Terima Suap Proyek Irigasi, Eks Pelaksana Tugas Kepala Dinas Divonis 6 Tahun Penjara
Eks Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan Hulu Sungai Utara Maliki divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia terbukti menerima suap proyek irigasi.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Eks Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan Kabupaten Hulu Sungai Utara Maliki (pada layar) hadir secara virtual sebagai terdakwa dalam sidang putusan perkara tindak pidana korupsi di Ruang Sidang I, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (13/4/2022).
BANJARMASIN, KOMPAS — Bekas Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan Kabupaten Hulu Sungai Utara Maliki divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Maliki terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena menerima suap dari kontraktor proyek irigasi di Hulu Sungai Utara.
Sidang putusan perkara tindak pidana korupsi dengan terdakwa Maliki berlangsung di Ruang Sidang I, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (13/4/2022). Putusan dibacakan oleh Jamser Simanjuntak selaku hakim ketua, didampingi Ahmad Gawi dan Arif Winarno selaku hakim anggota.
”Menyatakan terdakwa Maliki terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 250 juta dengan ketentuan jika denda tidak dibayar, harus diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” kata Jamser.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Eks Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan Kabupaten Hulu Sungai Utara Maliki (pada layar) hadir secara virtual sebagai terdakwa dalam sidang putusan perkara tindak pidana korupsi di Ruang Sidang I, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (13/4/2022). Maliki divonis pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menerima suap proyek irigasi.
Maliki jadi pesakitan setelah ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kantor Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Hulu Sungai Utara pada 15 September 2021. Ia kedapatan menerima uang atau fee proyek irigasi dari Direktur CV Kalpataru Fachriadi dan Direktur CV Hanamas Marhaini serta pemborong Didi Bukhori senilai Rp 195 juta.
Majelis hakim juga menghukum terdakwa Maliki untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 195 juta. Jika tidak membayar uang pengganti tersebut paling lama dalam waktu satu bulan sesudah keputusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya disita jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana penjara selama 1 tahun 6 bulan.
Terdakwa Maliki terbukti melanggar Pasal 12 Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin di Jalan Pramuka, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (13/4/2022).
Jamser menyebutkan, ada beberapa keadaan yang memberatkan terdakwa Maliki. Pertama, terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kedua, perbuatan terdakwa dalam menerima suap (fee) dari rekanan pelaksana proyek di bidang sumber daya air Dinas PUPRP sudah terjadi sejak 2013, yaitu sejak terdakwa menjabat Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPRP. Ketiga, terdakwa pernah memberikan uang atau suap sebesar Rp 500 juta kepada Bupati Hulu Sungai Utara nonaktif Abdul Wahid untuk memperoleh jabatan Pelaksana Tugas Kepala Dinas PUPRP.
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Maliki lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK. Dalam sidang pada 30 Maret 2022, JPU menuntut Maliki dengan pidana 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, Maliki juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp 155 juta.
Terdakwa Maliki yang hadir secara virtual dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banjarmasin menyatakan mendengar putusan yang dibacakan majelis hakim. ”Pikir-pikir, Yang Mulia,” kata Maliki saat ditanya Jamser mengenai sikapnya terhadap putusan yang telah dibacakan.
Mengagetkan
Penasihat hukum terdakwa, Tuti Elawati, mengatakan, apa pun keputusan majelis hakim harus dianggap benar, kecuali ada keputusan yang lebih tinggi, yang menganulirnya. Namun, pihaknya sangat kaget dengan putusan yang dijatuhi majelis hakim karena di luar ekspektasi.
”Putusan majelis hakim ini ultra petita karena memberikan putusan keluar dari tuntutan atau melebihi tuntutan jaksa. Jadi, ini benar-benar di luar ekspektasi kami sebagai penasihat hukum,” ujarnya.
Menurut Tuti, pihaknya belum bisa langsung menyatakan sikap banding ataupun menerima putusan majelis hakim karena harus berdiskusi terlebih dahulu dengan terdakwa dan keluarga terdakwa. Pihaknya memiliki waktu tujuh hari untuk berpikir. ”Nanti akan kami putuskan apakah akan banding atau menerima putusan majelis hakim,” katanya.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Suasana sidang putusan perkara tindak pidana korupsi dengan terdakwa eks Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan Kabupaten Hulu Sungai Utara Maliki di Ruang Sidang I, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (13/4/2022).
Jaksa KPK, Titto Jaelani, menyampaikan, pihaknya tidak mempermasalahkan putusan majelis hakim yang lebih tinggi dari tuntutan jaksa. ”Kami menghargai putusan majelis hakim dan segala pertimbangan hakim dalam putusan tersebut. Tentu, ini menjadi bahan laporan kami kepada pimpinan untuk menentukan sikap selanjutnya,” tuturnya.
Majelis hakim juga tidak mengabulkan permohonan terdakwa Maliki sebagai justice collaborator atau kolaborator keadilan, yang siap bekerja sama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum. Padahal, KPK telah menerima terdakwa Maliki sebagai justice collaborator.
”Sudah biasa seperti ini. Putusan majelis hakim bisa kurang ataupun lebih dari tuntutan kami. Inilah fakta persidangan dan fakta hukum yang sudah terbuka. Semua itu kami hargai,” kata Titto.