Jejak ”Viktor-Jos” Selama 4 Tahun Menakhodai NTT
Empat tahun memimpin Nusa Tenggara Timur, banyak hal yang ditorehkan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur Joseph Nae Soi. Meski demikian, masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi.
Senin (5/9/2022) tepat 1.460 hari Viktor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nae Soi menakhodai provinsi termiskin ketiga nasional, Nusa Tenggara Timur. Sektor pariwisata yang digadang sebagai fokus utama penggerak pembangunan masih menyisakan sejumlah kekurangan. Selain itu, ada pula problem tanah ulayat, mutu pendidikan yang rendah, serta 435 produk hukum Pemerintah Provinsi NTT yang belum terealisasi untuk kesejahteraan rakyat.
Diskusi publik untuk melihat capaian dari empat tahun kepemimpinan Viktor Laiskodat-Joseph Nae Soi atau ”Viktor-Jos” di Nusa Tenggara Timur digelar di Aula El Tari, Kupang, Kamis (8/9/2022). Diskusi digagas insan pers dan lembaga pers lokal yang tergabung dalam organisasi Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) NTT, diketuai Beni Jahang. Sebelum diskusi digelar, Viktor meminta agar SMSI mencari orang-orang kritis dan berani mengkritik.
Baca juga: Pemprov NTT Terus Memantau Pergerakan Harga Bahan Kebutuhan Pokok
Empat pembicara dihadirkan dalam diskusi yang dimoderatori Michael Rajamuda Bataona dari Universitas Katolik. ”(Mari) Bicara kritis, bicara kaum intelektual untuk merekonstruksi sebuah gagasan dengan pikiran cerdas dan hati sejuk demi rakyat NTT,” kata Bataona membuka diskusi.
Wakil Ketua DPRD NTT Inche Sayuna menjadi pembicara pertama dalam diskusi itu. Sejak awal ia menegaskan, apa yang disampaikannya merupakan pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga DPRD.
Sektor pariwisata manjadi sorotan Inche. Menurit dia, pembangunan pariwisata NTT dengan Labuan Bajo sebagai destinasi super premium patut diapresiasi. Tetapi, sayang, sebagai penggerak utama pembangunan, pariwisata NTT belum memiliki desain besar sebagai acuan.
”Alokasi anggaran sektor pariwisata sangat rendah, hanya 0,25 persen. Ini tidak seimbang dengan bobot indikator kinerja progam yang harus dicapai perangkat daerah penyelenggara urusan pariwisata. Ekosistem pariwisata secara bertahap mulai terbentuk dan berkembang,” katanya.
Baca juga: DPRD NTT Pertanyakan Dasar Hukum Kenaikan Tiket Masuk Taman Nasional Komodo
Masyarakat sekitar kawasan destinasi, dalam pandangannya, jugatidak pernah sejahtera selama empat tahun terakhir. Pembangunan sejumlah sarana dan prasarana di sekitar kawasan pariwisata juga menyisakan masalah dari sisi hukum, terkait kepemilikan lahan.
Efek berkelanjutan dari pariwisata melalui belanja para wisatawan belum begitu dirasakan warga setempat. Pelaku usaha di setiap destinasi justru didominasi pendatang. Tak pelak, pendapatan yang diterima dari belanja pariwisata sebagian besar ditransfer keluar NTT. Sebagai penggerak utama pembangunan, sektor pariwisata masih dinikmati provinsi lain.
Pemberdayaan ekonomi
Inche berpandangan, pengembangan pariwisata dengan pola pendekatan kawasan dan berbasis masyarakat perlu segera diterapkan. Pemberdayaan pelaku ekonomi di setiap destinasi wisata hendaknya berpedoman pada penguatan usaha melalui pembentukan jaringan produksi, pemasaran, dan kemitraan antarpelaku usaha.
”Industri pariwisata adalah usaha berjejaring karena itu tidak boleh dimonopoli, apalagi oleh pemerintah. Jika hal ini sudah terjadi, segera dihentikan demi kesejahteraan masyarakat NTT ke depan,” kata Inche.
Baca juga: Bebas PMK, NTT Terus Pasok Sapi ke Daerah Lain
Sektor investasi juga menjadi sorotan Inche. Menurut dia, hambatan paling mendasar adalah ketidakmampuan Pemprov NTT dalam menertibkan tanah ulayat. Kondisi ini menimbulkan banyak kegaduhan di ruang publik hingga menjurus pada konflik horizontal. Misalnya, keributan yang terjadi antaraPemprov NTT dan pemilik tanah ulayat Umbu Maramba Hawu di Sumba Timur.
Aset tanah pemerintah juga dinilai tidak tercatat dengan baik dalam administrasi daerah. Kondisi itu menimbulkan konflik antara pemerintah dan masyarakat. Misalnya, kasus tanah Besipae di Timor Tengah Selatan, tanah di Manulai II Kota Kupang, Ki Bolok Kabupaten Kupang, dan Pantai Pede di Manggarai Barat. Sengketa tanah ini, menurut Inche, menjadi bukti pemerintah tidak mampu menjaga keamanan investasi dan ketertiban umum.
Inche juga menyoroti pinjaman daerah senilai Rp 1,4 triliun dengan bunga 6,19 persen. Pihak DPRD yang berdiskusi dengan para pakar ekonomi pada akhirnya tidak setuju dengan pinjaman itu. Sebelumnya juga ada pinjaman daerah sekitar Rp 100 miliar.
Menurut Inche, pendapatan daerah NTT selama ini bergantung pada transfer pusat. Pada saat yang sama, keberadaan pinjaman daerah dinilai sangat membebani keuangan daerah.
