Cum Ahmawati, Terang Bagi yang Berjuang
Cum Ahmawati memiliki karakter serupa hanjeli. Keduanya seperti ingin terus menjadi terang bagi mereka yang mau terus berjuang.
Cum Ahmawati (47), warga Desa Waluran, Kecamatan Waluran, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, bukan orang yang mudah menyerah. Pernah menjadi pekerja migran hingga mengalami kekerasan rumah tangga, dia berhasil bangkit. Bersama beragam potensi tanaman hanjeli, dia ikut memberdayakan warga di pelosok selatan Jabar itu.
Kamis (4/8/2022), matahari bersinar garang di Waluran yang berjarak sekitar 300 kilometer dari Jakarta. Sengatannya membakar kulit.
Akan tetapi, Wati, sapaan Cum Ahmawati, seperti tidak terpengaruh dengan itu. Kepala koordinator pemandu di Desa Wisata Hanjeli di Waluran itu tetap dingin.
Dengan lancar, dia menjawab sejumlah pertanyaan tentang hanjeli yang dilontarkan peserta program perkuliahan musim panas hibrida (hybrid summer program) Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, Bandung. Pesertanya 13 mahasiswa asing dari China, Jepang, dan Malaysia.
”How many seeds in each hole,” salah seorang peserta bertanya, berapa banyak benih hanjeli yang ditanam di setiap lubang.
”We usually put five seeds in each hole,” kata Warti menjelaskan kebiasaan warga meletakkan lima bibit dalam satu lubang tanam.
”What is that ?” tanya peserta lain yang penasaran dengan pisau pemotong kecil yang dibawa Wati.
”This is part of the harvest method. This is called ani-ani, small knife to cut hanjeli. But, we also have big knife called golok to cut the hanjeli after harvest,” kata Wati menerangkan alat yang digunakan dalam proses panen hanjeli.
Kemampuan berbahasa Inggris Wati itu membuat takjub pendamping acara asal Indonesia. ”Fasih bahasa Inggris-nya. Saya saja kalah. Dari mana belajarnya, Bu?” tanyanya.
”Saya lama jadi pegawai ’telkom’. Bukan perusahaan telekomunikasi, tapi urusan ketel dan baskom,” kata Wati.
Dalam bahasa Sunda, ketel berarti penggorengan. Sementara baskom biasanya digunakan untuk merebus air. Semuanya adalah barang-barang utama yang digunakan saat bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di negeri orang.
Terhitung, 16 tahun dia wara-wiri ke sejumlah negara, seperti Arab Saudi, Hong Kong, Oman, Malaysia, hingga Bahrain. Karena tertipu dan minim informasi, beberapa negara pernah disambangi tanpa prosedur resmi.
Seperti banyak pekerja migran Indonesia (PMI) lainnya, merantau ke luar negeri bukan cita-cita Wati. Dia terpaksa pergi akibat didera kemiskinan dan pilihan kerja yang terbatas di negeri sendiri.
Wati mengatakan, petualangannya bermula selepas lulus SMP tahun 1995. Hanya setahun, ia lalu berangkat ke Malaysia karena desakan biaya. Suaminya sesama PMI urung memberikan nafkah. Pindah dari satu negara ke negara lain, ia tiba di Bahrain tahun 2012.
Awalnya, Wati menikmati pekerjaannya sebagai ART di keluarga salah satu pejabat pemerintah. Namun, itu tidak lama. Konflik horizontal berdampak pada keluarga majikannya. Ia sempat tidak digaji selama beberapa bulan, sebelum diminta pergi tanpa jaminan pekerjaan.
”Saya luntang-lantung di sana. Agar tetap berpenghasilan, saya cari kerja dengan mengetuk pintu dari rumah ke rumah,” katanya.
Pilihan itu, katanya, sangat berisiko. Menurut dia, perempuan pekerja tanpa suami rentan jadi korban kekerasan. Ajakan menikah lagi dari pekerja migran asal Bangladesh diterima demi keamanan bekerja.
Akan tetapi, kondisinya tetap tidak sederhana. Pekerjaan masih sulit didapat. Apalagi, kala itu banyak razia terhadap pekerja luar negeri tanpa dokumen. Sempat ingin meminta bantuan pada kedutaan besar Indonesia, hal itu ia urungkan karena antrean yang panjang.
”Karena sedang hamil tujuh bulan, saya putuskan pulang ke Indonesia. Ambil jalan pintas, saya menyerahkan diri dan ditahan imigrasi setempat agar bisa dideportasi. Setelah ditahan selama sebulan, saya dipulangkan ke Indonesia tahun 2016,” katanya.
Di Tanah Air, cobaan hidup tidak berakhir. Kandungannya divonis bermasalah. Dia diminta untuk menjalani operasi caesar. Biayanya belasan juta rupiah.
”Seorang teman menyarankan saya pergi ke Jampang, Sukabumi. Katanya ada dukun bayi yang bisa bantu melahirkan tanpa caesar,” katanya.
