Semangat Kebangkitan dari Pelabuhan di Teluk Palu
Perbaikan dan pembangunan tiga pelabuhan di Kota Palu, Sulawesi Tengah, menjadi harapan bagi wilayah terdampak tsunami dan likuefaksi, 2018. Optimalisasi pelabuhan berpotensi menggerakkan ekonomi Palu.
Gairah baru muncul di Teluk Palu, Sulawesi Tengah. Setelah dipukul tsunami dan likuefaksi, 2018, kawasan itu seolah mati suri, dan belum bangkit dari keterpurukan. Pembangunan dan perbaikan tiga pelabuhan di sekitar Teluk Palu, yang sedang berjalan tahun ini, memberikan asa bagi kebangkitan perekonomian setempat.
Deru roda besi dari dua unit alat berat yang lalu lalang di sisi utara dan selatan Pelabuhan Wani, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala, Rabu (6/7/2022), mengenyakkan sepi. Kawasan pelabuhan di Teluk Palu yang sempat luluh lantak karena tsunami, September 2018, kini seolah hidup kembali dengan adanya aktivitas fisik itu.
Alat-alat berat meratakan dan melakukan perkerasan tanah sebagai bagian dari proyek konstruksi pelabuhan. Untuk memastikan tanah rata, ada kalanya pekerja di hamparan timbunan mengarahkan pengemudi alat berat untuk menggilas bagian lain yang belum tersentuh roda. Tanah berwarna kecoklatan setinggi sekitar 2 meter itu pelan-pelan rata.
Secara umum, pengerjaan proyek di Pelabuhan Wani masih berkutat pada perkerasan timbunan material yang terdiri dari pasir dan tanah. Titian untuk pendaratan kapal yang biasanya menjorok ke laut belum mulai dikerjakan. Tahap pengerjaan yang sama juga terlihat di Pelabuhan Donggala, ibu kota Kabupaten Donggala. Sejumlah alat berat dioperasikan untuk menguatkan timbunan dan mengeluarkan material yang tak dipakai.
Kedua pelabuhan yang berada di Teluk Palu itu diperbaiki karena rusak dilanda gempa dan tsunami pada 28 September 2018. Proyek konstruksi di kedua pelabuhan itu ditargetkan rampung pada 2023 untuk selanjutnya difungsikan kembali menfasilitasi pengangkutan barang dan penumpang.
Selain Pelabuhan Wani dan Pelabuhan Donggala, pengerjaan juga dilakukan di Pelabuhan Pantoloan di Kota Palu. Hanya saja pengerjaan di Pantoloan lebih fokus pada pembangunan perkantoran syahbandar pelabuhan dan pelayanan umum.
Pembangunan ketiga pelabuhan itu dilakukan oleh Kementerian Perhubungan melalui program Emergency Assistance for Rehabilitation and Reconstruction (EARR) dari pinjaman Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar 70 juta dollar AS.
Banyak harapan muncul terhadap optimalisasi ketiga pelabuhan itu. Teguh Ferianto, pengusaha pengolahan durian montong di Palu, misalnya, sudah lama menantikan geliat pengiriman barang dari pelabuhan di Palu.
Teguh, pemilik CV Montong Durian Palu yang memperkerjakan 30 karyawan, sudah tiga tahun ini membuka usaha penjualan durian dari Sulteng. Selain ke Medan, Sumatera Utara, yang selanjutnya diolah lagi untuk diekspor, durian dikirim ke sejumlah perusahaan di Jakarta dan Surabaya, Jawa Timur. Dalam sebulan, Teguh mengirim 16-18 ton durian ke daerah tersebut via jasa logistik kontainer pelabuhan. Ia juga mengirim sekitar 1 ton durian tanpa dikupas dengan jasa kargo pesawat setiap hari.
Usaha penjualan durian Teguh terus berkembang. Pengiriman yang dilakukannya saat ini baru memenuhi 30 persen permintaan pelanggan. Ia berharap optimalisasi pelabuhan di Palu dapat membantunya meningkatkan kuota pengiriman ke luar daerah.
”Dengan tersedianya fasilitas distribusi baik di laut maupun udara, kami dorong ini terus berkembang. Pasar durian sangat besar sehingga petani tidak usah pusing dengan pemasaran seperti yang mereka takutkan selama ini,” katanya, Rabu (27/7/2022), di Palu.
Teguh biasanya membeli durian dari petani di Sulteng Rp 30.000 per kilogram dan dijual Rp 50.000 untuk durian yang belum dikupas serta Rp 85.000 per kg yang sudah dikupas. Namun, karena pelabuhan belum sepenuhnya optimal, kuota pengirimannya yang dilakukannya juga belum dapat ditingkatkan secara signifikan.
