Polisi Tetapkan Guru Besar Universitas Halu Oleo Tersangka Kekerasan Seksual
Polresta Kendari menetapkan oknum Guru Besar UHO tersangka kasus kekerasan seksual. Di sisi lain, pihak kampus belum menetapkan sanksi etik terhadap terlapor.
KENDARI, KOMPAS — Setelah satu bulan dilaporkan, jajaran Polresta Kendari, Sulawesi Tenggara, menetapkan oknum Guru Besar Universitas Halu Oleo sebagai tersangka kasus kekerasan seksual. Di satu sisi, pihak kampus belum menetapkan sanksi etik terhadap terlapor meski telah dilakukan sidang sebelumnya. Padahal, kasus ini ditengarai hanya puncak gunung es dari kekerasan seksual di lingkup kampus.
Kapolresta Kendari Komisaris Besar Eka Faturrahman mengatakan, setelah melakukan penyelidikan dan penyidikan, pihaknya telah menetapkan terlapor B sebagai tersangka. Penetapan ini setelah pemeriksaan saksi, dan gelar perkara dilakukan secara berkesinambungan.
”Dari proses yang kami lakukan, termasuk pemeriksaan saksi hingga gelar perkara, penyidik menyimpulkan adanya tindak pidana kekerasan seksual dari kejadian ini. Hari ini kami menetapkan terlapor sebagai tersangka dari laporan seorang mahasiswi sebelumnya,” kata Eka di Kendari, Kamis (18/8/2022) malam. Tersangka diketahui merupakan seorang guru besar di UHO.
Berdasarkan tindakan yang dilakukan, ia melanjutkan, pelaku dikenai ancaman Pasal 6 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Tersangka diancam hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Pasal 6 UU TPKS terdiri atas dua pasal. Pasal 6a berbunyi, ”Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”
Sementara itu, Pasal 6b berbunyi, ”Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
Kami berharap agar tersangka bisa segera ditahan untuk pertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilaporkan. (Gabriella Miracle)
Menurut Eka, pihaknya segera memanggil B untuk diperiksa sebagai tersangka. Selanjutnya, akan ditentukan apakah tersangka akan ditahan atau tidak.
Kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di lingkup Kampus UHO mulai terungkap sejak adanya laporan ke kepolisian pada pertengahan Juli lalu. Seorang mahasiswi melaporkan B yang juga seorang guru besar atas tindakan kekerasan seksual ke pihak kampus, dan telah meneruskan laporan ke pihak kepolisian. Kekerasan seksual yang dialami ini terjadi di tempat tinggal dosen tersebut saat mahasiswi dipanggil untuk mengerjakan tugas.
Baca juga: Laporan Kekerasan Seksual Guru Besar UHO Naik Tahap Penyidikan, Polisi Belum Tetapkan Tersangka
Setelah laporan mahasiswi tersebut, sejumlah laporan lain juga masuk ke pihak kampus. Dua laporan tambahan adalah satu laporan tertulis dari mahasiswi lain dan satu laporan lisan dari seorang anggota staf.
Pengacara korban, Gabriella Miracle, menyambut baik penetapan tersangka aduan kliennya ini. Meski prosesnya mencapai satu bulan, ia memahami upaya hati-hati yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
”Terkait waktu panjang penetapan tersangka kami memahami karena penetapan tersangka tidak bisa terburu, dengan adanya kekhawatiran error in persona. Perlu diketahui bahwa kemarin penyidik mengatakan perlu adanya keterangan ahli pidana untuk mencukupkan alat bukti yang ada dan untuk memperjelas apakah ini benar pelecehan seksual atau tidak. Jadi mungkin prosesnya agak lama,” kata Gabriella.
Saat ini, ia menambahkan, kondisi korban mulai agak membaik dibandingkan sebelumnya. Pendampingan psikologis dilakukan secara berkala untuk membantu kesehatan mental korban yang terganggu akibat tindakan terlapor.
”Tapi, kami berharap agar tersangka bisa segera ditahan untuk pertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilaporkan,” katanya.
