Asa Petani Kupang di Tengah Kekeringan Ekstrem
Di tengah kekeringan ekstrem di Nusa Tenggara Timur, petani di Kabupaten Kupang tetap berikhtiar dan berharap pada hasil panen jagung yang ditanam. Semangat pantang surut meski hasilnya diprediksi tak sesuai target.
Hamparan jagung di lahan seluas 11,5 hektar di Desa Manusak, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, tampak menghijau di antara hamparan kering kerontang di sekitarnya. Jagung jenis Nasa 29 itu baru berusia sekitar tiga pekan. Penanaman perdana dilakukan Menteri Pertanian dan Gubernur NTT, 29 Mei. Inilah program Tanam Jagung Panen Sapi yang digulirkan Pemerintah Provinsi NTT.
Program Tanam Jagung Panen Sapi atau TJPS di NTT mencakup lahan seluas 10.000 hektar di 16 kabupaten. Alokasi anggaran program itu mencapai Rp 25 miliar. Program diproyeksikan melibatkan 20.000 petani.
Dalam program TJPS, 1 hektar (ha) lahan diproyeksikan bisa menghasilkan 5 ton jagung. Dari hasil produksi jagung, sebagian dikonsumsi petani dan selebihnya dijual untuk membeli bakalan sapi. Dalam proses penggemukan sapi, petani akan didampingi tenaga ahli dari dinas peternakan sebelum dijual.
Pengamatan di areal pertanian Desa Manusak, Minggu (20/9/2020), kondisi jagung sudah berbuah. Butuh waktu sekitar dua pekan lagi jagung sudah bisa dipanen.
Jagung Nasa 29 idealnya bisa menghasilkan 13 ton per ha. Namun, peluang itu sangat kecil. Tanaman jagung tumbuh kerdil dengan ketinggian hanya sekitar 1,3 meter. Seharusnya bisa berkisar 2-2,5 meter.
Daun jagung tampak bergulung, layu, menyiratkan kekurangan air. Tidak ada seorang petani pun di dalam lahan itu. Di sela-sela tanaman jagung, rumput justru tumbuh subur hingga setinggi 30 sentimeter.
Baca juga: Mentan Syahrul Yasin Limpo, Tuhan Sudah Menyiapkan Semua Buat NTT Mengapa Miskin
Marton Suek (56), anggota Kelompok Tani Tunas Baru, yang dijumpai di rumahnya, sekitar 5 meter dari lahan jagung itu, enggan berbicara seputar proyek TJPS.
”Kalau wartawan mau tanya soal proyek jagung ini, silakan ke inspektorat provinsi yang empat-lima hari lalu datang mengaudit proyek ini. Mereka bilang ini proyek gagal, tetapi kami petani yang langsung berhadapan dengan situasi di lapangan menilai proyek ini tidak gagal,” kata Suek.
Menurut Suek, bibit jagung yang dibagikan pemerintah untuk proyek TJPS, termasuk bibit jagung yang ditanam perdana oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Gubernur NTT Viktor Laiskodat, merupakan bibit jenis Lamuru. Tak lama ditanam, bibit itu gagal tumbuh. Ia menduga bibit jagung itu tidak bagus karena proses peluruhan biji jagung menggunakan mesin perontok sehingga biji jagung rusak.
Kelompok Tani Tunas Baru kemudian mengganti bibit jagung Lamuru dengan jagung Nasa 29, jenis jagung hibrida unggul yang sudah dikenal petani setempat. Alhasil, jagung tumbuh dengan baik.
Soal bibit jagung varietas Lamuru yang gagal tumbuh, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Kupang Pandapotan Sillagan menduga bibit tidak cocok dengan kondisi di Desa Manusak.
Di Desa Manusak, selain Tunas Baru, ada juga Kelompok Tani Levibik yang juga mengolah lahan jagung. Total lahan jagung di sana sekitar 37,5 ha.
Kesulitan air
Dalam perkembangannya, petani kesulitan air untuk menyirami lahan jagung. Bantuan pemerintah satu unit sumur bor di lahan tidak cukup. Apalagi, memasuki puncak kemarau, debit air sumur bor menurun setelah disedot lima jam berturut-turut.
”Dengan air yang ada, kami hanya bisa garap 11,5 ha lahan. Ini digarap 60 petani yang tergabung dalam dua kelompok tani,” kata Suek.
Baca juga: NTT Panen Jagung dengan Produktivitas 6 Ton Per Hektar
Untuk mengolah lahan jagung, petani mendapat subsidi dari pemerintah berupa bibit jagung Lamuru 10 ton, 3 traktor, 1 unit sumur bor, dan obat pembasmi hama.
Kesulitan air juga dialami Kelompok Tani Suka Maju di Desa Ekateta, Kecamatan Camplong, Kabupaten Kupang. Johan Kamlasi (48), anggota Kelompok Tani Suka Maju, mengatakan, dari total 20 ha lahan jagung yang diikutkan dalam program TJPS, hanya 5 ha yang bisa digarap. Itu karena 35 anggota Kelompok Tani Suka Maju juga dihadapkan pada persoalan keterbatasan air. Berbagai upaya dilakukan petani.
