Bukan Sekadar Mendulang Ekonomi, Wisata Halal Ikut Sebarkan Kebaikan
Wisata halal bukan hanya bicara infrastruktur semata. Ada beragam nilai baik yang harus dipenuhi pelaku usaha untuk mewujudkan halal dan ”toyib” yang bermakna untuk semua makhluk Tuhan.
Wisata halal bukan hanya untuk Muslim, melainkan milik siapa saja dengan latar belakang apa pun. Sebab, wisata halal mengandung kebaikan bagi manusia dan alam sekitarnya sesuai prinsip rahmatan lil alamin.
Asep Hidayat Mustopa (34) tersenyum bangga saat menunjukkan gambar Rumah Baca Sauyunan ketika berbicara dalam rangkaian acara Digital and Sharia Economic Festival (Digisef) di Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (4/9/2022). Kegiatan itu digelar Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jabar.
Sepintas, rumah baca di Desa Waluran Mandiri, Waluran, Kabupaten Sukabumi, yang berjarak sekitar 200 kilometer dari Bandung itu tidak istimewa. Dinding dan lantainya berbahan kayu. Terpasang beberapa lemari dengan aneka buku di terasnya.
Namun, saat dibedah lebih jauh, keberadaan rumah baca itu lebih dari sekadar bangunan. Dibuat tahun 2017, tempat itu adalah buah dari kerja bersama warga lewat Desa Wisata Hanjeli yang digarap Asep sejak tahun 2015. Kini, tempat itu menjadi ruang bagi anak-anak belajar pendidikan formal hingga agama.
”Rumah baca dibangun dari wakaf berbagai pihak. Ada yang nyumbang buku, cat, kayu, sampai komputer. Itu kami bangun karena dulu banyak ibu-ibu yang menjadi pekerja migran dan anaknya ditinggal. Harapannya, masa depan anak-anak ini lebih cerah ketimbang orangtuanya. Jembatannya adalah pendidikan,” ungkap Asep yang beberapa tahun lalu pernah menjadi buruh migran di Arab Saudi.
Seperti Asep, satu dekade lalu, banyak warga merantau ke luar negeri karena impitan ekonomi. Kalau pun memilih di desa, sejumlah lelaki menambang emas secara ilegal. Sementara perempuan menghancurkan batu tambang. Satu karung batu dikerjakan dua jam dengan bayaran Rp 10.000.
Baca juga: Cum Ahmawati, Terang bagi yang Berjuang
Harapan baru
Cerita kelam itu mulai berganti sejak Asep mengembangkan desa wisata berbasis hanjeli (Coix lacryma-jobi), tumbuhan biji-bijian bergizi tinggi, tahun 2015.
Sebelumnya, hanjeli yang ditanam di pekarangan dan kebun hanya dijadikan makanan selingan, seperti bubur. Bahkan, sebagian dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa dimanfaatkan.
Di tangan Asep dan warga, hanjeli menjelma makanan pokok, rengginang, gelang, kalung, hingga tasbih. Soal nutrisi, tanaman ini unggul ketimbang beras.
Indeks glikemik hanjeli tergolong rendah. Hal itu membuat hanjeli cocok bagi penderita diabetes atau seseorang yang dalam program diet dan menghindari beras.
Seiring waktu, wisatawan, terutama mahasiswa dari dalam dan luar negeri mulai berdatangan. Kunjungan wisatawan terus bertambah dari 140 orang pada 2015 menjadi 640 orang tahun 2019.
Ibu-ibu purna migran pun mendapatkan asa. Dari bertaruh nyawa di negeri orang, mereka kini jadi juru masak bahan hanjeli, perajin kalung, hingga pemandu wisata di tanah sendiri.
(Ekonomi syariah) Juga ada fungsi sustainability atau menjamin keberlangsungan dari kehidupan.
Selain memberdayakan warga, Asep dan kawan-kawan juga berupaya meningkatkan pendidikan anak-anak. Salah satunya membangun rumah baca. Selepas magrib, anak kecil berkumpul di beranda berukuran 2 meter x 3 meter untuk mengaji. Mereka juga belajar tentang komputer.
”Beberapa waktu lalu, kami dapat 200 iqro dan sudah dibagikan ke anak-anak. Tanggung jawab kami bukan hanya untuk wisatawan, melainkan juga anak-anak,” ujar Asep.
Puluhan santri dari pesantren setempat juga kerap datang belajar bahasa Inggris, kaligrafi, hingga kerajinan tangan. Pengajarnya adalah Asep dan ibu-ibu setempat.
”Kami memiliki pemandu wisata yang luar biasa, Ibu Wati. Dia fasih bahasa Inggris, Kanton, dan Arab. Pengalamannya selama 16 tahun menjadi pekerja migran memberikan berkah kemampuan berbahasa yang baik,” katanya.
