Pertanian Lahan Kering, Pilihan Pejabat NTT Saat Purnatugas
Menjadi petani di lahan kering merupakan pilihan kebanyakan pejabat dan pensiunan aparatur sipil negara di NTT. Mereka mengaku menjadi petani jauh lebih nyaman ketimbang terjun di dunia politik.
Fransiskus Salem (66), Sekretaris Daerah Nusa Tenggara Timur periode 2010-2017, bersemangat tinggi berdiri menunggu di depan pagar, mengenakan kaus oblong dengan celana pendek abu-abu, Minggu (21/8/2022) sore. Ia siap bekerja pada sore itu. Lahan kering seluas 5 hektar itu dipagar keliling.
Di dalam pagar itu berbagai jenis tanaman ekonomis tumbuh dan berproduksi. Ribuan ternak ayam potong siap dipelihara lagi. Aktivitas serupa pun digeluti mantan pejabat Pemprov NTT lain.
Begitu pagar dibuka, tampak hamparan lahan pertanian seluas 1,5 hektar dari total 5 hektar (ha) itu dipadati berbagai jenis tanaman. Pisang, pepaya, buah naga, nangka, kelapa, mangga, dan lainnya. Sebagian tanaman sedang dalam proses panen, sebagian sedang berbuah, dan yang lain baru saja dipanen. Di sisi kiri berbagai pepohonan itu berdiri sebuah rumah layak huni berukuran 8 meter x 12 meter.
Belasan batang kelapa gading dengan buah kering bergelantungan. Sebidang tempat parkir berukuran 25 meter x 30 meter disemen. Dua anjing penjaga kebun pun berada di samping rumah. Empat penjaga kebun yang digaji Rp 1,5 juta per bulansedang membantu menyiram tanaman bersama Frans Salem hari itu.
”Baru saja orang bawa 300 kilogram buah pepaya California dan jenis red lady keluar dari kebun ini dengan mobil pikap. Pekan lalu juga mobil pikap yang membawa 350 kg dari sini. Panen pepaya dan buah naga di tempat ini tidak pernah sepi. Hanya saat ini buah naga belum berbuah. Pekan depan, buah naga sudah bisa mengeluarkan bunga sekaligus buah baru,” kata Frans, demikian sapaan harian Fransiskus Salem.
Baca juga: Menanti Sukses Binaan Laboratorium Pertanian Lahan Kering Undana Kupang
Fransiskus Salem sedang menyiram pohon buah naga di lahan pertanian miliknya di Kupang, Minggu (21/8/2022). Hampir setiap hari Frans Salem berada di lokasi itu. Jarak rumah tinggal di Kota Kupang dengan lahan pertanian itu sekitar 30 km.
Lahan 5 ha itu terletak di Kampung Oehawu, Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, NTT. Lahan itu dibeli 2013-2014 secara bertahap dari tiga pemilik sebagai persiapan memasuki usia pensiun.
Pegawai negeri sipil (PNS) selama 32 tahun ini mengaku mulai mengolah lahan itu pada 2014 dan mulai menanam 2016. Luas lahan 5 hektar (ha), tetapi baru diolah 1,5 ha. Awalnya, ia menanam 500 pohon naga dan 700 pohon pepaya jenis California. Jenis pepaya california lebih diminati masyarakat Kupang karena isinya berwarna merah kekuning-kuningan dan lebih manis.
Pepaya itu dibeli pedagang buah Rp 7.000 per kg. Rata-rata 1 kg setara 1 pepaya. Pepaya itu dijual ke konsumen dengan harga Rp 25.000 per buah. Pedagang mendapat keuntungan Rp 18.000. Biasanya pedagang datang petik dan membawa sendiri ke toko buah atau swalayan.
”Saya mulai sadar. Jika petani hanya dibayar Rp 7.000 per kg, itu sangat merugikan. Nilai tawar petani sangat rendah. Kalau tidak jual dengan harga itu, pedagang tidak mau beli. Menurut pedagang berjualan buah-buahan tidak banyak untung karena buah cepat rusak jika tidak laku, buah-buahan itu terbuang sia-sia,” kata putra Noemuti, Timor Tengah Utara, ini.
Baca juga: Petani NTT Budidayakan Hortikultura di Lahan Kering demi Menjaga Ketahanan Pangan Keluarga
Welem Foni (baju putih), penjabat Bupati Belu 2014-2015, memiliki lahan seluas 2 hektar di Dusun Tua Nae, Desa Oelnasi, Kabupaten Kupang, Minggu (21/8/2022).
Selain itu, buah naga dibeli pedagang dengan harga Rp 10.000 per kg, juga setara 1 buah naga, dijual ke konsumen dengan harga Rp 27.000 per buah. Biasanya sekali panen sebanyak 500 kg. Dalam satu tahun tiga kali panen.
Hasil produksi pertanian ini dimanfaatkan Frans untuk biaya operasional, seperti membayar empat karyawan, biaya listrik, dan kebutuhan operasional lain. ”Modal untuk pembelian lahan, pembukaan berupa sewa ekskavator, pembangunan pagar, dan pengadaan sumur bor sudah kembali,”kata Frans bangga.
Penghasilan ini belum termasuk mangga, nangka, kelapa, pisang, dan buah-buahan lain. Jenis buah-buahan ini kebanyakan dikonsumsi sendiri atau dibagikan kepada sesama mantan pejabat dan tamu yang datang berkunjung. Kebanyakan mereka datang untuk merayakan ulang tahun kelahiran, arisan bersama mantan pejabat dan PNS, atau arisan keluarga atau paguyuban tertentu.
