Bekas Bupati Hulu Sungai Utara Divonis Delapan Tahun Penjara
Bekas Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid divonis dengan hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Dia terbukti melakukan tindak pidana korupsi serta tindak pidana pencucian uang.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Bekas Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid divonis hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Majelis hakim menyatakan, Wahid terbukti melakukan tindak pidana korupsi serta pencucian uang.
Vonis dibacakan Yusriansyah, ketua majelis hakim, didampingi Ahmad Gawi dan Arif Winarno, selaku hakim anggota, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Senin (15/8/2022). Wahid, bupati Hulu Sungai Utara dua periode dari 2012-2021, mengikuti sidang putusan secara virtual dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Banjarmasin.
Yusriansyah mengatakan, Wahid terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan pertama berdasarkan Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Wahid juga terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana dakwaan ketiga berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, tindak pidana gratifikasi sebagaimana dakwaan kedua berdasarkan Pasal 12 B UU Tipikor serta kewajiban membayar uang pengganti berdasarkan Pasal 18 Ayat 1 huruf b UU Tipikor dinyatakan tidak terbukti.
”Majelis hakim memiliki pertimbangan berbeda dengan jaksa penuntut umum dalam menjatuhkan putusan. Terhadap putusan ini, penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa diberikan hak sama, apakah menerima atau pikir-pikir dulu selama tujuh hari untuk mengajukan banding,” kata Yusriansyah sebelum mengetuk palu sebagai tanda sidang ditutup.
Sebelumnya, pada sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Senin (1/8/2022), jaksa penuntut umum dari KPK menuntut Wahid dengan hukuman sembilan tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 1 tahun kurungan. Selain itu, ada kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 26,07 miliar atau dipidana penjara 6 tahun.
Jaksa KPK, Titto Jaelani, mengatakan tetap menghormati apa pun keputusan dari majelis hakim. Dalam pertimbangannya, majelis hakim tidak memisahkan perkara gratifikasi dari perkara suap atau korupsi yang dilakukan terdakwa sehingga, kata dia, kasus gratifikasi dimasukkan dalam pembuktian suap.
”Kalau suap, tentu ada pemberinya. Majelis hakim menyebutkan nama Marwoto (Kepala Seksi Jembatan Bidang Bina Marga Dinas PUPR Hulu Sungai Utara) dan kawan-kawan sebagai pemberi dan harus dimintai pertanggungjawaban pidana,” ujarnya.
Menurut Titto, majelis hakim juga tidak memasukkan kewajiban membayar uang pengganti berdasarkan Pasal 18 UU Tipikor karena tidak ada di dalam dakwaan. Namun, pertimbangan itu masih bisa diperdebatkan.
”Nanti kami akan laporkan kepada pimpinan, apa yang menjadi sikap kami selanjutnya, apakah banding, menerima, atau ada sikap lain,” katanya.
Beda pertimbangan
Perkara yang menjerat Wahid berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) oleh tim KPK pada 15 September 2021 di Hulu Sungai Utara. Saat itu, KPK menetapkan tiga tersangka, yakni Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Hulu Sungai Utara Maliki, Direktur CV Hanamas Marhaini, serta Direktur CV Kalpataru Fachriadi.
Pada 13 April 2022, majelis hakim Pengadilan Tipikor Banjarmasin menjatuhkan hukuman pidana penjara enam tahun dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Maliki. Ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena menerima suap dari Marhaini dan Fachriadi, kontraktor proyek irigasi di Hulu Sungai Utara. Adapun Marhaini dan Fachriadi dijatuhi hukuman penjara 1 tahun 9 bulan.
Penasihat hukum terdakwa, Fadli Nasution, mengatakan, majelis hakim, penuntut umum, dan penasihat hukum memiliki pertimbangan yang berbeda. Penuntut umum mendakwa dengan pasal korupsi dan suap, gratifikasi, serta TPPU. Penasihat hukum dalam pleidoi menyatakan, hanya pasal gratifikasi dan TPPU yang terbukti. Sementara majelis hakim dalam putusannya menyatakan, pasal korupsi dan suap serta TPPU yang terbukti.
”Hakim bilang tidak ada gratifikasi. Seluruhnya adalah suap. Dengan demikian, perkara ini tidak sempurna. Siapa pemberi suap itu? Sementara yang didakwa sebagai pemberi suap hanya Marhaini dan Fachriadi. Itu pun hanya Rp 195 juta. Sementara TPPU-nya lebih dari Rp 10 miliar,” ujarnya.
Menurut Fadli, ada peluang bagi pihaknya untuk mengajukan banding karena perkara ini tidak sempurna. ”Kalau bebas, kenapa tidak dibebaskan sekalian? Putusan ini jelas masih menggantung. Untuk itu, kami akan berdiskusi terlebih dahulu dengan terdakwa, Bapak Abdul Wahid kira-kira langkah apa yang akan diambil,” katanya.