Tati Nurmala, Profesor Hanjeli
Tati sudah memulainya beberapa dekade lalu dengan meneliti dan mendampingi petani hanjeli. Hingga kini, dia tetap setia menjalani pilihan mulia itu.
Sejak puluhan tahun Tati Nurmala (72) meneliti hanjeli atau jali (Coix lacryma-jobi). Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran ini blusukan ke pelosok desa mencari hanjeli hingga mendampingi petani. Semuanya demi menjaga pangan lokal di tengah ancaman krisis pangan.
Dari Desa Waluran Mandiri, Waluran, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (4/8/2022), Tati mengenalkan hanjeli di hadapan mahasiswa asal Malaysia, China, dan Jepang. Kuliah yang juga digelar via daring itu adalah bagian program Hybrid Summer Fakultas Teknik Geologi Unpad.
”Hanjeli is a potential plant to replace rice (hanjeli adalah tanaman potensial untuk menggantikan beras),” ucap Tati sambil menunjukkan biji hanjeli yang serupa dengan kedelai. Tengteng, rengginang dalam kemasan, hingga bubur berbahan hanjeli terpajang di meja diskusi.
Kajian Tati, dalam 100 gram hanjeli, terkandung karbohidrat sebanyak 76,4 persen, protein (14,1 persen), lemak nabati (7,9 persen), dan kalsium (54 miligram). Beberapa kandungan itu lebih tinggi dari beras, yang karbohidratnya (87,7 persen), protein (8,8 persen), dan kalsium (18 mg).
Indeks glikemik hanjeli juga tergolong rendah, 50 ke bawah, sehingga cocok bagi penderita diabetes atau seseorang yang dalam program diet dan menghindari beras. Oleh karena itu, katanya, hanjeli dapat mengganti beras. Apalagi, hanjeli tidak butuh pasokan air sebanyak padi.
Padi pun rentan kebanjiran atau kekeringan seiring perubahan iklim. Masifnya alih fungsi lahan dan serangan hama juga membayangi gagal panen padi. Ini berbeda dengan hanjeli yang dapat dibudidayakan di pekarangan rumah atau pinggir jalan. Hanjeli bahkan berbunga berkali-kali.
”Hanjeli juga bisa mengurangi ketergantungan Indonesia pada gandum,” ucapnya. Indonesia jadi pengimpor gandum terbesar ke-14 di dunia, yakni 10,4 juta ton. Tahun lalu, nilai impor gandum yang dijadikan roti hingga mi mencapai 3,54 miliar dollar Amerika Serikat (Kompas, 4/3/2022).
Belum lagi dampak perang Ukraina dan Rusia yang menaikkan harga gandum. Padahal, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2020 dan 2021 Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat konsumsi mi instan penduduk Indonesia menyentuh 13,2 miliar bungkus setahun.
”Saya pelajari, tepung dari hanjeli bisa dimodifikasi jadi lentur, seperti mi. Caranya, dicampur porang. Lipidnya juga tinggi, jadi rasanya gurih,” ucapnya. Siang itu, Tati dan rekan sejawatnya dari Unpad juga memeragakan pembuatan mi dan kue berbahan hanjeli di Waluran Mandiri.
Pangan lokal
Pengetahuan Tati akan hanjeli bukan kemarin sore. Ia menggeluti pangan, terutama gandum, sejak kuliah di Fakultas Pertanian Unpad tahun 1969. ”Cita-cita saya jadi dokter. Tapi, karena situasi dan biaya, saya memilih pertanian. Saya 9 bersaudara,” ujar anak petani dan guru ini.
Namun, medio 1980, Tati yang sudah jadi dosen di Unpad merasa gandum bak ”hegemoni” negara luar. ”Kita hanya konsumen. Akhirnya, pangan lokal tersisih. Kalau terjadi sesuatu sehingga gandum susah didapat seperti karena perang, bagaimana kita?” ungkapnya.
Padahal, sebagai daerah tropis, Indonesia punya aneka sumber karbohidrat. Ada ubi, beras, hingga hanjeli. Dari semua itu, Tati menilai, hanjeli paling cocok jadi pangan alternatif. Tidak hanya karena tumbuh di semua provinsi, jenis serealia itu juga tahan lama dan mudah diolah.
Sayangnya, serbuan pangan impor hingga pengarusutamaan beras turut menggerus hanjeli. Bijinya yang keras serta waktu produksi yang menghabiskan enam bulan juga memberatkan petani. Hanjeli yang sebelumnya tumbuh di sawah, bahkan permukiman, perlahan hilang.
