Jamu merupakan salah satu produk lokal yang bernilai kultural. Pengembangan jamu pun harus mengikuti perkembangan zaman agar tetap dapat diterima pasar dan bertahan.
Jamu kunir asem buatan Tuminah (77), Sabtu (3/9/2022) pagi itu, menjadi primadona bagi sejumlah petinggi daerah yang sedang berjalan kaki di Kebun Raya Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat. Pedagang jamu gendong asli Sukoharjo, Jawa Tengah, itu ketiban rezeki nomplok.
”Siap-siap tekuk kanan!” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno setengah memberi aba-aba. Namun, puluhan fotografer dan tim humas kementerian dan pemerintah kota yang mengabadikan kegiatannya seperti tidak memahami maksud Sandi. Setelah tanjakan di salah satu segmen Kebun Raya Bogor, Sandi yang pagi itu menikmati kegiatan jalan kaki santai dalam acara City Leaders community Kompas Collaboration Forum (KCF) yang bekerja sama dengan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) langsung menikung tajam menuju sudut kebun. Di sana seorang perempuan mengenakan kebaya dan jarit batik sedang duduk menghadap botol-botol berisi jamu.
”Wah telat kalian,” ujar Sandi berseloroh kepada puluhan fotografer dan tim humas yang terkecoh dengan gerakan Sandi itu. Buru-buru mereka mengerubuti Sandi dan 11 wali kota anggota KCF-Apeksi yang mendatangi ibu-ibu pedagang jamu gendong itu. Sang ibu yang bernama Tuminah itu semringah kedatangan tamu-tamu yang tak biasa itu.
”Mau minum jamu apa, Pak,” kata Tuminah. Sandi menjawab, ”Kunir asem.” Segera Tuminah meladeni para pembelinya.
Sandi duduk di bangku taman dari beton, disusul Ketua Apeksi yang juga Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto dan Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie. Ketiganya duduk disodori jamu dalam gelas plastik seukuran air mineral dalam kemasan. Sembari mengobrol, Tuminah meladeni wali kota lainnya yang terlihat kepayahan karena jalan kaki. Tidak ketinggalan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Abdullah Azwar Anas dalam rombongan itu.
Tuminah yang merupakan perantau asal Kecamatan Tawangsari, Sukoharjo, Jateng, itu sudah berjualan di kompleks Kebun Raya Bogor sejak 45 tahun silam. Setiap harinya, Tuminah datang ke Kebun Raya Bogor pada pukul 06.00 WIB. Pada pukul 11.00, jamu yang ia jajakan biasanya sudah habis.
Namun, Sabtu pagi itu, Tuminah ketiban rezeki nomplok. Waktu baru menunjukkan pukul 07.50, tetapi dagangannya sudah hampir habis diborong oleh rombongan wali kota, Sandiaga, dan Anas. Hari tidak begitu panas dan Kebun Raya Bogor pagi itu sangat segar. Namun, jamu Tuminah membikin lebih segar lagi.
Hati Tuminah mekar. ”Senang sekali dagangan saya dibeli para pejabat, nanti bisa pulang lebih cepat,” ujarnya semringah.
Jamu Tuminah yang paling laris hari itu adalah beras kencur dan kunir asem. Tangan Tuminah pun sibuk melayani pembeli yang bahkan beberapa kali minta tambah.
Menyeruput jamu di bawah pepohonan hijau memang berada di luar agenda kegiatan KCF-Apeksi. Jamu Tuminah itu seolah mewakili nuansa batin peserta jalan kaki yang merindu minuman usai jalan kaki sekitar 2 kilometer. Masih ada rute sejauh 1,6 km di depan yang harus dituntaskan.
Langganan presiden
Selama berjualan di tempat tersebut, Tuminah sering berjumpa dengan para pejabat, termasuk Presiden Joko Widodo. Tuminah mengaku pernah menawarkan dagangannya kepada Presiden Joko Widodo. ”Pak Jokowi itu senangnya jamu pahitan, temulawak, tetapi yang masih murni. Itu bagus buat lambung,” tuturnya.
”Kalau Pak Wali (Bima Arya) sering mampir kalau olahraga ke sini. Kalau pak menteri baru pertama kali sepertinya. Semoga bapak dan ibu tadi sehat-sehat setelah minum jamu saya. Ini yang paling laku beras kencur dan kunir asem,” ujarnya.
Kedatangan para pejabat itu disertai harapan oleh Tuminah agar minuman lokal dan pelaku jamu gendong bisa terus bertahan. Ia khawatir, keberadaan tukang jamu gendong hilang dari peredaraan karena saat ini banyak yang sudah tua.
Jamu merupakan salah satu produk lokal yang banyak dijajakan, kebanyakan oleh orang-orang dari Sukoharjo. Di kabupaten tersebut, sentra jamu berada di Kecamatan Nguter. Namun, masyarakat di sekitar Nguter juga menekuni usaha produksi dan jual-beli jamu. Terbuat dari rempah-rempah asli Indonesia, jamu memiliki banyak khasiat untuk kesehatan.
Persis seperti tema diskusi KCF-Apeksi, Sabtu, ”Mengoptimalkan Pemanfaatan Produk Lokal demi Pemulihan Ekonomi dan Antisipasi Resesi”, Tuminah berharap pelaku usaha kecil seperti dirinya dan pelaku usaha lainnya diperhatikan terutama dari kondisi ekonomi.
