Alih Fungsi Lahan Belum Berhasil Sepenuhnya, Gayo Lues Belum Lepas dari Ganja
Kabupaten Gayo Lues dan kabupaten tetangganya, Aceh Tenggara, sejak lama menjadi sentra produksi ganja. Pada 1990, aparat keamanan melalui Operasi Nila menemukan 262,5 ton ganja.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BLANGKEJEREN, KOMPAS — Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh, sejak puluhan lalu hingga kini masih menjadi salah satu kawasan penghasil ganja. Meski program alih fungsi lahan ganja ke tanaman produktif telah dilakukan, belum sepenuhnya melepaskan kabupaten itu dari ganja.
Kepolisian Resor Gayo Lues menyita 340 kilogram ganja dari tujuh kasus narkotika yang ditangani dalam tiga bulan terakhir. Ganja kering itu diduga hasil yang ditanam oleh warga untuk diedarkan ke daerah lain di Indonesia.
Kepala Kepolisian Resor Gayo Lues Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Afrianza, Rabu (14/9/2022), menuturkan, ganja tersebut disita dari tujuh kasus dan 11 tersangka, satu di antaranya perempuan. ”Kami bakar untuk memusnahkan,” kata Efrianza.
Efrianza mengatakan, penyalahgunaan narkotika belum berhenti. Gayo Lues termasuk daerah sentra penghasil ganja, selain Bireuen dan Aceh Besar. ”Ini persoalan serius, penyalahgunaan narkotika mengancam generasi,” ujar Efrianza.
Pada Rabu (7/9), Komando Distrik Militer 0113/Gayo Lues menemukan 3 hektar lahan ganja di Desa Kampung Pepealah, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues. Sebanyak 10.000 batang ganja dicabut dan dimusnahkan dengan cara dibakar.
Dalam catatan Kompas, Kabupaten Gayo Lues dan kabupaten tetangganya, Aceh Tenggara, sejak lama menjadi sentra produksi ganja. Misalnya, pada 1990, aparat keamanan melalui Operasi Nila menemukan 262,5 ton ganja. Ganja itu ditemukan di Aceh Timur, Aceh Besar, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara, Kompas (Sabtu, 19/5/1990).
Pelaksana Tugas Koordinator Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN Provinsi Aceh Suharmansyah menuturkan, Gayo Lues, Aceh Besar, dan Bireuen merupakan sentra produksi ganja di Aceh. Oleh sebab itu, pemerintah menerapkan program alih fungsi lahan ganja ke lahan pertanian lain di tiga daerah itu. Nama program tersebut Grand Design Alternative Development (GDAD).
Secara geografis, Gayo Lues dikelilingi hutan dan perbukitan sehingga membuat daerah ini memiliki banyak lokasi yang cocok dijadikan lahan ganja oleh oknum warga.
Suharmansyah mengatakan, program GDAD telah berjalan sejak 2016. Sekalipun belum sepenuhnya hilang, lahan produksi ganja di daerah itu berkurang. ”Namun, skalanya sudah berkurang, sekarang lahan-lahan yang ditemukan tidak seluas dulu,” kata Suharmansyah.
Suharmansyah mengatakan, ganja-ganja itu ditanam oleh warga di lokasi-lokasi yang sulit diakses oleh petugas. Biasanya di balik bukit atau di lereng-lereng yang terjal. Namun, tidak sedikit lahan ganja berhasil dideteksi oleh petugas.
Penegakan hukum dilakukan sejak dari hulu hingga hilir. Penegakan hukum di hulu, seperti membasmi lahan-lahan ganja dan menangkap pemiliknya, sementara pada bagian hilir menindak pengedarnya.
Di Gayo Lues, program GDAD dipusatkan di Kecamatan Agusen. Lahan-lahan yang pernah ditanami ganja kini ditanami kopi. ”Warga butuh penghasilan alternatif agar tidak terjerumus dalam perbuatan melanggar hukum,” kata Suharmansyah.
Sebelumnya, Ketua Inspirasi Keluarga Anti-Narkoba (IKAN) Syahrul Maulidi mengatakan, ketidakseriusan para pihak, terutama aparat penegak hukum, membuat penanaman ganja di Aceh tidak pernah berhenti. Syahrul mengatakan, dalam pemusnahan ladang ganja sangat jarang ditemukan pemiliknya.
”Seharusnya pemiliknya juga diungkap, jangan hanya tanaman yang dimusnahkan,” kata Syahrul.