Seperti saat ini, Teguh menerima pesanan 20 ton durian dari Medan. Saat ini sudah tersedia sekitar 5 ton dari permintaan 20 ton dengan nilai Rp 1,7 miliar. Daging durian montong yang telah dikupas lalu dikemas ke dalam plastik dan disimpan di lemari pendingin (cold storage). Durian disimpan selama dua minggu.
”Sambil menunggu durian lainnya, ini disiapkan untuk pengiriman pertengahan Agustus dengan kontainer,” ujarnya.
Arti penting pelabuhan di Palu bagi ekonomi setempat kian terasa, terutama jika melihat arus barang dari Sulteng ke daerah lain yang masih minim. Ada ketimpangan besar antara barang yang masuk ke Sulteng dan keluar dari Sulteng. Padahal, potensi hasil bumi Sulteng sangat besar, terutama hasil pangan. Momentum pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) juga memicu potensi besar bagi pengiriman barang-barang dari Sulteng ke lokasi IKN dan Kalimantan Timur.
Situasi saat ini, di Pelabuhan Pantoloan, misalnya, setiap bulan mendarat 3.000 boks (TEus) peti kemas yang diangkut oleh 20 kapal. Peti kemas menuju pelabuhan dengan jasa logistik terbesar di Sulteng itu biasanya berisi bahan bangunan, dan barang kebutuhan pokok pabrikan (air minum, tepung terigu).
Namun, data dari Pelabuhan Pantoloan menunjukkan, dari 3.000 boks, hanya sekitar 1.000 boks yang terisi ketika meninggalkan pelabuhan itu. Peti kemas dari Pelabuhan Pantoloan berisi sejumlah komoditas, seperti kopra dan kakao. Artinya, ada sekitar 2.000 peti kemas yang kembali ke daerah asal, terutama Pulau Jawa, dalam kondisi kosong.
Penyokong IKN
Masih rendahnya alian barang dari Sulteng ini sangat disayangkan karena potensi hasil bumi Sulteng sangat besar. Konektivitas Sulteng dengan IKN di masa depan juga menjadi faktor yang semestinya diantisipasi dan dikelola sejak awal.
Sulteng memiliki peta jalan untuk menjadi penyanggah IKN, terutama dari sektor pangan. Selain karena secara geografis dekat dengan IKN, Sulteng memiliki potensi yang bisa dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pangan IKN. Selama ini, jalur perdagangan pangan ke wilayah Kaltim, yakni Samarinda, ibu kota Kaltim, dan Balikpapan, sudah lama terbentuk. ”Sulteng berpeluang besar menjadi penyangga pangan IKN,” ujar Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulteng Nelson Metubun.
Nelson mengatakan, selama ini diangkut sekitar 15 ton sayur beku dan beras ke Kaltim melalui Pelabuhan Penyeberangan Taipa, Palu. Dengan adanya IKN, kebutuhan pasti meningkat dan Sulteng siap untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut.
Untuk sayuran, meskipun tak merinci, Nelson menyebutkan ada sentra pengembangan di Kabupaten Poso dan Sigi. Sejumlah desa juga telah dicanangkan menjadi kawasan hortikultura.
Sementara untuk beras, Sulteng juga siap menyuplai IKN. Sulteng surplus beras 90.000-120.000 ton per tahun. Selama ini, beras dijual keluar dengan sasaran Pulau Kalimantan dan Sulawesi Utara.Nelson menyebutkan, kebutuhan beras di Kaltim, termasuk IKN pada 2024, diproyeksikan 445.000 ton per tahun. Angka itu dihitung dari kebutuhan total penduduk sekitar 5,3 juta jiwa, yang merupakan gabungan penduduk Kaltim dan aparatur sipil negara yang pindah ke IKN. Kaltim memproduksi 139.600 ton beras per tahun. Ada selisih besar antara kebutuhan dan produksi. ”Ini peluang besar bagi Sulteng,” tutur Nelson.Luas sawah di Sulteng saat ini 140.000 hektar dengan produksi sekitar 482.000 ton beras. Sawah tersebar di Kabupaten Sigi, Parigi Moutong, Banggai, dan Poso. Salah satu langkah yang diambil Sulteng untuk memenuhi kebutuhan beras di IKN ialah melalui intensifikasi pertanian. Saat ini, diterapkan empat siklus tanam pada 10.000 hektar sawah. Strategi tersebut diharapkan bisa menaikkan dua kali lipat produksi. Jika uji coba itu berhasil, penerapannya diperluas sehingga produksi beras secara keseluruhan meningkat dan bisa dipasok untuk kebutuhan IKN. ”Tentu ini punya efek domino untuk ekonomi Sulteng, untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Nelson.Melihat potensi konektivitas antara Sulteng dengan IKN, pembangunan dan perbaikan pelabuhan di Teluk Palu sangat krusial untuk mengoptimalkan daya dukung infrastruktur daerah. Pelabuhan Wani, misalnya, akan menjadi titik lalu lintas produk hortikultura dan ternak. Fungsi tersebut selama ini sebenarnya sudah berjalan, yakni dengan tujuan pengangkutan ke Kalimatan. Akan tetapi, dengan perbaikan pelabuhan, volume pengangkutan barang dapat diperbesar. Selama ini, terangkut sedikitnya 3.000 ton sayur dan buah dari pelabuhan tersebut ke berbagai tujuan terutama ke Kalimantan. Sementara itu, Pelabuhan Donggala diproyeksikan mendukung Pelabuhan Pantoloan untuk pengangkutan kontainer dan penumpang. Selama ini, Pelabuhan Donggala sudah menjadi tempat bongkar dan muat kontainer, tetapi masih dalam volume kecil.