”Kayak telur itu mahal. Dan kebutuhan pokok jangan mahal, jangan naik-naik. Terus semoga minum tradisional kayak ini bisa terus ada. Kan, ini sehat ya, bagus untuk tubuh dan murah berkhasiat,” lanjutnya.
Jamu hanya satu dari ribuan jenis produk lokal buatan anak negeri. Di tangan pedagang jamu gendong seperti Tuminah, jamu dihadirkan dalam bentuknya yang paling sederhana, yakni dijajakan dengan berjalan kaki atau mangkal di satu tempat keramaian. Tuminah setia melakoninya selama puluhan tahun.
Di era digital, cara berjualan jamu boleh jadi sudah berbeda. Jamu sudah dikemas dalam berbagai bentuk minuman, yang ditawarkan tidak hanya di jalanan, tempat keramaian, dan permukiman penduduk, tetapi juga di kafe-kafe, restoran, dan toko daring. Beberapa industri jamu Indonesia juga berhasil menembus pasar ekspor di Eropa, Amerika Serikat, dan Afrika.
Produk lokal
Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia Bernard T Wijaya mengatakan, sama seperti produk lokal lainnya, jamu memerlukan pengembangan. Tidak cukup diakui sebagai warisan budaya, jamu juga harus dikemas dengan cara kekinian, dan dipasarkan dengan mengikuti perkembangan teknologi.
Bahkan, kebijakan afirmasi pada jamu juga perlu dilakukan. Indonesia telah berpengalaman soal ini. Batik yang juga merupakan produl lokal bernilai kultural berhasil didorong menjadi kebanggaan nasional. Hasilnya, hampir di semua daerah, termasuk di kota-kota besar, ada kewajiban mengenakan batik pada saat-saat tertentu. Batik diafirmasi dan didukung sedemikian rupa sehingga menjadi kesadaran bersama agar produk itu tetap bertahan dan terus dikenal dari generasi ke generasi.
”Jamu juga bisa menjadi seperti itu. Setiap hari sebenarnya kita mengonsumsi bahan-bahan jamu dari berbagai rempah-rempah yang ada di dalam masakan kita. Di sana ada kunir, jahe, asam, lengkuas, dan sebagainya. Sebenarnya bahan-bahan itu tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat kita,” ujar Bernard.
Sebagai sebuah produk, jamu adalah juga hasil dari rantai panjang produksi dan distribusi, serta konsumsi. Di hulu, jamu lahir dari ketekunan tangan petani jahe, kunir, temulawak, lengkuas, dan aneka rempah-rempah lainnya. Selanjutnya bahan-bahan itu diramu oleh pembuat jamu skala rumahan, individu, koperasi, ataupun korporasi besar. Tidak tanggung-tanggung, omzet perputaran industri jamu, menurut Bernard, mencapai Rp 16 triliun per tahun. ”Itu belum yang kecil-kecil yang tidak tercatat,” katanya.
Rantai panjang dari hulu ke hilir jamu itu menghidupi banyak orang dan menjadi tumpuan ekonomi berbagai pihak. Supaya dapat lebih maju, pelaku usaha jamu memang diharapkan inovatif dan kreatif. Jamu dapat dikemas dalam bentuk ekstrak dengan rasa dan aroma yang lebih dapat diterima banyak orang. Selain itu, pengembangan jamu juga dapat dikerjasamakan dengan kalangan akademisi untuk meneliti manfaatnya secara keilmuan (scientific).
”Kalau secara saintifik pasar dapat diyakinkan bahwa jamu itu menyehatkan, tidak beracun, dan dibuat dari bahan-bahan yang aman, bukan dari kimia, serta disajikan dengan kemasan menarik, dan dipasarkan dengan memanfaatkan outlet-outlet modern, selain daring, jamu juga dapat berkembang,” katanya.
Sebagai produk lokal, jamu berpotensi menggerakkan ekonomi rakyat jika dikelola dengan baik. Adanya kebijakan pemerintah mendorong pemerintahan dan lembaga untuk menyerap produk lokal disambut baik. Sebab, bukan tidak munkgin produk jamu bisa dimasukkan ke dalam e-katalog lokal di kota dan kabupaten, provinsi, dan pusat.
”Jangankan masuk ke e-katalog, kami juga berharap jamu ini bisa masuk ke dalam skema yang bisa ditanggung BPJS, tidak hanya obat-obatan,” ungkap Bernard.
Kepala LKPP Abdullah Azwar Anas mengatakan, produk lokal tidak terbatas pada satu jenis kategori saja. Makanan lokal dan khas daerah dapat dimasukkan ke dalam e-katalog. Bahkan, pasir, batu bata, paving, dan semua bahan konstruksi pun dapat ditayangkan di e-katalog. Selama ini, transaksi e-katalog lokal melalui bahan-bahan konstruksi jauh lebih besar di sejumlah daerah karena penyerapan APBD kerap kali untuk bidang infrastruktur.
”Dengan adanya e-katalog ini, semua produk memiliki kesempatan yang sama. Misalnya, kalau daerah mau pesan katering, tidak hanya melulu katering itu-itu saja yang dapat orderan. Pemkot bisa melihat-lihat pilihan katering atau jenis makanan lainnya dan soal harga itu terbuka, tidak ada yang lebih tinggi dari harga pasaran,” kata Anas.
Dengan adanya kebijakan pemerintah yang mendorong produk lokal, pelaku usaha kecil seperti Tuminah boleh berharap produknya melanglang buana menembus berbagai sekat pasar. Jamu segarnya dengan demikian bisa dinikmati lebih banyak orang dan kesejahteraannya meningkat.