menjualnya dalam beku. Setiap hari, 227 anggota koperasi membutuhkan ikan 6-7 ton. Sayangnya, belum ada gudang pendingin.
”Sekarang, boks pendingin warga cuma menampung ukuran kuintal. Setiap hari, kami juga harus bolak-balik ke luar daerah ambil ikan. Apalagi, harga BBM (bahan bakar minyak) naik. Kalau ada cold storage ukuran 10-15 ton, kami tidak perlu ambil ikan setiap hari dengan biaya banyak,” ujarnya.
Itu sebabnya, Maryati berharap kedatangan Puan Maharani dapat memecahkan masalah penyimpanan ikan. Gudang pendingin juga dapat menjaga harga ikan stabil. ”Dulu, ibu-ibu hanya mengandalkan suami dari sawah. Sekarang, bisa mandiri dengan ikan pindang,” katanya.
Puan kagum dengan usaha ibu-ibu yang menambah pendapatan keluarga. ”Permodalan di sini sudah tidak terlalu masalah. Pengemasan tadi saya lihat juga bagus. Tapi, tempat penyimpanannya kurang. Ya udah, nanti saya cari solusinya,” ucapnya diiringi tepuk tangan warga.
Baca juga: Mbak Puan, ”Aja Klalen Karo Wong” Nelayan
Pupuk bersubsidi
Bertolak dari Randegan, Puan menemui petani di Kecamatan Jatiwangi dan Islamic Center Majalengka. Di kedua tempat itu, Puan yang datang bersama sejumlah anggota DPR dari Fraksi PDI-P berdialog dengan perwakilan petani. Ia meminta perempuan dan laki-laki bersuara.
Ny Oon (63), Ketua Kelompok Tani Ciwandamukti dari Lemahsugih, mengadu soal harga gabah kering panen di kampungnya sekitar Rp 5.000 per kilogram. Meskipun sudah di atas harga pembelian pemerintah, yakni Rp 4.200 per kg untuk GKP, jumlah itu belum menguntungkan.
”Bahkan, kalau musim panen, harganya hanya Rp 4.000 per kg. Padahal, biasanya harga gabah kering itu Rp 6.000 per kg,” ucap perempuan petani ini.
Apalagi, tidak sedikit petani yang terpaksa membeli pupuk nonsubsidi. Akibatnya, biaya produksi pun melonjak.
Modal tanam Oon di lahan 1.400 meter persegi, misalnya, naik dari Rp 2,6 juta menjadi Rp 3 juta karena harus membeli pupuk nonsubsidi sekitar Rp 400.000. Dengan hasil panen sekitar 6 kuintal dan harga gabah Rp 5.000 per kg, ia hanya dapat Rp 3 juta untuk tiga bulan bertani.
Atik Suhardi (51), petani asal Jatiwangi, juga mengeluhkan penyaluran pupuk bersubsidi. Ia mengaku telah mendaftarkan lahannya seluas 1 hektar kepada kelompok untuk mendapatkan pupuk subsidi. Namun, namanya tidak masuk dalam rencana definitif kebutuhan kelompok.
”Kenapa nama saya enggak masuk? Padahal, persyaratan sudah saya penuhi, KTP, KK, dan lainnya,” ujarnya.
Akibat tidak dapat pupuk bersubsidi, Atik akhirnya membeli 2 kuintal pupuk nonsubsidi jenis urea dan NPK seharga Rp 2 juta. Ia juga minta distribusi pupuk diawasi ketat.
Baca juga: Pupuk hingga Harga Gabah Masih Jadi Masalah di Jabar, Puan Janji Cari Solusi
Mahpud, Ketua Kelompok Sri Mulya Tani dari Kecamatan Panyingkiran, turut berbagi keluh kesah terkait minimnya teknologi. Menurut dia, petani membutuhkan mesin panen (combine) di tengah krisis buruh tani. Anak muda lebih memilih bekerja di pabrik yang berdiri di atas sawah.
”Pengalaman panen kemarin, saya mau pinjam combine ke kecamatan lainnya. Tapi, datangnya telat. Pas ada hujan angin, padinya rebah. Otomatis, produksi kami berkurang,” ucap Mahpud yang bersama kelompoknya mengelola 25 hektar. Ia pun berharap Puan memberikan combine.
”Insya Allah ke depan ada solusi yang bisa membantu petani Majalengka,” ucap Puan yang dalam kesempatan itu membawa sejumlah mesin pompa air hingga traktor untuk petani. Namun, ia tidak dapat memastikan kapan aneka bantuan untuk mengatasi problem petani itu datang.
”Saya memahami masalah petani, tetapi tidak mungkin semua petani mendapatkan bantuan. Pemerintah tidak hanya menanggung Majalengka, tetapi juga nasional,” ujarnya.
Menurut dia, petani menjadi pahlawan kala pandemi Covid-19. Sektor pertanian tetap bertahan di tengah krisis. Sudah sewajarnya petani mendapat perhatian pemerintah.
Berbagai komitmen menyelesaikan persoalan rakyat juga Puan sampaikan hampir dalam setiap kunjungan kerjanya. Awal September lalu, misalnya, Puan juga menyerap aspirasi petani yang krisis pupuk bersubsidi di Toba, Sumatera Utara. Ia pun berjanji membawa masalah itu ke pusat.
Awal Juli lalu, Puan juga bakal berupaya menemukan solusi atas keluhan nelayan di Cirebon terkait kesulitan solar hingga asuransi. Salah satu persoalan asuransi nelayan adalah minimnya anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan. Padahal, nelayan rentan kecelakaan saat melaut.
Petani, nelayan, hingga ibu-ibu pembuat ikan pindang menaruh harapan besar kepada Puan. Semoga Puan mendengar keluhan mereka, bukan hanya sorakan ”Puan presiden” yang marak terdengar dalam rangkaian kunjungannya itu.
Baca juga: Puan Minta Tanam Padi Dua Kali Setahun, Petani Sebut untuk Sekali Tanam Pun Pupuk Tak Cukup