Laurindo Dos Santos, Pengabdian di Tapal Batas
Santos mengabdikan diri melampaui tugas dan tanggung jawabnya sebagai prajurit TNI Angkatan Darat.
Laurindo Dos Santos (44) mengawali mimpinya menjadi prajurit TNI sebagai tenaga bantuan operasi militer di Timor Timur saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kini, lebih dari 23 tahun berdinas, ia mengabdikan diri tidak hanya dalam tugas kemiliteran, tetapi juga membantu masyarakat tapal batas yang kesulitan.
Di belakang rumah Dince Lodwakla (40), warga Desa Ilwaki, Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, kini telah dibangun sebuah sumur. Sumur yang baru dikerjakan itu lengkap dengan mesin penyedot air, tempat penampungan, dan dua keran untuk mengalir air dari penampungan.
Kehadiran sumur itu menjawab kerinduan Dince dan warga lain, yang saban hari harus berjalan kaki mengambil air dari sumur yang agak jauh dari rumah mereka. Mereka harus datang lebih pagi agar tidak terlalu lama mengantre di sumur umum. Di desa berpenduduk hampir 1.000 jiwa itu, terdapat satu sumur yang debit airnya banyak sehingga menjadi rebutan warga.
”Sekarang beberapa rumah di sini tidak perlu antre lagi di sumur umum. Kami sudah punya sumur sendiri yang dibangun oleh Bapak Santos. Dia datang beli bahan, ikut gali, dan beli alat-alat semua. Dia bilang, dia tidak tega lihat mama-mama pikul air tiap hari,” tutur Dince.
Ilwaki dan hampir semua desa di Pulau Wetar itu mengalami krisis air hampir sepanjang tahun. Warga mengandalkan sumur gali. Namun, sumur dengan debit air yang limpah dan kualitas yang layak konsumsi terbatas. Ada solusi lain, yakni membeli dari mobil tangki air dengan harga Rp 200.000 untuk ukuran 5.000 liter.
Kondisi ekonomi membuat tidak semua warga mampu membeli air untuk kebutuhan sehari-hari. Terlebih lagi, Wetar merupakan pulau dengan tingkat kemahalan tinggi. Harga beras medium, misalnya, mencapai Rp 18.000 per kilogram. Harga premium eceran dijual Rp 40.000 dalam wadah berukuran 1,5 liter.
Sementara sumber penghasilan warga bersandar pada tanaman umur panjang seperti kelapa yang diolah menjadi kopra atau jambu mente. Sayangnya, harga komoditas sering kali tidak berpihak kepada mereka. Ekonomi warga tertekan. Lebih dari separuh penduduk setempat hidup di bawah garis kemiskinan.
Setelah membangun sumur di belakang rumah Dince, Santos berencana akan membangun lagi sumur di lokasi lain. ”Kumpul-kumpul uang dulu baru bisa bangun lagi satu-satu,” ujar Santos. Saat ditanya berapa banyak sumur yang sudah dan akan dibangun, ia merespons dengan senyum pertanda tidak mau menyebutkan.
Membangun sumur hanya satu dari banyaknya kegiatan sosial yang dilakukan Santos di Pulau Wetar, pulau yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste. Dari mulut ke mulut, banyak warga dan pejabat lokal memberi kesaksian mengenai sosok Santos yang mudah melebur dengan lingkungan sekitar.
Beberapa warga Lirang, Kecamatan Wetar Barat, menyampaikan, Santos ikut menyumbang tali kepada nelayan budidaya rumput laut. Kini, ekonomi di daerah itu semakin maju lewat usaha rumput laut. Dalam satu bulan terakhir, sebanyak 22,4 ton rumput laut kering diangkut dengan kapal perintis ke Kupang.
”Apakah setelah dia menyumbang tali kemudian nanti dia datang minta jatah? Tidak. Bahkan, ketika kami kasih ikan pun sering kali dia bayar. Dia bukan tipe orang militer yang sewenang-wenang. Dia beda sekali. Hidupnya sederhana dan suka menolong. Ini tentara yang pas jadi teladan,” kata Mano, warga Lirang.
Rolinawati Darisera, bidan di Puskesmas Ilwaki, mengatakan, Santos sering membantu mobilitas pasien gawat darurat dan ibu hamil dari Ilwaki ke Desa Lurang, untuk selanjutnya dibawa menggunakan kapal ke Atapupu di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Di Pulau Wetar, dan Kabupaten Maluku Barat Daya pada umumnya, belum ada fasilitas kesehatan yang memadai.