Pelabuhan Pantoloan sendiri masih bisa dikembangkan. Saat ini, terminal peti kemas Pelabuhan Pantoloan masih longgar. Masih ada ruang kosong yang bisa diisi peti kemas baik untuk bongkar maupun muat.
Perdagangan antarpulau
Kepala Seksi Lalu Lintas Angkutan Laut dan Kepelabuhanan Kantor Kesyahbandaran dan Operator Pelabuhan Pantoloan Dicky Pasaribu mengatakan, infrastruktur berupa pelabuhan dibangun untuk menggerakkan ekonomi setempat. Ketiga pelabuhan di Teluk Palu bisa memacu ekonomi Sulteng karena daerah itu memiliki sumber daya alam berlimpah, terutama di sektor pangan dan perkebunan, yang bisa diperdagangkan antarpulau.
Orientasi perdagangan antarpulau penting karena memberikan nilai tambah pada produk atau komoditas. Harga barang menjadi lebih kompetitif. Hal itu pasti menggerakkan ekonomi masyarakat. ”Potensi tersebut harus dimanfaatkan dengan memaksimalkan jasa pelabuhan,” ucapnya.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, Palu, Ahlis Djirimu, menilai, sektor-sektor ekonomi unggulan Sulteng, seperti pertanian, hortikultura, perkebunan, dan perikanan, harus dikembangkan dengan memanfaatkan jasa logistik pelabuhan. Selama ada mobilitas barang, pelabuhan memiliki nilai tambah untuk ekonomi daerah setempat.
Untuk Sulteng, katanya, kerja sama regional Sulawesi dan Kalimantan di sekitar Selat Makassar serta Laut Sulawesi penting dilembagakan untuk meningkatkan arus barang dan orang. Di dua lautan tersebut, ada 8 provinsi dengan 41 kabupaten/kota. Hal itu potensi besar untuk meningkatkan mobilitas barang dan orang yang pada muaranya menggerakkan ekonomi.
Dunia usaha di Sulteng pun menyambut positif potensi peningkatan angkutan barang melalui perbaikan tiga pelabuhan di Sulteng. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kabupaten Donggala, misalnya, mendorong peningkatan produksi di sektor unggulan, seperti perkebunan, perternakan, dan perikanan. Saat ini, Kadin Donggala memulai upaya peningkatan produksi jagung dengan membuat kebun percontohan.
”Tujuannya untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Produk seperti jagung ini diharapkan bisa mengisi arus logistik via pelabuhan yang ada,” kata Ketua Kadin Donggala Rahmad M Arsyad.
Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulteng Donny I Setiawan menyampaikan, komoditas pertanian (hortikultura) dan perkebunan (buah, kopra, dan kakao) Sulteng sangat potensial untuk diperdagangkan antarpulau melalui pelabuhan. Hal itu sudah mulai dilakukan, misalnya, dengan pengiriman durian via kontainer ke Jakarta.
”Kami akan berusaha untuk memaksimalkan produk-produk unggulan agar diperdagangkan antarpulau supaya nilai tambahnya meningkat yang pada akhirnya meningkatkan ekonomi daerah,” tuturnya.
Infrastruktur seperti pelabuhan diyakini menjadi salah satu faktor pendukung dalam membangkitkan perdagangan antarpulau. Dengan kapasitas pelabuhan yang meningkat, jalan kebangkitan Sulteng dari dampak tsunami dan likuefaksi membentang di depan mata. Konektivitas yang baik dengan lokasi IKN juga menjadi momentum yang tidak boleh dilewatkan agar produk unggulan Sulteng bisa lebih ”berbicara”.