”Tempat ini sedang didesain menjadi destinasi wisata. Mereka yang hendak membeli buah-buahan di sini, memanen langsung di pohon, kemudian ditimbang. Sebagian besar mantan pejabat, para tokoh agama peduli pertanian, dan beberapa petani teladan sudah berkunjung ke sini. Mereka belajar bertani sekaligus berolahraga trekking dengan mendaki bukit yang ada di dalam lahan ini,” kata suami dari Maria Bernadeta Advensia ini.
Baca juga: Kekeringan, Petani NTT Kesulitan Mengolah Lahan
Bagian ketinggian dari lahan itu dipelihara ayam potong. Dua kandang ayam berdiri kokoh di sana. Ayam-ayam sudah habis dijual. Pekan depan, akan masuk lagi sekitar 10.000 ayam, masing-masing kandang 5.000 ekor.
Pemasaran ayam, pria empat anak ini bekerja sama dengan seorang pengusaha ayam yang sudah terkenal di Kupang. Pengusaha itu mendatangkan bibit ayam, DOC dari Surabaya. Frans menyediakan kandang dan pakan serta menggaji empat karyawan.
”Pemasaran ayam dilakukan pengusaha itu. Penguaha itu mendapatkan 40 persen, saya60 persen. Keuntungan dari ayam ini pun cukup menjanjikan,” kata mantan calon anggota DPD RI 2019-2024 ini.
Penjabat Bupati Belu (2014-2015) dan pensiunan PNS tahun 2021, Willem Foni, mengatakan, mulai membuka lahan seluas 2 ha di Dusun Tuanae, Desa Oelnasi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Awalnya, ia menanam juga pepaya sebanyak 1.000 pohon, menyusul bawang merah, terung, melon, buncis, pare, jagung manis, cabe keriting, dan cabe rawit.
Baca juga: Pemprov NTT Anggarkan Rp 25 Miliar untuk Pemberdayaan Petani Lahan Kering
Jika selama musim kemarau petani bisa menanam jagung dan tanaman hortikultura, mereka bisa keluar dari masalah rawan pangan itu.
Hasil produksi ini dibeli pedagang di lahan dan sebagian dijual secara daring.
Modal untuk beli lahan dan kelola lahan belum kembali. Tetapi, itu bukan tujuan utama. Saya ingin mengajarkan kepada para petani di sini bahwa bertani itu butuh kesabaran,
kata Willem.
Klemens Kesule (62), Sekretaris Dinas Kesehatan NTT (2016-2019), mengatakan sedang mengolah lahan kering di Kampung Nekamese, Kabupaten Kupang. Lahan seluas 2 hektar itu ditanami pepaya, semangka, cabe, dan terung.
”Bertani itu kesibukan yang paling menyenangkan saat memasuki usia di atas 50 tahun. Tidak ada yang atur atau tegur kita selama berada di kebun. Saya kerja santai, tidak mengejar keuntungan besar,” katanya.
Menurut Frans Salem, pemerintah perlu intervensi terhadap sistem pertanian lahan kering yang ada. Kelompok-kelompok tani sebaiknya disiapkan alat berat untuk mengolah lahan. Pasalnya, pertanian lahan kering butuh alat berat untuk membongkar batu-batu karang dan menyingkirkan ke tempat tertentu sehingga tanah itu bisa ditanami.
Baca juga: Asa Petani Kupang di Tengah Kekeringan Ekstrem
Lahan pertanian di daratan Timor memang subur dan bisa ditumbuhi semua jenis tanaman, asal batu-batu karang di atasnya disingkirkan. Menyingkirkan batu-batu karang itu pun butuh tenaga dan biaya jutaan rupiah. Lebih mudah menyewa alat berat, tetapi itu butuh biaya. Petani sulit menyewa alat berat itu kecuali dibantu pemerintah.
Selain lahan yang dipadati batu karang, kekeringan pun menjadi masalah utama petani.Pemerintah perlu mengatur agar setiap kelompok tani, terutama yang memiliki lahan saling berdekatan, memiliki satu sumur bor. Sumur itu diprioritaskan untuk pengembangan hortikultura selama musim kemarau.
”Kasus gagal panen dan rawan pangan biasanya terjadi selama musim kemarau. Jika selama musim kemarau petani bisa menanam jagung dan tanaman hortikultura, mereka bisa keluar dari masalah rawan pangan itu,” kata Frans.
Frans pun mengajak petani sekitar untuk belajar cara bertani yang ”sukses” di lahan kering. Sejumlah kelompok tani sempat berkunjung ke lahan pertanian milik Frans, tetapi mereka mengaku kesulitan mendatangkan alat berat dan traktor untuk membalik tanah yang ada.
Baca juga: Kisah Hardyan, Teknisi yang Beralih Jadi Pengusaha Ayam Petelur di NTT
Ia mengatakan, tidak mudah terjun di dunia politik saat pensiun. Butuh biaya miliaran rupiah, tetapi kadang cita-cita tidak tercapai. ”Orang bisa frustrasi dan terserang sejumlah penyakit, apalagi sudah memasuki usia senja. Saya sudah coba tahun 2019 sebagai calon anggota DPD RI. Itu sekadar memenuhi ajakan sejumlah pihak. Saya pun tidak berharap banyak saat itu,” katanya tersenyum.