”Saya dan teman-teman mengeksplorasi hanjeli di Jabar. Kalau dengar ada hanjeli, saya kejar sampai pelosok,” katanya dengan alis meninggi. Kala itu, internet masih barang langka sehingga informasi soal hanjeli juga sukar. Ia keliling Bandung, Sumedang, Kuningan, hingga Sukabumi.
Pernah Tati menempuh perjalanan jauh, tetapi hanjelinya tak ada. Akan tetapi, ia tak menyerah. Setelah blusukan ke sejumlah daerah, ia dan tim mengumpulkan 41 aksesi atau calon varietas hanjeli. Bersama Guru Besar Pertanian Unpad Warid Ali Qosim, ia meneliti varietas hanjeli.
”Dari 41 aksesi yang diuji, empat varietas sudah didaftarkan ke kementan,” ucapnya. Varietas bernama Watani, gabungan nama Warid dan Tati Nurmala, itu diklaim dapat tumbuh 4-5 bulan, bukan 6 bulan. Produksinya juga bisa meningkat dari 2 ton menjadi 6 ton per hektar.
Penulis sejumlah buku terkait pangan alternatif ini juga mengajak petani kembali menanam hanjeli. Ia juga membawa sejumlah petani ke pameran produk olahan hanjeli ke beberapa kota. ”Salah satu petani yang kami dampingi sekarang jadi anggota DPRD Sumedang,” katanya.
Mantan Ketua Perhimpunan Agronomi Indonesia Komisariat Daerah Jabar ini mendampingi petani membudidayakan serta memanfaatkan hanjeli di Punclut, Bandung; Sukasari dan Wado (Sumedang); serta Desa Waluran Mandiri. Penelitiannya jadi rujukan Rumah Hanjeli Indonesia.
Didirikan Asep Hidayat (34), Rumah Hanjeli Indonesia mengembangkan desa wisata berbasis hanjeli. Tanaman itu tidak hanya menjelma jadi makanan, tetapi juga aksesori, seperti gelang hingga tasbih. Bahkan, warga mulai membangun homestay atau tempat penginapan karena banyak tamu.
”Prof Tati sudah lima kali ke sini. Sebenarnya kami kasihan dengan beliau karena sudah sepuh, tetapi masih jalan-jalan ke sini. Kami bersyukur dapat karena dapat pengetahuan langsung tentang hanjeli dari pakarnya. Jadi, enggak ada yang (berani) debat. Ha-ha-ha,” ujar Asep.
Meskipun langkahnya pelan, Tati tetap semangat keliling daerah untuk menyebarkan ilmu tentang hanjeli. Ibu tiga anak dan nenek dua cucu ini juga seharusnya sudah pensiun dua tahun lalu. Namun, Unpad masih membutuhkan kontribusinya. Begitu pun dengan petani hanjeli.
Tati berharap pemerintah kelak memprioritaskan hanjeli seperti padi, jagung, dan kedelai. Hingga kini, data produksi dan lahan hanjeli belum tersedia. ”Padahal, hanjeli kita lebih baik dibandingkan dengan Filipina dan China. Hanjeli juga bisa dipakai untuk herbal dan skin care,” katanya.
Tidak hanya jadi bahan pangan dan obat, hanjeli juga dapat membantu konservasi lahan. Akarnya dinilai dapat menetralkan tanah. Di China, katanya, hanjeli disimpan di atas kain sutra dalam stoples. Biji hanjeli terpajang di etalase. Bukan tidak mungkin, hanjeli bakal dipuja kelak.
Tati sudah memulainya beberapa dekade lalu dengan meneliti dan mendampingi petani. Di usianya yang senja, ia kini mengajak yuniornya mendalami tanaman serealia itu. ”Semakin lama, saya merasa semakin banyak yang harus dicari tentang hanjeli. Selama saya diberi kesehatan dan mampu, saya tetap mengembangkan hanjeli,” ujarnya.
Prof Dr Hj Tati Nurmala
Lahir: Bandung, 9 Desember 1949
Profesi: Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
Pendidikan: SDN Cicadas Bandung
SMPN 4 Bandung
SMAN 3 Bandung
S1-S3 di Fakultas Pertanian Unpad
Suami: Almarhum Drs H Sugeng Wiyono
Anak: Sulistyo Wati Nuryono
Sulistyo Utono Nuryono
Sulistyo Dewi Nuryono