Menyambut Payung Hukum untuk Produk Lokal
Kehadiran Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022 menjadi payung hukum bagi kebijakan optimalisasi produk lokal. Kini, pemerintah daerah tidak perlu ragu lagi menyerap produk lokal dengan anggaran daerah.
”Cintailah produk-produk Indonesia”. Penggalan kalimat penutup iklan barang-barang rumah tangga yang dipopulerkan Maspion sejak era 1990-an itu serasa tak asing di telinga. Iklan yang dibintangi aktris senior Titiek Puspa dan Presiden Direktur Maspion Group Alim Markus itu mengajak konsumen membeli produk-produk dari perusahaan yang berpusat di Surabaya, Jawa Timur.
Lebih dari dua dekade berselang, kampanye untuk menggunakan produk-produk lokal terus digaungkan oleh berbagai pihak. Terlebih, persaingan semakin keras karena globalisasi yang mengakibatkan pasar bebas. Alhasil, produk-produk dalam negeri mesti bersaing secara bebas dengan produk impor yang terkadang harganya lebih murah dibandingkan produk lokal.
Presiden Joko Widodo pun berkali-kali mengungkapkan kemarahannya soal penggunaan uang negara untuk belanja barang dan jasa produk-produk impor. Ia tidak ingin Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dihamburkan untuk pembelian produk impor.
Baca juga: Apeksi Dorong Ada Peta Jalan Tingkat Komponen Dalam Negeri
Pada 25 Maret 2022, Presiden telah menyindir soal pembelian produk impor. Saat pengarahan kepada para menteri, kepala lembaga, kepala daerah, dan badan usaha milik negara tentang aksi afirmasi Bangga Buatan Indonesia yang digelar di Bali, Presiden meminta anggaran pengadaan barang dan jasa diarahkan untuk produk lokal. ”Kok enggak kita lakukan? Bodoh sekali kita, kalau enggak lakukan ini. Malah beli barang impor. Mau diteruskan? Ndak! Ndak bisa,” tutur Presiden kala itu.
Lima hari berselang, Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Inpres yang diterbitkan pada 30 Maret 2022 itu salah satunya merencanakan, mengalokasikan, dan merealisasikan paling sedikit 40 persen nilai anggaran belanja barang/jasa untuk menggunakan produk usaha mikro, usaha kecil, dan koperasi dari hasil produksi dalam negeri. Kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah diminta mendukung pencapaian target belanja APBN dan APBD Tahun Anggaran 2022 paling sedikit Rp 400 miliar untuk produk dalam negeri dengan prioritas produk usaha mikro, usaha kecil, dan koperasi. Akan ada insentif bagi pemda yang telah memenuhi ketentuan kewajiban tersebut.
Namun lima bulan setelah inpres diterbitkan, Presiden kembali menyindir belanja impor dari APBN. ”Sangat lucu sekali APBN yang kita collect dari pajak PNBP royalti masuk ke APBN kemudian keluar sebagai belanja pemerintah yang dibeli barang impor. Waduh bodoh banget kita kalau terus-terusan impor,” ujar Presiden dalam acara Kamar Dagang dan Industri (KADIN) di TMII, Jakarta, Selasa (23/8/2022) yang lalu.
Tak hanya sekali, Presiden Joko Widodo saat Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2022, 14 Juni 2022, pun juga mengungkapkan kekesalannya. ”Maaf kita ini pintar-pintar, tapi kalau caranya seperti itu (beli produk impor) bodoh sekali kita. Saya harus ngomong apa adanya, ini APBN loh, ini uang APBD loh, belinya produk impor. Nilai tambahnya yang dapat negara lain, lapangan kerja yang dapat orang lain, apa enggak bodoh kita ini,” kata Presiden.
”Kewajiban untuk belanja produk dalam negeri juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sesuai dengan aturan itu, pemerintah wajib membelanjakan minimal 40 persen Anggaran Pendapatan Belanja Nasional dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah untuk membeli produk lokal,” kata Ketua LKPP Abdullah Azwar Anas.
Menurut Anas, proses pengadaan barang dan jasa pemerintah akan diawasi melaui Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP). Melalui SIRUP, proses pengadaan barang, mulai dari perencanaan hingga realisasi, akan terpantau. Pemerintah pusat dan daerah yang tidak menjalankan kewajiban membeli minimal 40 persen produk lokal akan mendapatkan sanksi.
