Mantan Bupati Hulu Sungai Utara Dituntut 9 Tahun Penjara
Mantan Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid dituntut dengan hukuman penjara 9 tahun dan denda Rp 500 juta atas kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Mantan Bupati Hulu Sungai Utara, Abdul Wahid, dituntut dengan hukuman pidana penjara 9 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 1 tahun kurungan, serta harus membayar uang pengganti Rp 26,07 miliar atau dipidana penjara 6 tahun. Wahid merupakan terdakwa kasus tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Tuntutan pidana terhadap Abdul Wahid, bupati Hulu Sungai Utara dua periode sejak 2012 hingga 2021, dibacakan Titto Jaelani dan kawan-kawan jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Senin (1/8/2022) malam.
Sidang berlangsung di hadapan majelis hakim, Yusriansyah selaku hakim ketua serta Ahmad Gawi dan Arif Winarno sebagai hakim anggota. Terdakwa Abdul Wahid, yang berada di dalam tahanan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Banjarmasin, hadir secara virtual.
Dalam surat tuntutan, Wahid disebut bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 Huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP, serta Pasal 12B UU No 20/2001 juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP. Begitu pun dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) secara berbarengan, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
Menurut Titto, perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah untuk memberantas korupsi. Terdakwa juga melakukan lebih dari satu tindak pidana, yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. ”Dua hal itulah yang memberatkan tuntutan pidana terhadap terdakwa,” ujarnya.
Dalam pertimbangannya, JPU menyebutkan Wahid selama menjabat Bupati Hulu Sungai Utara menerima gratifikasi sebesar Rp 31,22 miliar. Gratifikasi diperolehnya dari berbagai proyek pengadaan barang dan jasa serta penunjukan aparatur sipil negara (ASN) untuk menduduki jabatan tertentu di lingkungan pemerintahan Kabupaten Hulu Sungai Utara. Uang hasil korupsi itu kemudian digunakan untuk membeli berbagai aset.
KPK menetapkan Abdul Wahid sebagai tersangka kasus korupsi pada 18 November 2021. Penetapannya dilakukan setelah KPK menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Hulu Sungai Utara selama hampir dua bulan.
Perkara yang menjerat Wahid berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) oleh tim KPK pada 15 September 2021 di Hulu Sungai Utara. Saat itu, KPK menetapkan tiga tersangka, yakni Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Hulu Sungai Utara Maliki, Direktur CV Hanamas Marhaini, serta Direktur CV Kalpataru Fachriadi.
Pada 13 April 2022, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin telah menjatuhi hukuman pidana penjara 6 tahun dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Maliki. Ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena menerima suap dari Marhaini dan Fachriadi, kontraktor proyek irigasi di Hulu Sungai Utara. Adapun, Marhaini dan Fachriadi dijatuhi hukuman penjara 1 tahun 9 bulan.
Fadli Nasution selaku penasihat hukum terdakwa Abdul Wahid menyampaikan, pihaknya menghormati tuntutan pidana 9 tahun penjara yang disampaikan jaksa dari KPK. ”Dengan akumulasi tiga pasal, yakni pasal korupsi dan suap, pasal gratifikasi, dan pasal TPPU, kami menilai JPU telah menuntut dengan hati nurani,” katanya.
Meskipun demikian, menurut Fadli, pihaknya tetap tidak sependapat dengan JPU untuk beberapa hal, terutama mengenai perhitungan uang pengganti. ”Sebagaimana fakta persidangan, kami akan memilah-milah sesuai keterangan saksi, berapa sebenarnya yang harus diganti dalam perkara ini karena uang itu diberikan ke mana-mana dan tidak dinikmati terdakwa sendiri. Jangan sampai terdakwa menanggung beban yang tidak dinikmati,” katanya.
Yusriansyah mengatakan, terdakwa bersama penasihat hukumnya dipersilakan melakukan pembelaan secara tertulis terhadap tuntutan JPU. ”Kami beri waktu satu minggu kepada saudara terdakwa untuk menyusun pembelaan secara tertulis untuk kemudian dibacakan dalam sidang pada 8 Agustus 2022,” katanya.