Baca juga: Auktor Intelektualis Korupsi Dana Bawang Merah di Malaka Perlu Diungkap
Pembicara berikutnya, Rektor Unika Kupang P Philipus Tule SVD membahas soal pendidikan. Dalam pandangannya, kualitas sumber daya manusia NTT sangat ditentukan oleh pendidikan. Oleh karena itu, pembangunan NTT yang bertumpu pada pariwisata sebagai penggerak utama tidaklah tepat. Harusnya, pendidikan sebagai penggerak utama dan pariwisata berikutnya.
Di NTT ada 48 perguruan tinggi, terdiri atas 5 perguruan tinggi negeri dan 43 perguruan tinggi swasta. Namun, menurut Tule, banyak orangtua tidak mampu membiayai anak-anaknya kuliah di perguruan tinggi.
Indeks pendidikan tingkat SD, SMP, SMA dan PT tertinggi di NTT ada di Kota Kupang. Sementara lima kabupaten lain dengan indeks pendidikan terendah, yakni Lembata, Malaka, Sumba Barat Daya, Alor, dan Sumba Barat.
Ia juga memaparkan kondisi SMA atau SMK di NTT yang pada 2022 tidak ada yang masuk dalam penilaian 1.000 sekolah terbaik nasional. Selain itu, tidak ada PTN atau PTS di NTT yang masuk dalam 100 besar perguruan tinggi bermutu di Indonesia. Peringkat tertinggi perguruan tinggi di NTT hanya Politeknik Pertanian Negeri Kupang yang ada di peringkat 108 PT bermutu tingkat nasional.
Baca juga: Badai Seroja Menurunkan Mutu Pendidikan di NTT
”Sukses pembangunan NTT ditentukan kualitas pendidikan yang ada. Kebijakan pemerintah mengalokasikan anggaran 20 persen sektor pendidikan harus direalisasikan untuk mendongkrak SDM NTT ke depan, terutama kabupaten dengan indeks pendidikan terendah. Pendidikan di NTT harus lebih adaptif, sesuai potensi daerah itu,” kata Tule.
Bertentangan
Aspek hukum menjadi sorotan John Tuba Helan dari Fakultas Hukum Undana Kupang. Menurut dia, sejak September 2018 sampai dengan Agustus 2022, kepemimpinan Viktor-Jos menghasilkan 37 peraturan daerah dan 398 peraturan gubernur. Jumlah itu terbanyak selama periode jabatan gubernur di NTT.
Produk hukum untuk pembangunan di NTT, dinilai Tuba, secara kualitatif sudah cukup. Namun, secara kualitatif masih diragukan. Aplikasi lapangan terhadap 415 produk hukum pemprov tersebut dinilai berjalan dan menyejahterakan masyarakat.
”Produk hukum ini hanya disusun dalam kalimat, pasal, dan ayat, kemudian disimpan di rak meja. Padahal, menyusun produk-produk hukum ini menelan anggaran dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit,” kata Tuba Helan.
Baca juga: Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Memperparah Kemiskinan di NTT
Dari 415 produk hukum daerah itu, menurut dia, sebanyak 80 di antaranya justru bertentangan dengan kebijakan pusat sehingga tidak bisa dilaksanakan. Asas hukum menyebutkan, hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
Secara hierarki, perda provinsi berada pada urutan keenam dan perda kabupaten/kota berada pada urutan ketujuh dari seluruh produk hukum negara. Ketika terjadi perubahan hukum di tingkat nasional, seperti peraturan menteri atau instruksi menteri, semua perda dan pergub yang ada harus disesuaikan dengan produk hukum yang lebih tinggi.
Kritik tajam juga disampaikan Zeth Malelak, dosen pertanian lahan kering Universitas Cendana Kupang. Menurut dia, pembangunan di NTT masih ada pada tataran ilusi-ilusi, belum masuk pada fakta. Ilusi ini menjadi bermanfaat bagi masyarakat kalau diterjemahkan secara nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, peran para kepala organisasi pemerintah daerah menjadi penting.
”Masyarakat butuh lowongan kerja, butuh makan, minum, kelayakan rumah tinggal, infrastruktur jalan yang baik, air bersih, kesehatan memadai, dan pelayanan publik yang cepat tepat dan transparan. Apakah semua itu sudah terealisasi. Saya kira belum,” kata Malelak.
Baca juga: Sampai Desember 2022, NTT Kembangkan 142. 833 Hektar Jagung
Gubernur Laiskodat yang hadir dalam diskusi itu mengapresiasi pandangan yang disampaikan pembicara ataupun peserta diskusi. Ia mengakui, Pemprov NTT masih punya kekurangan dan kekurangan itu tidak pernah akan selesai karena kebutuhan orang selalu tidak terbatas. Namun, Pemprov NTT terus berupaya memenuhi sejumlah kekurangan itu.
”Dinamika pembangunan di NTT menghadapi berbagai masalah. Covid-19, badai Seroja, masalah cuaca dan iklim yang kurang bersahabat, fiskal yang terbatas, rendahnya sumber daya manusia, dan masalah lain. Ini perlu kita diskusikan juga,” kata Laiskodat.
Ia mencontohkan masalah air bersih di NTT yang tidak mudah penanganannya. Hampir sebagian besar pulau di NTT menghasilkan sumber air dengan kadar kapur yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Mendatangkan air sehat di NTT butuh teknologi khusus dengan biaya yang tidak sedikit.
Ia mengakui, apa yang ditorehkan selama empat tahun masih jauh dari harapan, tetapi juga harus diakui ada capaian-capaian.
”Bicara soal kesempurnaan hidup itu tentu ada ukuran-ukuran. Mari sama sama membangun daerah ini, memberi masukan–masukan konstruktif dan bekerja sinergis demi NTT yang lebih baik,” kata Laiskodat.
Baca juga: Tak Ada Rumput Laut di Kupang Tahun 2021 Ini