Mentawai Terabaikan, Pembentukan UU Sumbar Dinilai Minim Partisipasi Publik
Proses pembentukan UU Sumbar dinilai terburu-buru dan minim partisipasi publik sehingga eksistensi suku Mentawai luput dan menimbulkan kegaduhan.
PADANG, KOMPAS — Proses pembentukan Undang-Undang Nomor 17 tentang Provinsi Sumatera Barat dinilai terburu-buru dan minim partisipasi publik. Dampaknya, adat dan kebudayaan suku Mentawai luput dalam pasal yang mengatur tentang karakteristik masyarakat Sumbar sehingga memicu protes.
Hal tersebut diungkapkan sejumlah narasumber dalam diskusi publik ”Eksistensi Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam UU Nomor 17 tentang Provinsi Sumbar”, Rabu (21/9/2022). Diskusi itu digelar Forum Pembauran Kebangsaan Provinsi Sumbar di Auditorium Gubernur Sumbar, Padang.
Sebelumnya, UU Sumbar menuai polemik beberapa hari setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 25 Juli lalu. Aliansi Mentawai Bersatu, terdiri atas 11 organisasi dan lembaga kepemudaan Mentawai, berulang kali menggelar unjuk rasa dan audiensi dengan pemerintah daerah dan anggota DPRD agar UU itu direvisi.
Hal yang menjadi polemik dalam UU itu adalah Pasal 5 Huruf C. Mentawai yang juga suku asli di Sumbar tidak disebut secara eksplisit.
Baca juga: UU Sumbar Dinilai Lupakan Keberadaan Kepulauan Mentawai
Pasal itu berbunyi, ”Provinsi Sumatera Barat memiliki karakteristik yaitu adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat”.
Asisten I Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Sumbar Devi Kurnia dalam diskusi, Rabu, mengatakan, dalam proses pembentukan UU Sumbar itu, termasuk pembahasannya, pemerintah daerah tidak pernah dilibatkan.
Ketika UU masih berupa draf, menurut Devi, ada tenaga ahli anggota DPR yang datang ke Sumbar. Draf itu masih mentah, baru menampung aspirasi masyarakat Sumbar. Pemprov baru dilibatkan sepekan menjelang UU ditetapkan. Saat itu, Komisi II DPR datang ke Sumbar juga menghadirkan gubernur Riau dan Jambi untuk konsultasi akhir.
Dalam konsultasi akhir, lanjut Devi, gubernur diberi kesempatan menyampaikan masukan dan saran terhadap UU itu. Usulan tertulis itu disampaikan paling lama tiga hari. Karena melihat peluang pembentukan provinsi punya UU masing-masing, Pemprov Sumbar berupaya menyampaikan keesokan harinya.
”Kami sangat berharap tiap-tiap daerah mendapatkan ruang. Ternyata tidak ada apa-apanya dari yang kami sampaikan. Inti pembentukan UU ini sebenarnya hanya untuk menyesuaikan dasar-dasar pembentukan provinsi,” kata Devi. Sebelumnya, dasar pembentukan Sumbar, Jambi, dan Riau diatur dalam satu UU Nomor 61 Tahun 1958.
Walaupun pemprov tak dilibatkan, Devi menafsirkan tidak ada diskriminasi terhadap Mentawai di dalam UU itu. Pasal 5 Huruf C secara tersirat mengakui filosofi masyarakat Minangkabau dan hanya berlaku di selingkar nagarimasing-masing. Adapun kelompok, suku, dan etnis lain, itu tidak berlaku.
Baca juga: Merasa Diabaikan, Warga Mentawai Ajukan Uji Materi UU Sumbar ke MK
Bupati Kepulauan Mentawai periode 2011-2016 dan 2017-2022 Yudas Sabaggalet mengatakan, UU Sumbar tidak mengakomodasi adat dan kebudayaan Mentawai. Ia pun mempertanyakan apakah dalam pembentukan UU ini perwakilan masyarakat Mentawai dilibatkan.
”Persoalannya, mungkin, sosialisasi UU ini tidak memadai. Saya tidak tahu apakah orang Mentawai ada yang diundang dalam membahas itu atau tidak. Saya rasa ini persoalan kurangnya waktu sosialisasi. UU buru-buru, waktunya mepet,” kata Yudas.
Menurut Yudas, DPR mestinya belajar ke DPRD Sumbar dalam mengakomodasi suku Mentawai. Peraturan Daerah Sumbar Nomor 7 tentang Nagari betul-betul mengakomodasi Mentawai secara jelas. Pasal 23 perda itu menyebutkan, pembentukan desa adat di Mentawai diatur oleh Pemkab Mentawai.
Yudas mengusulkan agar DPR ataupun pemerintah memperbaiki UU Sumbar. Setidaknya, UU Sumbar bisa meniru UU Jambi, yang relatif baik dalam mengakomodasi suku lainnya dengan menyebutkan berbagai nama suku di bagian penjelasan.
