Petani di Sulteng Nikmati Peningkatan Produksi Beras
Produksi beras di tingkat petani di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, sejak 2021 meningkat. Produksi masih bisa meningkat jika ketersediaan pupuk bersubsidi memadai.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
SIGI, KOMPAS — Sejumlah petani di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, mengakui produksi beras sejak 2021 meningkat. Pengairan yang terjamin karena hujan sepanjang tahun menjadi pendorongnya. Produksi beras diyakini masih bisa meningkat asalkan kebutuhan pupuk bersubsidi yang selama ini masih terbatas bisa terpenuhi.
Asruli (64), petani yang sawahnya terletak di Desa Sidera, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, menuturkan, produksi beras dari 1 hektar sawahnya sejak tahun lalu hingga panen terakhir pada Mei 2022 berkisar 2-2,5 ton per musim. Sawah diolah dua kali (dua musim tanam) dalam setahun.
”Ini lebih baik dari hasil pada 2020 yang hanya 1,75 ton per musim tanam,” katanya, Minggu (21/8/2022), saat ditemui di pondok sawahnya di Desa Sidera. Ia baru saja menyemprotkan herbisida pada lahan sawahnya yang berumur 1,5 bulan.
Menurut dia, produksi meningkat karena pasokan air yang cukup terjamin dalam 1,5 tahun belakangan. Hujan sepanjang tahun sejak tahun lalu memungkinkan irigasi terus mengalirkan air. Pantauan Kompas, saluran irigasi yang terletak di pinggir sawah Asruli mengalirkan air hingga separuh tinggi saluran.
Hal itu berbeda pada 2020. Pada Mei-Agustus 2020, pasokan air kurang karena pada periode tersebut terjadi kekeringan (kemarau). Sebagian sawah Asruli tak terairi dengan memadai sehingga padi tak maksimal berbuah.
Dengan meningkatnya produksi, Asruli bisa menjual lebih banyak beras. Dari produksi 2-2,5 ton beras, ia bisa menjual 1 ton-1,5 ton beras dengan harga rata-rata Rp 8.000 per kilogram. Dipotong biaya produksi sekitar Rp 2 juta-Rp 2,5 juta, ia mengantongi Rp 5,5 juta-Rp 9,5 juta per musim tanam. Adapun sisa produksinya ia pakai untuk konsumsi sendiri.
”Cukuplah untuk pemenuhan semua kebutuhan dan tidak mengutang,” kata petani yang tinggal dengan istri dan satu anaknya itu.
Hal sama dialami Aswan (33), petani di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru. Dari 0,5 hektar lahannya, sejak tahun lalu ia menghasilkan 1,2 ton beras per musim tanam. Produksi itu meningkat dua kali lipat dari produksi pada 2020. Pasokan air yang memadai juga memungkinkannya meningkatkan produksi beras.
Dengan peningkatan produksi tersebut, Aswan bisa menjual 700 kg beras untuk memenuhi kebutuhannya. Jumlah tersebut termasuk tinggi dari panen sebelumnya yang hanya mencapai 200 kg.
Asruli dan Aswan mengakui, produksi beras sebenarnya masih bisa meningkat jika ketersediaan pupuk bersubsidi terjamin. Selama ini, mereka mendapatkan pupuk lebih sedikit dari idealnya.
Surplus beras Sulteng rata-rata 90.000-120.000 ton per tahun.
Asruli, misalnya, mendapatkan empat karung pupuk bersubsidi, masing-masing dua karung jenis urea dan NPK. Padahal, idealnya, sawah 1 hektar membutuhkan 6 karung pupuk yang terdiri dari 2 karung NPK dan 4 karung urea. Dengan pemupukan maksimal, hasilnya diyakini semakin meningkat.
”Jangankan dapat 6 karung, 4 karung ini saja susah dapatnya. Padahal, saya sudah terdaftar sebagai anggota kelompok penerima pupuk subsidi,” kata Asruli.
Asruli pun meminta agar pemerintah memperhatikan alokasi dan penyaluran pupuk bersubsidi. Ini agar produksi beras makin meningkat.
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulteng Nelson Metubun menyatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulteng, memang terjadi peningkatan produksi beras. Surplus beras Sulteng rata-rata 90.000-120.000 ton per tahun.
BPS Sulteng mencatat, pada 2021, daerah tersebut menghasilkan 511.000 ton beras dari sawah seluas 182.000 hektar. Angka itu meningkat 9,43 persen dari 2020 yang sebesar 467.000 ton.
Terkait dengan masalah pupuk, Nelson mengakui, alokasi pupuk bersubsidi memang sangat terbatas. Untuk itu, saling berbagi antarkelompok tani jika kelebihan jatah atau tak terserapnya pupuk di satu kelompok menjadi solusi.