Kedatangan Ketua DPR Puan Maharani di Cangkol, Kota Cirebon, Jawa Barat, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Apalagi, regulasi belum sepenuhnya berpihak kepada nelayan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Warga, yang sebagian besar nelayan, antusias menyambut kedatangan Ketua DPR Puan Maharani di Cangkol, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (4/7/2022). Mereka berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Tangan ibu-ibu menggendong anak, sekaligus mengipas diri mengusir suhu panas pantura Jabar. Mereka penuh harap, kedatangan Puan menjadi harapan untuk sejahtera.
Demi keinginan itu, terik matahari yang membuat baju basah kuyup tak jadi soal. Warga berlomba mengabadikan momen kedatangan cucu Proklamator Presiden Soekarno itu dengan gawainya. Awak media tak ketinggalan. Di antara riuh itu, terdengar celetukan, ”Kayak Ibu Megawati (Soekarnoputri).”
Kunjungan Ketua DPP PDI-P itu untuk menyerap aspirasi nelayan. Puan juga berdialog dengan warga. ”Ini yang hadir istri nelayan atau nelayannya?” tanya Puan.
Bapak-bapak nelayan yang duduk di bagian belakang sontak berteriak, ”Hadir, Bu.”
”Oh, bapaknya di belakang semua. Ya, memang. Ibu-ibu harus di depan,” kata Puan disambut tepuk tangan. Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis yang duduk di belakang Puan ikut tersenyum.
Puan lalu memanggil Darsinih, istri nelayan setempat, ke panggung. Darsini bercerita, setiap pukul 06.00, suaminya sudah melaut hingga pukul 12.00. Jika sedang masa panen, Agustus, ia bisa meraup hingga 4 kilogram udang.
”Sekarang, kadang dapat, kadang enggak,” katanya.
Darsinih tak tahu apa penyebab udang kian sulit dijaring di pantura Jabar. Padahal, Cirebon, sebagaimana lambang dan lagu yang sering diputar di stasiun atau rumah makan, disebut sebagai kota udang. Bahkan, nama Cirebon juga berasal dari ci (air) dan rebon (anak udang).
Data Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan Kota Cirebon menyebutkan, produksi udang laut pada 2021 tercatat 98 ton. Padahal, produksi udang di kota dengan garis pantai 7 kilometer itu mencapai 196 ton pada 2008. Jenis berekonomi tinggi, seperti udang windu, bahkan tak lagi ditemukan.
Nelayan Cangkol bukannya tidak berbuat apa-apa untuk tetap mengisi kantongnya. Mereka mengembangkan pemancingan berbasis rumpon. Pengunjung dapat menyewa perahu nelayan sekitar Rp 1 juta per hari.
”Itu untuk bayar solar, Rp 300.000. Sisanya, Rp 700.000 dibagi dua dengan ABK (anak buah kapal),” katanya.
Jadi, suami Darsinih bisa mengantongi sekitar Rp 350.000 dari pemancingan itu. ”Itu per hari?” tanya Puan. ”Enggak, Bu. Paling satu minggu sekali saja disewa,” jawab Darsinih. Puan menyarankan nelayan mengembangkan wisata pancing di Cangkol, lengkap dengan restoran.
Akan tetapi, bagi Mulyadi, nelayan, bukan hanya hasil tangkap yang jadi masalah di Cangkol. Ia mengeluhkan mekanisme pembelian solar subsidi yang mensyaratkan surat rekomendasi dari dinas terkait. Surat itu membatasi pembelian hanya sebulan dan harus diperpanjang.
Tapi kalau ke SPBU (stasiun pengisian bahan bakar untuk umum) jam 8 pagi, kata petugasnya, enggak ada. Disuruh jam 1 siang, eh, ternyata enggak ada juga,” tuturnya. Padahal, bahan bakar minyak menelan hingga 70 persen ongkos produksi. Tanpa solar, nelayan tidak mungkin melaut.