”Tolong diakomodasi Mentawai sebagai salah satu keragaman di Sumbar. Tanpa mengurangi huruf C itu, dengan menambahkan satu poin tentang Mentawai,” ujarnya.
Baca juga: Soal UU Sumbar, Gubernur Janji Bahas Aspirasi Aliansi Mentawai Bersatu
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumbar Wendra Yunaldi mengatakan, konsep UU Sumbar itu memecah UU Nomor 61 Tahun 1958 menjadi tiga. Dengan demikian, Sumbar, Riau, dan Jambi punya UU sebagai dasar pembentukan provinsi masing-masing.
”Saya melihat UU ini semangatnya bagus. Namun, ada sensitivitas sosial di Sumbar yang menimbulkan riuh-rendah yang tidak diperhatikan. Ini akibat ketidakterbukaan dalam pembentukan formal UU,” kata Wendra.
Menurut Wendra, UU Sumbar itu tidak bermasalah diterapkan, juga tidak membuat Kepulauan Mentawai terlepas dari Sumbar. Selama ini juga tidak ada konflik antara masyarakat Minangkabau dan Mentawai. Walakin, persoalan eksistensi kultural sangat sensitif di Indonesia sehingga perlu diantisipasi. ”Solusinya bisa dengan menambah pasal khusus atau PP (peraturan pemerintah),” ujarnya.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Eka Sakti, Padang, Laurensius Arliman Simbolon, juga mempersoalkan minimnya partisipasi publik dalam pembentukan UU Sumbar. DPR cuma dua kali datang ke Sumbar, itu pun salah satunya saat membahas pandangan akhir.
”Dalam pembentukan UU seharusnya ada diskusi publik, ada FGD (focus group discussion), ada partisipasi masyarakat,” katanya.
Laurensius melanjutkan, proses yang terburu-buru membuat Mentawai terlupakan di dalam UU tersebut. Hal itu menimbulkan riak karena masyarakat Mentawai merasa kebudayaannya tidak diakui. Padahal, negara telah mengakui eksistensi masyarakat adat.
”DPR seharusnya belajar ke DPRD Sumbar yang membentuk peraturan (perda nagari) yang bisa mengakomodasi masyarakat Mentawai dan tidak menimbulkan riak-riak setelah itu,” ujarnya.
Pengamat kebijakan publik dan politik Riswanto Bakhtiar mengatakan, semestinya setiap kebijakan yang dibuat harus disosialisasikan kepada masyarakat yang berkepentingan terhadap aturan tersebut. ”Namun, kalau cuma diberi waktu tiga hari memberikan masukan, itu sangat prematur dari sisi kebijakan. Untuk membuat kebijakan, prosesnya harus menyerap semua aspirasi masyarakat,” ujarnya.
Ia menambahkan, meskipun langkah uji materi ke Mahkamah Konstitusi sudah ditempuh, UU itu mesti segera dievaluasi. Gejolak yang timbul dari suatu kebijakan tidak mesti diselesaikan dengan uji materi. Pemda bersama seluruh komponen masyarakat bisa mengevaluasi dan hasilnya disampaikan kepada pemerintah pusat.
”Nanti pemerintah pusat akan melihat. Daripada menimbulkan konflik, lebih baik dievaluasi. Bisa dengan penambahan pasal, penjelasan pasal, atau pembentukan peraturan pemerintah,” katanya.
Dosen sekaligus Ketua Bagian Hukum Tata Negara Unes, Andi Desmon, mengatakan, kegagalan pembentukan UU bisa disebabkan beberapa faktor, antara lain ketidakmampuan pembentuk UU, tidak mengetahui persoalan yang dibahas, ada kepentingan di antara pembuat UU, dan ada niat jahat pembentuk UU memperjualbelikan pasal.
”Kami berpikir positif, mungkin, (polemik UU Sumbar) akibat faktor pertama. Ketidakmampuan mereka mengekspresikan apa yang terjadi di Sumbar. Bagaimanapun fungsi hukum adalah ekspresif. Sebagai sarana mengekspresikan pandangan hidup, nilai-nilai budaya, dan keadilan,” katanya.
Andi pun menyarankan masyarakat Mentawai mendesak DPR agar merevisi UU Sumbar dengan melakukan legislative review. Upaya uji materi memang bisa ditempuh, tetapi prosesnya lama dan ada kemungkinan MK menyatakan UU itu sebagai kebijakan hukum terbuka.
”Kebijakan hukum terbuka itu memang wewenang pembentuk UU untuk memberikan sebuah norma. Biasanya MK tidak mau menilai norma tersebut. Yang lebih tepat adalah memberikan desakan ke legislatif untuk melakukan legislative review. Bagaimanapun Mentawai tetap bagian Indonesia dan Sumbar,” ujarnya.