Baca juga: Wajah Produk Lokal dalam Segelas Jamu
Para pemimpin daerah bersyukur dengan adanya kebijakan tersebut. Hal itu dinilai akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap produk impor dan meningkatkan penggunaan produk lokal. Dengan begitu, perekonomian masyarakat bisa semakin terangkat.
”Penggunaan produk lokal adalah salah satu kunci untuk bertahan di tengah kondisi ketidakpastian global seperti sekarang ini. Ini merupakan kebijakan yang bagus agar kita tidak lagi bergantung pada produk-produk dalam negeri,” ucap Wali Kota Pangkal Pinang, Maulan Aklil.
Sementara itu, Wali Kota Cilegon Helldy Agustian juga setuju dengan pengoptimalan penggunaan produk dalam negeri. Selain menyiapkan produk dalam negeri, upaya menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap produk dalam negeri juga perlu didorong.
Baca juga: KCF-Apeksi Bawa Sejumlah Isu Daerah
”Orang-orang luar negeri, seperti di Jepang, China, Korea Utara, dan Korea Selatan, itu memiliki kecintaan terhadap produk dari negara mereka. Di mana pun mereka berada, mereka maunya membeli produk dari negara mereka, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Orang-orang Indonesia harusnya juga bisa seperti itu,” ujarnya.
Hal yang tak kalah penting, menurut Helldy, adalah memberikan dukungan bagi pelaku usaha produk lokal. Di Kota Cilegon, misalnya, para pelaku usaha diberi kemudahan dalam mengakes permodalan dengan bunga rendah, dicarikan akses pasar dengan cara dikerjasamakan dengan lokapasar, dan dibuatkan gedung UMKM untuk memudahkan pembeli mengakses produk mereka.
Menurut Wali Kota Bogor Bima Arya, tanpa political will, produk lokal tidak akan naik kelas sehingga berdampak pada pola konsumtif warga yang lebih memilih dan membeli produk luar. ”Produk lokal harus ada pemetaan persoalan dari hulu ke hilir. Pertama political will untuk demand. Kami di Kota Bogor mewajibkan ASN menggunakan pakaian pangsi hari kamis, selasa produk kasual dari pakaian hingga sepatu. Itu demand-nya, political will,” katanya.
Meski begitu, perlu pula dilihat ketersediaan dan kualitas SDM dalam memenuhi demand tersebut. Jangan sampai ketika demand tinggi, SDM tidak mampu memenuhinya sehingga produk lokal atau pelaku UMKM sulit bertahan atau kualitas produk rendah. Oleh karena itu, untuk mendorong pelaku usaha ini bisa naik kelas, Pemkot Kota Bogor memberikan pelatihan.
Dari demand yang tinggi dan diiringi keterampilan memadai, kata Bima, pemda harus dorong masuk ke e catalog. Pemda memiliki tugas untuk sosialisasi hingga pendampingan keuangan. ”Ini yang dari hulu ke hilir. Lalu suplainya perlu pemetaan persoalan di mana, seperti masalah bahan baku contohnya. Untuk memproduksi itu (produk fashion dan kerajinan) bahan dari Bogor masih mahal, perlu ambil dari luar seperti Tangerang. Inilah yang menjadi kolaborasi antardaerah. Ini juga menjadi fokus Pak Menteri dan Pak Anas agar kita kepala daerah juga dan jajaran hingga ke bawah totalitas mendampingi,” ujar Bima.
Salah satu produk lokal di Bogor, yaitu Kampung Perca, yang sudah bisa mandiri memasarkan produknya. Hanya saja belum bisa masuk ke e-catalog karena masih terkendala jumlah SDM dan sumber bahan baku kain bekas. ”Permintaan banyak hanya itu belum semua terpenuhi karena itu tadi ketersediaan SDM terbatas. Ini yang juga fokus pemerintah karena potensi kampung perca luar biasa,” lanjutnya.
Berdasarkan data, kata Bima, jumlah UMKM pada masa pandemi berkembang pesat. Pada 2020 ada sekitar hampir 26.000 UMKM. Adapun pada 2022 ada sekitar 77.000 UMKM. Pelaku usaha ini terus tumbuh dan menjadi peluang kebangkitan ekonomi rakyat dengan memasarkan produk lokal secara luas hingga masuk e-catalog.