Di Jampang, dia menumpang hidup pada warga setempat. Biayanya ia dapatkan dari suaminya yang merupakan warga Bangladesh. Setiap bulan, ia dikirim Rp 4 juta-Rp 5 juta untuk biaya persalinan dan hidup bersama anak-anaknya.
Harapannya melahirkan normal ternyata berhasil. Namun, atas anjuran dari orang-orang di sekitarnya, ia diminta menikah dengan warga setempat demi menekan gunjingan orang.
”Keputusan itu ternyata keliru. Ternyata dia (suami) tidak sebaik sebelum menikah. Setelah berpisah, saya putuskan mengasuh anak-anak sendiri,” katanya yang memiliki seorang anak lagi dari pernikahan terakhirnya itu.
Hidup sendiri ternyata tidak semudah yang ia sangka. Jauh dari keluarga, dia tidak punya pekerjaan. Kembali pergi ke luar negeri bukan pilihan bijaksana. Dia sudah memiliki empat anak. Anak bungsunya bahkan berkebutuhan khusus.
”Selain ingin melupakan masa lalu, saya lalu pindah ke Waluran. Di sana juga ada peluang bekerja di tambang emas,” ujarnya.
Desa wisata
Hingga tahun 2017, menjadi pemecah batu hasil tambang emas ilegal jamak dilakukan perempuan-perempuan Waluran. Wati membuang jauh rasa cemas akan bahaya sianida hingga merkuri yang digunakan dalam proses pemisahan batuan dengan emas.
Hidup adalah misteri. Tidak disangka, Waluran menyelamatkan hidupnya. Kisahnya muncul saat Wati bersenda gurau dengan pemecah batu lainnya menggunakan bahasa Inggris. Saat itu, tidak banyak yang tahu apa yang ia ucapkan. Namun, kemampuan itu didengar Asep Hidayat Mustofa (34), warga setempat.
Asep juga mantan PMI. Kembali ke kampung halamannya, dia punya mimpi memberdayakan warga dengan menanam hanjeli. Sejak itu, Asep belajar otodidak tentang tanaman penuh gizi yang selama ini ditelantarkan warga setempat itu. Dia punya mimpi membangun desa wisata berbasis hanjeli, komoditas pangan yang kala itu dipandang sebelah mata.
”Kebetulan, saya memerlukan bantuan dari warga yang bisa berbahasa asing. Selain Inggris, dia bisa bahasa Arab dan Kanton,” kata Asep.
Wati menyanggupi ajakan Asep untuk membesarkan Desa Wisata Hanjeli. Dari penjelasan Asep dan literatur yang dibaca, Wati paham bahwa hanjeli punya banyak potensi, lebih dari sekadar tanaman pagar rumah warga.
Dugaan Asep benar. Kemampuan bahasa Inggris Wati menjadi kunci. Di hadapan pejabat pemerintah, organisasi non-pemerintah, hingga wisatawan asing, ia mempromosikan hanjeli dan produk turunannya yang penuh gizi.
”Awalnya gemetar. Namun, setelah dijalani, saya mulai nyaman dan terbiasa. Tanggapan positif dari banyak orang membuat saya semakin percaya diri,” kata Wati.
Duet Asep-Wati sukses. Banyak warga ikut serta. Kerja sama dengan berbagai pihak digelar. Wisatawan dalam dan luar negeri semakin banyak berdatangan.
Meski merasakan nikmat ekonomi hanjeli, Wati menuturkan, apa yang dia kerjakan lebih dari sekadar jutaan rupiah. Hanjeli bisa menahan laju urbanisasi hingga keinginan bekerja di luar negeri. Lewat usaha kuliner hanjeli, penginapan (homestay), hingga kerajinan tangan, risiko bekerja di tambang emas ilegal juga ditinggalkan.
Baca juga : Laurindo Dos Santos, Pengabdian di Tapal Batas
”Kami mengelola hanjeli jenis ketan dan batok untuk bubur, rangginang, hingga kue. Sementara jenis hanjeli batu digunakan untuk membuat kerajinan, seperti kalung, gelang, hingga tasbih,” katanya.
”Kalau diminta memilih, saya adalah cerminan hanjeli batu yang digunakan membuat tasbih. Karakter bijinya keras, mirip dengan saya. Dari hanjeli batu saya belajar, selalu ada jalan bagi yang ngotot berjuang,” tambahnya.
Ke depan, Wati mengatakan akan terus mempromosikan hanjeli yang masih punya banyak potensi untuk dikembangkan. Bagi dia, karakter hanjeli sama seperti dia dan banyak warga lain. Dari awalnya terpinggirkan, mereka kini berdaya.
Hidup Wati dan hanjeli kini tidak terpisahkan. Punya karakter serupa, keduanya seperti ingin terus menjadi terang bagi mereka yang mau terus berjuang.
Cum Ahmawati
Lahir: Kendal, 14 April 1975
Pendidikan terakhir: SMP Muhammadiyah Ciamis (1989)
Anak: 4 orang