Kini, beragam aktivitas kreatif terus digelar. Melalui program Unjuk Kabisa, Asep mengajak siapa saja untuk berbagi keahlian kepada anak-anak dan warga, misalnya komunitas hidroponik di Kota Sukabumi mengajarkan cara berkebun dengan lahan minim.
”Berbagi itu tidak hanya dengan uang. Wakaf keahlian juga bisa,” katanya.
Berbagai kegiatan itu, bagi lulusan pondok pesantren ini, merupakan wujud wisata halal. ”Kalau dibilang wisata halal, kami sudah punya masjid sampai tasbih dari hanjeli. Namun, tidak hanya itu, konsep halal itu juga dari muamalah. Masyarakat juga friendly (ramah) sama tamu,” ujarnya.
Muamalah yang ia maksud adalah pemberdayaan masyarakat, seperti peningkatan kemampuan ibu-ibu purna migran. Wisata halal di desanya juga mencerminkan inklusivitas. Misalnya, Asep mengajak dua anak yang disabilitas fisik di bagian tangan untuk membuat kerajinan sesuai dengan kemampuannya.
”Perlahan kami latih mereka untuk terlibat dalam beragam kerajinan hanjeli. Idealnya, ada lebih banyak orang dari berbagai kalangan bisa datang ke sini. Mari kita belajar bersama,” katanya.
Apalagi, wisata halal, katanya, bukan untuk umat Islam saja. Berbagai latar belakang agama, suku, bahkan bangsa pelesiran ke desanya. Ada dari Malaysia, China, juga Jepang.
”Saya pernah mengajarkan kaligrafi kepada pengunjung yang bukan Muslim. (Kaligrafi) Ini sebagai seni menulis indah. Kami tidak membahas soal agama,” ujarnya.
Baca juga: Tati Nurmala, Profesor Hanjeli
Inklusif
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jabar Herawanto mengatakan, wisata halal merupakan bagian dari ekonomi syariah berbasis rahmatan lil alamin, yaitu kebermanfaatan bagi semuanya, termasuk alam. Oleh karena itu, wisata halal perlu selalu menekankan inkulisivitas.
”(Ekonomi syariah) Juga ada fungsi sustainability atau menjamin keberlangsungan dari kehidupan,” ujar Herawanto. Kisah warga dari petambang menjadi pelaku usaha wisata lewat hanjeli menjadi bukti. Andai kata mereka masih menambang, bukan tidak mungkin alamnya kini rusak.
Pengasuh Pondok Pesantren Al Quran Al Falah Bandung, KH Rif’at Abi Syahid, menuturkan, gaya hidup halal, termasuk wisata halal, seharusnya juga mengutamakan konsep toyib atau baik. Misalnya, sandang dan pangan yang dibeli harusnya tidak hanya halal sumbernya, tetapi juga baik.
”Makna halal dan toyiban itu tidak bisa dipisahkan,” ujar KH Rif’at saat jadi pemateri di diskusi ”Halal and Green Lifestyle in Digital Era” dalam rangkaian Digisef, Minggu (4/9/2022).
Kekayaan wisata
Aang Afandi, pengamat pariwisata dari Politeknik Negeri Malang, menambahkan, konsep toyib mengandung nilai-nilai universal. Ia mencontohkan, kuliner dalam wisata halal harusnya lebih sehat. Hanjeli, misalnya, lebih menyehatkan dibandingkan beras bagi penderita diabetes.
Penerapan wisata halal juga dapat dilihat dari pemanfaatan dana untuk sedekah dan membantu warga setempat. Oleh karena itu, infrastruktur, seperti mushala, perlengkapan shalat di hotel, hingga label makanan halal belum cukup ideal untuk mengembangkan wisata halal.
”Indonesia berpotensi menjadi destinasi wisata halal atau ramah Muslim. Kita punya kekayaan wisata alam dan penduduk mayoritas Muslim,” ujar Aang.
Dengan penduduk Muslim lebih dari 220 juta jiwa, Indonesia menduduki peringkat kedua di antara negara berpenduduk Islam sebagai tujuan wisata menurut Global Muslim Travel Index (GMTI) 2022. Malaysia ada di peringkat pertama.
Riset GMTI 2019 yang disusun MasterCard-Crescentrating itu menyebutkan, wisatawan Muslim di dunia terus tumbuh. Pada 2000, terdapat 25 juta wisatawan dan melonjak pada 2020 menjadi 160 juta orang. Bahkan, jumlahnya diprediksi mencapai 230 juta wisatawan pada 2026 dengan pembelanjaan 300 miliar dollar AS.
”Indonesia bisa menangkap peluang ini dengan komitmen pemerintah mengembangkan wisata ramah Muslim. Dan, perlu diingat, wisata halal itu tidak mengotak-ngotakkan latar belakang tertentu,” ujar Aang.
Wisata halal di Indonesia masih sangat terbuka dikembangkan. Namun, ujungnya bukan sekadar mendulang rupiah. Lewat wisata halal, beragam nilai kebaikan berpotensi tersampaikan untuk semua kehidupan di bumi ini.