”Kami gunakan sumur bor dengan kedalaman sekitar 15 meter saja. Sekarang air sudah kering sehingga kami cari sisa air dari sungai sekitar lahan, alirkan masuk lahan. Kondisi jagung sudah berbunga. Semangat kami ada pada pertumbuhan dan hasil jagung,” katanya.
Baca juga:Petani NTT Kesulitan Mengolah Lahan karena Kekeringan
Hampir empat bulan seusai penanaman perdana, belum ada petani di Desa Manusak yang panen jagung dari program TJPS. Hal itu tidak terlepas dari keterbatasan air.
Menurut Sillagan, hal yang sudah dicapai para petani saat ini sudah cukup. Dengan satu sumur bor, mereka bisa berusaha menggarap 11,5 ha dari total 37,5 ha lahan, dan itu tidak mudah.
”Idealnya 37,5 ha itu ada 5-7 sumur bor. Tetapi, keuangan pemerintah juga terbatas sehingga permintaan petani untuk menambah sumur bor belum terpenuhi,” katanya.
Saat penanaman perdana, Syahrul mengatakan, 100 hari setelah penanaman, ia akan datang lagi untuk memanen jagung. Tetapi, sekarang sudah sekitar 110 hari, jagung belum ada yang bisa dipanen dan Mentan pun tak kunjung datang lagi ke Kabupaten Kupang.
Baca juga: Pemprov NTT Anggarkan Rp 25 Miliar untuk Pemberdayaan Petani
Meski demikian, Sillagan mengapresiasi perhatian dari Mentan. ”Bapak Mentan punya kepedulian besar terhadap pertanian lahan kering di NTT. Kondisi ini hampir sama dengan beberapa wilayah di Sulawesi Selatan, saat ia menjadi gubernur di sana. Tetapi, masalah utama NTT adalah ketersediaan air yang sangat terbatas untuk pertanian, bahkan untuk kebutuhan air baku saja tidak cukup,” kata Sillagan.
Ia mengatakan, rata-rata kondisi semua tanaman di NTT pada puncak kemarau seperti sekarang, kerdil dan layu. Program TJPS di Kabupaten Kupang diproyeksikan seluas 2.600 ha, tetapi yang terealisasi sampai Agustus 2020 baru 160 ha. Persoalan utama adalah kesulitan air, di samping sarana prasarana pendukung, seperti mesin pompa, bahan bakar minyak, listrik, dan tenaga teknisi yang masih kurang.
Capaian para petani di Kabupaten Kupang yang mampu menanam lahan jagung seluas 160 ha, termasuk 11,5 ha di Desa Manusak, dinilai Sillagan sudah cukup. Petani telah berjuang di tengah berbagai persoalan, sampai mencapai luasan itu. Petani tidak menyerah dengan kondisi kekeringan ekstrem saat ini.
”Ada 14 kabupaten di NTT mengalami kekeringan ekstrem, termasuk Kabupaten Kupang. Kekeringan ekstrem artinya selama 60 hari berturut-turut tidak ada hujan. Ini juga berpengaruh terhadap pertanian, perkebunan, dan peternakan yang ada,” kata Sillagan.
Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Hortikultura NTT Lucky Koli mengatakan, program TJPS NTT seluas 10.000 ha sampai 31 Agustus 2020 telah terealisasi 1.436 ha. Salah satu kendala utama adalah ketersediaan air di lahan pertanian.
Meski demikian, sisa target areal tanam TJPS seluas 8.564 ha akan dilanjutkan pada masa tanam November-Desember 2020. Dengan demikian, target 10.000 ha program TJPS tetap bisa terealisasi.
Sementara 16 kabupaten menyerap program TJPS, yakni Kabupaten Kupang 2.600 ha, Timor Tengah Selatan 1.325 ha, Kabupaten Belu 500 ha, Malaka 1.550 ha, Rote Ndao 100 ha, Flores Timur 100 ha, Ende 200 ha, Ngada 325 ha, Manggarai 100 ha, Manggarai Timur 650 ha, Manggarai Barat 400 ha, Sumba Tengah 500 ha, Sumba Barat 300 ha, Sumba Barat Daya 700 ha, dan Timor Tengah Utara seluas 650 ha. Alokasi dana untuk program TJPS ini senilai Rp 25 miliar.
Baca juga: Kekeringan Diprediksi Melanda NTT, Ini Daerah Berstatus Awas
Direktur Yayasan Tukelakang NTT Marianus Minggo mengatakan, pemerintah harus menerapkan teknologi pertanian hemat air, yakni sistem irigasi tetes. Di tengah kekeringan seperti ini, cara konvensional untuk mengolah lahan yang kekeringan tidak efisien dan efektif.
”Memang sistem irigasi tetes ini butuh biaya dan tenaga teknis, tetapi lebih hemat air dan hasilnya lebih memuaskan daripada sistem siram atau mengalirkan air ke tanaman seperti yang terjadi selama ini. Kalau ada kemauan, semangat, dan anggaran, pasti bisa,” kata Minggo.
Terlepas minimnya capaian, setidaknya petani di Kabupaten Kupang telah berikhtiar dan masih boleh berharap pada hasil panenan di tengah kekeringan ekstrem saat ini.