Keputusan Presiden Diharapkan Tak Hambat Penanganan Pelanggaran HAM di Papua
Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu telah ditandatangani. Sejumlah pihak berharap keppres itu tak menghambat penanganan kasus pelanggaran HAM di Papua.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menyatakan telah menandatangani Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu. Sejumlah pihak berharap keppres tersebut tidak menghambat upaya penanganan kasus pelanggaran HAM di Papua.
Juru bicara Jaringan Damai Papua, Yan Christian Warinussy, mengatakan, keppres tersebut dapat berdampak bagi penanganan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat di Papua. Dia menilai, penerbitan regulasi itu merupakan siasat politik yang berpotensi melemahkan upaya penyelidikan yang telah dilaksanakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) selama ini.
Yan menambahkan, penerbitan keppres tersebut juga dinilai mengabaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang sedang berlangsung di DPR. ”Regulasi ini juga merupakan langkah politik yang justru tidak mengakui KKR,” ujarnya saat dihubungi dari Jayapura, Jumat (19/8/2022).
Sebelumnya, saat berpidato dalam sidang tahunan MPR pada 16 Agustus, Presiden Joko Widodo menyatakan telah menandatangani Keppres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Dalam kesempatan itu, Presiden juga menyatakan, pemerintah serius dalam memperhatikan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua Latifah Anum Siregar menyatakan, pemerintah pusat harus serius dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Dia menyebut, hanya masyarakat sebagai korban yang berhak menentukan apakah kasus pelanggaran HAM berat akan ditangani secara yudisial atau non-yudisial.
”Tidak semua pelanggaran masa lalu dapat diselesaikan dengan non-yudisial. Hanya korban yang memilih cara penyelesaian kasus HAM berat pada masa lalu,” kata Latifah.
Latifah juga mengingatkan, penanganan kasus pelanggaran HAM di Papua harus mengacu pada Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Sebab, dalam UU Otonomi Khusus Papua, ada mandat agar pemerintah menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati HAM di Papua.
Selain itu, UU Otonomi Khusus Papua juga mengamanatkan pembentukan KKR. Oleh karena itu, Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang dibentuk melalui keppres tidak boleh mengambil alih peranan KKR.
Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey menyatakan, keppres tersebut tidak boleh menghambat upaya penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM di Papua. Ia pun meminta sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM harus diproses hukum.
Frits memaparkan, terdapat tiga kasus pelanggaran HAM berat yang penyelidikannya telah tuntas dan diserahkan ke Kejaksaan Agung. Kasus pertama adalah pelanggaran HAM di Kabupaten Paniai pada 8 Desember 2014.
Tidak semua pelanggaran masa lalu dapat diselesaikan dengan non-yudisial. Hanya korban yang memilih cara penyelesaian kasus HAM berat pada masa lalu.
Kasus Paniai berawal dari insiden antara sejumlah aparat keamanan dan para pemuda kampung di Kampung Ipakiye, Distrik Paniai Timur. Dari hasil penyelidikan Komnas HAM diketahui, oknum aparat keamanan menganiaya sejumlah warga yang memberikan peringatan karena ada oknum aparat yang mengendarai mobil tanpa menyalakan lampu.
Keesokan harinya, masyarakat yang tidak terima berunjuk rasa di pusat kota. Saat berkumpul di Lapangan Karel Gobay, Paniai, mereka dihadang oleh aparat keamanan gabungan yang hendak mengamankan aksi unjuk rasa. Namun, bentrokan kemudian pecah. Aparat menembakkan senjatanya untuk mengendalikan massa. Lima orang meninggal akibat insiden itu. Adapun tiga warga dalam kondisi kritis dan 22 warga lainnya terluka.
Dua kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang telah tuntas hasil penyelidikannya adalah kasus di Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, tahun 2001, dan kasus di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, tahun 2003. Dalam kasus pelanggaran HAM di Wasior, 4 warga meninggal, 5 warga hilang, dan 39 warga luka-luka. Adapun kasus di Wamena menyebabkan 9 orang tewas dan 38 orang luka-luka.
”Kasus pelanggaran HAM berat Paniai telah memasuki tahapan persidangan. Hakim akan menentukan jadwal sidang di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan. Sementara penanganan dua kasus lainnya belum ditindaklanjuti pihak Kejagung sejak tahun 2019,” kata Frits.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Siti Ruhaini Dzuhayatin, dalam siaran pers yang diterima Kompas, menyatakan, komitmen Presiden Joko Widodo dalam penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak pernah surut. Komitmen tersebut didasarkan pada tekad kuat Presiden Jokowi untuk membebaskan Indonesia dari beban masa lalu yang menyandera dan menguras energi bangsa.
”Dengan terselesaikannya pelanggaran berat di masa lalu, bangsa Indonesia dapat menyongsong masa depan dengan percaya diri, bermartabat, dan optimisme dalam mewujudkan bangsa yang tangguh, mandiri, dan kompetitif di tingkat global,” kata Ruhaini.
Ruhaini menambahkan, selain pendekatan yudisial, pemerintah juga menggunakan pendekatan non-yudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dengan memberikan penekanan pada aspek pengungkapan kebenaran, pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan. Hal ini dilakukan dengan membentuk tim penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui keppres.
”Keppres saat ini sudah ditandatangani oleh Presiden. Ini semakin menguatkan kinerja pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial yang saat ini sedang berlangsung. Pemerintah dan DPR saat ini juga terus melakukan pembahasan untuk percepatan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” ujarnya.