Mulyadi juga meminta Puan segera memperbaiki jembatan tempat bersandar perahu nelayan yang ambruk diterpa gelombang. Pihaknya sudah mengusulkan pembenahan infrastruktur itu saat Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono ke Cirebon, beberapa waktu lalu.
”Direspons (Pak Menteri), tetapi sampai sekarang belum ada wujudnya,” ujar Mulyadi yang telah 30 tahun jadi nelayan.
Ia juga menyayangkan bantuan premi asuransi nelayan (BPAN) yang dihentikan sementara oleh KKP. Padahal, asuransi salah satu upaya perlindungan bagi nelayan.
”Nelayan bayarnya susah untuk asuransi, Rp 175.000 per tahun. Tolong di-cover (ditanggung) sama pemerintah,” ucapnya. Pekan sebelumnya, perwakilan KKP datang ke Cangkol untuk menawarkan asuransi nelayan mandiri. Sejumlah perusahaan asuransi juga turut hadir.
Lobi DPR
Dalam kesempatan itu, Koordinator Kelembagaan dan Perlindungan Nelayan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (PT) KKP Lili Widodo mengatakan, BPAN tidak lagi diberikan karena anggaran di Ditjen PT sekitar Rp 6 triliun. Padahal, lanjutnya, idealnya berkisar Rp 12 triliun.
”Ini (bantuan asuransi) anggarannya sangat kecil. Kami sudah melobi teman DPR, tetapi (anggaran) belum juga (naik),” kata Lili. Sejak digulirkan tahun 2016, cakupan asuransi untuk nelayan diperkirakan baru 1,1 juta jiwa dari kurang dari setengah jumlah nelayan, 2,6 juta jiwa.
Terkait keluhan nelayan Cangkol soal solar hingga asuransi, Puan berjanji mencari solusinya. Puan juga menyalurkan 130 jaring ikan, 10 mesin perahu, hingga ratusan ribu benih udang dan ikan. ”Bagi saya, ini pertemuan pertama, tetapi bukan yang terakhir,” ucapnya.
Puan mengatakan, Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan hasil lautnya. Oleh karena itu, katanya, pemerintah perlu memperhatikan. Ia mengingatkan, nelayan adalah rakyat Indonesia yang sangat penting karena memberikan kehidupan bagi masyarakat.
Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Budi Laksana menilai, produk hukum yang dihasilkan DPR, lembaga yang dipimpin Puan, belum sepenuhnya berpihak pada nelayan. ”Undang-Undang Cipta Kerja semangatnya untuk investasi, tetapi melupakan kehadiran negara di (masyarakat) bawah,” katanya.
Menurut Budi, setelah UU Cipta Kerja disahkan 2020, nelayan terdampak. Proses perizinan, misalnya, harus disesuaikan wilayah penangkapan. ”Kalau tangkap ikannya di Lampung, nelayan di Cirebon harus urus izin di provinsi yang dilalui, DKI Jakarta dan Banten,” ucapnya.
Padahal, nelayan di Cirebon dan Indramayu mengikuti lokasi yang ikannya banyak. Kadang nelayan ke Jakarta atau Lampung. Budi juga memprotes rencana pemerintah menetapkan kuota penangkapan. Belum lagi persaingan dengan kapal asing yang armadanya jauh lebih besar.
”Semua aturan itu ada setelah UU Cipta Kerja. Mbak Puan harus memperbaiki ini,” ucapnya. Apalagi, Mahkamah Konstitusi telah meminta pemerintah merevisi UU Cipta Kerja dalam dua tahun, sejak November 2021, setelah dinyatakan inkonstitusional bersyarat karena cacat formil.
Sebagai pimpinan DPR, Puan diharapkan memastikan legislasi yang memihak nelayan. Seperti pesan Mulyadi, ”Mbak Puan, aja klalen karo wong nelayan (jangan lupa dengan nelayan).”