Perempuan-perempuan di Desa Waluran Mandiri kini membangun diri bersama hanjeli. Mereka melepaskan masa lalu suram untuk masa depan pangan terbaik.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, ABDULLAH FIKRI ASHRI, TATANG MULYANA SINAGA, CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
·5 menit baca
Perempuan-perempuan di Desa Waluran Mandiri, Kecamatan Waluran, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dulunya mengadu nasib di negeri orang dan berkalang tambang emas ilegal. Dengan hanjeli (Coix lacryma-jobi L), mereka kini menjadi ratu di tanahnya sendiri.
Gelang, kalung, hingga tasbih terpajang di Rumah Aksesori Hanjeli yang juga kediaman Hj Dedeh Suminar (52) di Desa Waluran Mandiri, Kamis (4/8/2022). Semua terbuat dari hanjeli, tumbuhan biji-bijian bergizi tinggi.
Biji itu dari pohon hanjeli yang ditanam di pekarangan hingga sawah. Semua disortir sesuai ukurannya. Setelah dilubangi, biji dirangkai jadi produk yang diinginkan.
Kreativitas itu lahir tiga tahun lalu ketika Asep Hidayat Mustopa (34), penggagas Desa Wisata Hanjeli, menantang Dedeh mengolah hanjeli. Tanpa pelatihan khusus, ia belajar membuat gelang hingga tasbih.
Dalam sehari, Dedeh bisa membuat 50 gelang hanjeli. Harganya Rp 10.000-Rp 25.000 per buah. ”Sebulan, terjual 100 produk aksesori,” ujarnya.
Dengan asumsi penjualan 100 buah per bulan dan harga Rp 15.000, Dedeh bisa meraup sekitar Rp 1,5 juta. Angka ini hampir setengah dari upah minimum Kabupaten Sukabumi tahun 2022, yakni Rp 3,1 juta per bulan.
Akan tetapi, rupiah bukan yang utama. Menurut Dedeh, hanjeli membuatnya berdaya. Dulu, perempuan lulusan sekolah dasar ini merantau ke Arab Saudi tahun 1995 karena impitan ekonomi.
”Waktu pulang, (suami) enggak setia. Akhirnya cerai. Setelahnya saya berangkat lagi sampai delapan kali,” kenangnya. Terakhir, ibu satu anak ini berangkat ke Timur Tengah tahun 2000-an.
”Lebih baik di sini (desa) daripada di luar (negeri). Kalau di luar, diginiin (sambil mengeluarkan telunjuknya seperti menyuruh) sama orang. Kalau di sini, mah, terserah kita,” ungkap Dedeh.
Oyah (50), ibu lain di Desa Waluran Mandiri, juga merasa lebih berdaya dengan hanjeli. Sebagai Ketua Kelompok Wanita Tani Mekar Mandiri, ia tidak hanya menanam hanjeli, tetapi juga paham cara memanen hingga membuat rengginang hanjeli.
Lima tahun lalu, Oyah adalah petani padi. Suatu hari, ia melihat hanjeli di rumah ibunya. Ia pun menanam bijinya di sawah, tumpang sari dengan padi pada 2017. Area tanamnya terus meluas hingga 2 hektar.
Setelah enam bulan, Oyah mampu memanen sekitar 2 ton biji hanjeli. Hasil produksi lalu dijual ke Asep dengan harga Rp 4.000-Rp 5.000 per kilogram atau lebih dari Rp 8 juta.
Masa depan
Tidak hanya memikirkan diri sendiri, kaum ibu di Desa Wisata Hanjeli pun peduli kepada masa depan anak-anak mereka. Sumiyati (50), misalnya, bersedia menyulap beranda rumahnya menjadi tempat baca.
Selepas maghrib, beranda berukuran 2 meter x 3 meter ini menjadi tempat mengaji dan belajar bagi anak-anak. Hampir tiap malam dia menyediakan waktu menjadi guru mengajinya.