Banyak pasien yang tidak mempunyai uang memilih pasrah sehingga akhirnya tidak selamat. Jika mendengar informasi tentang warga yang kesulitan biaya, Santos diam-diam langsung datang membantu. ”Tiba-tiba saja, kami dengar ongkos untuk pasien sudah diatur beliau. Beliau membantu dalam diam,” ujarnya.
Pengalaman dibom
Menurut Santos, kejahatan yang paling menonjol di daerah itu adalah pengebom ikan oleh pelaku yang datang dari luar Pulau Wetar. Dengan perahu motor cepat (speedboat)berkecepatan tinggi, komplotan penjahat melakukan aksi dengan cepat lalu menghilang secepat kilat.
Mereka bahkan sering kali menjarah barang milik warga Wetar. Para gadis setempat pun sering mereka lecehkan, bahkan perkosa.
Warga kemudian melaporkan hal tersebut. Suatu ketika, saat melancarkan aksi, komplotan itu dikejar oleh Santos dan anggota Koramil Wetar. Saat kejar-kejaran di laut, komplotan itu melempar bom ikan ke arah perahu yang ditumpangi Santos lalu meledak. Beruntung, Santos dan anak buahnya selamat.
”Memang operasi di laut itu menjadi tugas TNI AL (Angkatan Laut), tetapi di lokasi kejadian itu tidak ada anggota TNI AL. Saya tidak bisa mendiamkan hal ini. Kami kejar mereka pakai perahu nelayan, tetapi tidak berhasil karena para penjahat itu menggunakan speedboat yang cepat,” katanya.
Di daerah perbatasan itu minim sarana pendukung kegiatan militer. Untuk patroli rutin, para anggota menggunakan perahu motor nelayan. Semakin sering patroli setelah aksi kejar-kejaran itu, kini para komplotan tidak berani lagi masuk ke sana. Hampir dua tahun ini tidak terdengar lagi pengeboman ikan dan perampokan.
Santos bermimpi, suatu ketika Pulau Wetar dan daerah perbatasan lainnya, yang biasa disebut sebagai beranda negeri, menjadi etalase yang membanggakan bangsa. Setidaknya itu tampak dalam pembangunan infrastruktur dan kehidupan ekonomi masyarakat yang semakin sejahtera.
Secara internal, ia sudah melakukan itu. Dengan uang tabungan serta menyisihkan sebagian gaji bulanan, ia merombak markas Koramil Wetar menjadi lebih baik. ”Sebelumnya, babi sampai masuk ke dalam markas koramil. Sekarang sudah ada gerbang dan halaman yang tertata meski belum benar-benar ideal,” kata Santos.
Santos hidup murni dari gaji sebagai seorang tentara. Penelusuran Kompas di Pulau Wetar, tidak terdengar ia memiliki bisnis atau usaha untuk menambah penghasilan. Saat disinggung mengenai hak-hak prajurit di perbatasan, ia tersenyum. ”Yang membawa saya ke sini adalah cita-cita saya. Kalau mau kaya, saya tidak memilih jadi tentara,” ucapnya.
Baca juga : Yunia Irawati Membela Penyandang Kusta
Santos memulai karier militer dengan pangkat sersan dua. Tahun 1999 ia dilantik, kemudian langsung ditugaskan di Kepulauan Maluku hingga saat ini. Ia pernah bertugas di Merauke di Papua, Kepulauan Tanimbar, Kota Ambon di Maluku, dan kini di Wetar.
Wetar dengan layanan listrik 12 jam dan sering padam, sinyal internet tidak stabil, harga barang mahal, minim fasilitas kesehatan, dan banyak lagi keterbatasan. Santos menikmatinya.
Banyak orang di Pulau Wetar menganggap Santos sebagai tentara yang selalu hadir menolong masyarakat. Di tengah keterbatasan di daerah tapal batas, Santos mengabdikan dirinya melampaui batas sebagai seorang prajurit militer. ”Ia tentara yang memberi teladan. Rendah hati, tetapi tegas dalam prinsip,” puji Daud Pelabukni, Camat Wetar Selatan.
Data Diri
Nama: Kapten Caj Laurindo Dos Santos
Lahir: Lospalos, Timor Leste, 5 Mei 1978
Jabatan: Komandan Koramil Wetar
Istri: Letnan Dua Caj Jeblina Naomi (40)
Anak: Noimia Choimbra Dos Santos Xantana (15)