Husna dari Rumpun Perempuan Sultra berpendapat, penetapan tersangka oknum dosen di UHO ini merupakan langkah maju dari pihak kepolisian dalam melihat kasus kekerasan seksual. Terlebih lagi, aparat telah menggunakan aturan UU TPKS yang lebih luas dan mengakomodasi berbagai bentuk kekerasan seksual.
Namun, seiring dengan itu, pihak kampus juga seharusnya bergerak lebih cepat dalam menyelesaikan kasus ini. Mulai dari sanksi terhadap terlapor, hingga upaya untuk menciptakan kampus yang lebih aman dan nyaman.
Sebab, kasus ini diduga kuat hanya puncak gunung es dari kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup kampus. Padahal, telah ada aturan dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, yang harus ditaati oleh setiap kampus.
”Terbukti setelah laporan awal korban, ada sejumlah laporan lainnya terkait oknum dan kasus yang sama. Oleh karenanya, kasus ini harusnya dijadikan pintu masuk untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual, sekaligus komitmen untuk menghadirkan kampus yang aman dan melindungi semua pihak tanpa terkecuali,” ucapnya.
Baca juga: Tiga Orang Laporkan Kekerasan Seksual oleh Guru Besar UHO, Kampus Didesak Jatuhkan Sanksi Berat
Wakil Rektor III UHO Nur Arafah mengatakan, sidang kode etik terhadap terlapor memang dilakukan sejak akhir Juli lalu. Sidang diselenggarakan tidak berapa lama setelah kasus ini mencuat ke publik.
Akan tetapi, hasil rekomendasi sidang memang belum diputuskan oleh rektor. Hal ini setelah adanya beberapa hal yang harus ditindaklanjuti, khususnya beberapa permintaan dari kementerian yang turut mengawasi kasus ini.
”Pekan lalu ada permintaan dari kementerian terkait hasil sidang etik tersebut. Mungkin ada hal yang diindikasikan keputusannya tidak memuaskan, dan dalam proses sidang yang dipertanyakan, jadi pusat meminta beberapa penjelasan. Hal ini yang membuat keputusan sidang etiknya belum keluar,” kata Arafah.
Menurut Arafah, pihaknya tegas mendukung upaya pemberantasan kejahatan seksual di lingkup kampus. Namun, prinsip kehati-hatian juga penting untuk ditegakkan agar tidak berimplikasi hukum ke depannya.
Sebelumnya, sidang etik telah digelar pada Senin (25/7/2022). Ketua Dewan Kode Etik dan Disiplin UHO La Iru menyampaikan, sidang etik yang telah dilakukan menyatakan adanya pelanggaran yang ditemukan. Pelanggaran etik tersebut khususnya terkait sejumlah hal, salah satunya memanggil mahasiswa ke rumah.
”Hasil sidang etik diputuskan adalah pelanggaran sedang. Kami berpatokan pada SOP dan kami hanya menilai kode etik dan disiplinnya. Di situ ditemukan pelanggaran. Dosen tersebut memanggil ke rumah untuk mengerjakan tugas kampus. Untuk ranah pelecehan seksual, dewan etik beralasan tidak mau memberikan penilaian karena bukan ranah kami dan saat ini telah berproses di kepolisian,” kata La Iru.
Saat didesak mengapa tindakan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan tidak menjadi pertimbangan, La Iru beralasan hal tersebut ranah pidana dan bukan bagian dari etik. Ia tidak mampu menjawab saat ditanya dasar aturan ataupun standar yang berlaku.
Fatahillah, pengacara terlapor yang dihubungi, belum menjawab panggilan. Sebelumnya, ia mengungkapkan, sejauh ini Prof B yang menjadi terlapor dari aduan ini menyangkal adanya perbuatan yang dilaporkan oleh mahasiswi tersebut. Dalam pemeriksaan kepolisian, hal yang sama telah disampaikan ke para penyidik yang mengambil keterangan.
Ia menceritakan, dalam kejadian yang dilaporkan tersebut, pelapor tersebut tidak datang sendiri. Situasi rumah kerja tempat pertemuan juga terbuka dan berada di pinggir jalan.
”Kalau melihat lokasi rumahnya, tidak mungkin hal tersebut terjadi di situ. Jadi, klien kami menyangkal adanya kejadian tersebut,” katanya, Jumat (29/7/2022).