Sumiyati sadar pahitnya hidup jika tidak berpendidikan tinggi. Hanya pernah duduk di bangku SD, dia sempat mencoba peruntungan sebagai pekerja migran selama tiga tahun hingga penumbuk batu emas ilegal. ”Saya ingin anak-anak di sini pintar, tidak seperti saya,” ujarnya.
Guru Besar Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Tati Nurmala menilai, perempuan di Desa Waluran Mandiri menunjukkan kepada dunia pentingnya hanjeli sebagai bahan pangan alternatif, selain menjadi harapan hidup baru. Dalam 100 gram hanjeli terkandung karbohidrat sebanyak 76,4 persen, protein (14,1 persen), lemak nabati (7,9 persen), dan kalsium (54 miligram).
”Selama ini kita banyak bergantung pada nasi. Padahal, sumber karbohidrat melimpah. Salah satunya dari hanjeli yang punya banyak kandungan nutrisi dan tahan lama,” ujar Tati.
Ucapan Tati bahwa perempuan Waluran duta bangsa bukan tanpa bukti. Kamis pagi, rombongan hybrid summer program Unpad menyaksikan kisah warga berdaya dengan hanjeli. Perempuan Waluran, seperti Dedeh dan lainnya, menjadi bintang dalam kegiatan yang melibatkan mahasiswa dari Malaysia, China, dan Jepang itu.
Salah seorang mahasiswa yang tertarik adalah Ran Takeda (20). Mata mahasiswa asal Akita University, Jepang, itu berbinar. Dia kagum melihat aktivitas pengolahan hanjeli. Di negaranya, hanjeli—yang disebut hatomugi—digunakan untuk perawatan kulit dan diolah secara modern.
Sejumput biji hanjeli dipukul bergantian di dalam lesung. Tumbukan-tumbukannya menghasilkan irama harmonis. Ran dan beberapa mahasiswa penasaran dan mencobanya. Namun, tidak sampai setengah jam, mereka terengah-engah dan menyerah.
Kekaguman Ran tidak berhenti sampai di situ. Dia tidak menyangka, pemandu mereka, Cum Ahmawati (47), mahir berbahasa Inggris. Dia tidak perlu meminta bantuan penerjemah karena Wati mampu menjelaskan dengan bahasa yang dia pahami.
Wati menjelaskan manfaat hanjeli tanpa ragu. Mulai dari kandungan gizi hingga kemampuan hanjeli mengurangi potensi longsor. Bekal bahasa itu ia dapat setelah 16 tahun menjadi pekerja migran dari jazirah Arab hingga semenanjung Malaka.
”Saya salut melihat perjuangan Wati dan ibu-ibu lainnya. Mereka mau berjuang dan tidak kenal menyerah,” ujar Asep bangga.
Saat ibu-ibu itu beraksi di depan mahasiswa asing, sejumlah anak muda lokal juga ikut serta. Meski lebih banyak diam, mereka memperhatikan apa saja yang dilakukan seniornya.
”Saya masih belajar dari ibu-ibu di sini. Ikut memperhatikan mengolah hanjeli saja dulu,” kata Nenti (24), warga Waluran.
Menurut Nenti, ibu-ibu Waluran memberikan banyak contoh bagaimana menghadapi kerasnya hidup. Lewat hanjeli, mereka tidak lagi harus mempertaruhkan nyawa untuk merantau ke luar negeri atau menjadi petambang emas.
”Sepertinya, saya juga akan coba hidup dari hanjeli ketimbang pergi ke luar negeri. Semoga, kemampuan saya bertambah lebih banyak lagi,” katanya.
Perempuan hanjeli dari Waluran membuktikan, mereka bisa berdaya memanfaatkan potensi pangan lokal. Ibarat hanjeli, mereka adalah biji-biji yang keras, tangguh, dan memberi sejahtera bagi orang di sekitarnya.