Draf Perda Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Aceh Dikritisi
Banyak persoalan yang tidak dibahas secara komprehensif di dalam draf qanun itu.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Draf peraturan daerah atau qanun Provinsi Aceh tentang rencana pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dinilai belum menjawab persoalan lingkungan secara komprehensif. Para pihak mendesak legislatif agar draf peraturan itu disempurnakan.
Hal itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat umum terhadap draf peraturan daerah tersebut, Rabu (31/8/2022), di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Deputi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nasir menuturkan, pembahasan qanun tersebut tidak mengakomodasi partisipasi publik. Seminar atau diskusi untuk mencari masukan dari publik digelar.
”Tidak (ada) pelibatan publik, draf qanun dan lampiran baru diunggah ke website DPRA 24 Agustus 2022, hanya seminggu sebelum RDPU,” ujar Nasir.
Nasir menuturkan, hasil telaah yang dilakukan oleh lintas organisasi masyarakat sipil menemukan banyak persoalan yang tidak dibahas secara komprehensif di dalam draf qanun itu.
Beberapa persoalan mendasar adalah seperti kawasan pesisir tidak masuk dalam regulasi, isu persampahan tidak diakomodasi, konflik satwa tidak dibahas menyeluruh, hingga keberadaan lahan gambut yang alpa disebut pada beberapa kabupaten.
Nasir menambahkan, terkait keberadaan kawasan mangrove hanya disebut berada pada kabupaten Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Jaya, Aceh Selatan, dan Aceh Singkil. Padahal hutan mangrove juga terdapat di Kota Langsa, Bireuen, Pidie, dan Pidie Jaya.
Bukan hanya itu, Nasir juga menemukan terkait keberadaan kars dan sumber daya alam energi tidak mengakomodasi keberadaan di semua daerah. Jika tidak dimasukkan dalam qanun, dikhawatirkan akan berdampak pada rencana pembangunan selanjutnya.
”Selain persoalan di atas kami menduga banyak persoalan lain, tetapi belum sempat dikaji mendalam karena keterbatasan waktu,” kata Nasir.
Nasir menuturkan, qanun rencana pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup bagian dari regulasi payung untuk merencanakan pembangunan daerah. Jika qanun tersebut tidak menampung dan menjawab semua persoalan, dikhawatirkan rencana pembangunan akan bias.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Aceh Barat Bukhari mengatakan, dalam draf qanun itu tidak disebutkan keberadaan lahan gambut di Aceh Barat. Padahal, menurut dia, selama ini lahan yang terbakar di Aceh Barat adalah lahan gambut.
”Perlu dimasukkan ke dalam qanun ini agar rencana perlindungan dan penanganan kebakaran gambut masuk dalam program,” kata Bukhari.
Persoalan konflik satwa dan pengelolaan tambang di Aceh Barat juga tidak disebutkan di dalam draf qanun itu. Bukhari mengatakan, tambang emas ilegal di Aceh Barat marak. Tanpa regulasi dan rencana tindak lanjut yang jelas, dia khawatir lingkungan akan semakin rusak.
Sementara Penjabat Bupati Simeulue Ahmadlyah mengatakan, sebagai kawasan kepulauan, Simeulue memiliki kawasan terumbu karang, tetapi hal itu belum diatur secara komprehensif. Dia berharap persoalan terumbu karang diatur lebih lengkap.
Wakil Ketua DPR Aceh Hendra Budian mengatakan, RDPU digelar untuk menjaring masukan publik terhadap penyempurnaan qanun tersebut. Sebelum disahkan, masukan dari publik akan dimasukkan ke dalam qanun itu.
”RDPU pemenuhan syarat dalam pembentukan qanun,” kata Hendra.