Baca juga: Meja Bundar, Produk Lokal, dan Sindiran Menuju 2024
Melalui Inpres Nomor 22 Tahun 2022 diharapkan semakin banyak produk lokal terwadahi untuk masuk e-catalog karena proses dan syarat yang lebih ringan. Sebagai gambaran, dari data 2021, penjualan produk UMKM di Kota Bogor dalam pemanfaatan atau menggunakan teknologi sebagai pasar masih cukup rendah. Tercatat ada 18,6 persen menggunakan teknologi digital dan 9,9 persen menggunakan teknologi manual dan digital. Sisanya 43,8 persen menggunakan teknologi manual dan 27,6 persen tidak menggunakan teknologi.
Selain itu, Kota Bogor sebagai tempat tujuan wisata juga memiliki potensi besar dalam hal kuliner. Namun, pelaku usaha belum memikirkan kemasan yang menarik sehingga memikat pembeli. Tercatat baru ada 49 persen yang sudah mengemas produknya. Dari sisi kemasan itu masih perlu dilihat lagi izin dan informasi produk seperti label halal, merek, dan lainnya.
Selain kuliner, produk lokal, seperti fashion dan kerajinan, juga memiliki potensi besar. Sekali lagi, ada tantangan dalam hal merek dagang. Tercatat 75,5 persen tidak memiliki merek. Sisanya 12,4 persen terdaftar dan 7,3 persen sudah ada HKI dan SNI.
Keberadaan Inpres No 2/2022, seharusnya lebih memudahkan pelaku usaha karena selama ini pelaku usaha terkendala dalam hal perizinan atau mendaftarkan merek hingga SNI. Jika implementasi inpres bisa dijalankan, pelaku usaha tak perlu lagi memikirkan masalah SNI dan mereka bisa mendaftarkan merek mereka langsung ke e-catalog.
Menurut Bima, inpres ini menjadi ruang untuk menaikkan produk lokal tidak hanya di Kota Bogor, tetapi daerah lainnya. Persyaratan inpres lebih mudah dan singkat untuk pemerintah daerah dan pelaku usaha.
”PR Kota Bogor masih banyak untuk mengejar, mengembangkan, dan meningkatkan produk lokal untuk masuk ke e-catalog. Inpres inilah yang kita (Bogor dan Apeksi) dorong terus dan update akses ke LKPP. Ada bimtek pelatihan pula. Seperti di Medan berhasil transaksi tinggi. Target Apeksi ini ke situ. Kota-kota di Indonesia bisa berkolaborasi secara ide bahkan saling mengisi kebutuhan untuk produk lokal,” ujar Bima.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Gabriel Lele, mengatakan, setidaknya ada dua tantangan untuk mengimplementasikan Inpres No 2/2022, yakni dari sisi ketersediaan dan kualitas produk. Sebab produk dalam negeri harus tersedia dengan kualitas yang sesuai kebutuhan.
Selain Inpres, lanjutnya, dibutuhkan regulasi lain yang bisa memastikan aparatur pemda tidak terjerat kasus dalam pengadaan barang dan jasa dari dalam negeri. Sebab dalam tender pengadaan barang dan jasa biasanya dicari harga termurah. Sementara tidak semua produk lokal memiliki harga lebih rendah dibanding produk-produk impor.
Oleh sebab itu, menurut Gabriel, Presiden juga perlu menerbitkan Inpres tentang pengadaan barang dan jasa yang bisa melindungi produk lokal sekaligus aparatur pemda yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa. Regulasi pun mesti diturunkan lagi dengan penerbitan peraturan kepala daerah sebagai bentuk diskresi untuk memprioritaskan pembelian produk-produk lokal. Namun aturan tetap harus memuat spesifikasi dan rentang harga yang wajar.
Baca juga: Jaga Momentum dengan Optimalisasi Produk Lokal
Sebab interpretasi birokrat di lapangan akan ketakutan dengan aturan tersebut jika tidak ada jaminan mereka tidak disalahkan membeli produk lokal dengan harga lebih tinggi dibandingkan produk impor saat tender. ”Pak Jokowi bicara soal inovasi, tetapi yang lain bicara soal kepatuhan pada hukum. Dua hal ini selalu bertabrakan sehingga perlu diskresi melalui peraturan kepala daerah,” kata Gabriel.