Buah Kesetiaan Adat dan Budaya di Mentawai
Di tengah gempuran kemajuan zaman, keluarga Aman Laulau dan sikerei lainnya menjalani hidup selaras alam di pedalaman Pulau Siberut. Kemerdekaan mereka adalah saat adat dan budayanya terjaga.
Kesetiaan masyarakat Desa Madobag, Mentawai, di Sumatera Barat, dalam mempertahankan kehidupan mereka yang selaras dengan alam akhirnya mendapat penghormatan. Kemerdekaan bagi mereka adalah saat adat dan budayanya terjaga.
Aman Lepon (48) memarut satu per satu tumbuhan yang terkumpul. Sang ayah, Aman Laulau (67), membantu membersihkan tumbuhan yang belum diparut. Dua sikerei itu sedang meramu obat sakit perut di tepian anak Sungai Buttui yang mengalir jernih sekitar belasan meter dari depan uma—rumah tradisional Mentawai.
Sikerei adalah ahli pengobatan tradisional dalam kehidupan masyarakat Mentawai. Mereka juga pemimpin ritual adat, mulai dari pembangunan rumah, pembuatan sampan, pembukaan ladang, kelahiran, hingga kematian.
Mereka dapat dikenali dengan penampilan sehari-hari yang hanya mengenakan kabit (cawat), berkalung manik, berambut panjang, dan pengikat kepala kain merah. Tangan, badan, hingga kakinya, dipenuhi titi, tato tradisional Mentawai. Saat bertugas, aksesorinya lebih banyak dengan tambahan luat (ikat kepala), tuddak (sejenis kalung), dan lainnya.
Pada sore itu, ada enam jenis tumbuhan yang dikumpulkan Aman Lepon dan Aman Laulau. Dedaunan, bunga, batang, dan umbi tersebut diambil di pekarangan dan hutan sagu sekitar uma. Ada juga yang harus dicari hingga ke hutan.
Untuk obat sakit perut, tumbuhan yang digunakan adalah alutuet atau Elettaria longituba (Ridl.) Holttum, pasisingin atau Alpinia malaccensis, jiat-jiat atau Cymbopogon citratus (DC.) Stapf, sikukuet atau Hornstedtia conica Ridl., pangasele atau Justicia gendarussa Burm.f. Daun pari-pari atau Macaranga tanarius (L.) Müll.Arg menjadi wadah obat.
"Obat di Mentawai tidak sama dengan di puskesmas yang sudah pakai botol dan tablet. Obat sikerei semuanya di hutan. Ada yang sakit, baru diambil obatnya,” kata Aman Lepon di Dusun Buttui, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Kamis (28/7/2022).
Aman Lepon adalah anak sulung Aman Laulau dari enam bersaudara. Nama Aman Lepon berarti bapaknya Lepon. Dalam kebiasaan Mentawai, suami-istri dipanggil dengan nama anak sulung. Istri Aman Lepon dipanggil Bai Lepon. Nama bujang Aman Lepon adalah Laulau Manai Salakirat.
Baca juga: Budaya Mentawai Diambang Kepunahan
Di tengah gempuran kemajuan zaman, keluarga Aman Laulau dan sikerei lainnya masih selaras hidup dengan alam di kawasan hulu Sungai Rereiket, pedalaman Pulau Siberut. Permukiman mereka dikelilingi ladang dan hutan nan rimbun. Dari depan uma Aman Lalau, terdengar gemercik Sungai Buttui mengalir ke Sungai Rereiket.
Buttui berjarak sekitar 2,5 jam perjalanan dari Muara Siberut, ibu kota Siberut Selatan. Butuh 30 menit perjalanan darat dengan ojek hingga Dusun Rogdok, lalu sekitar 2 jam perjalanan menyusuri Sungai Rereiket dengan pompong.
Uma Aman Laulau termasuk yang terbesar di Buttui dan menjadi pusat kegiatan adat suku Salakirat, termasuk punen (pesta adat). Panjang rumah panggung itu sekitar 30 meter dengan lebar 12 meter. Tiang, dinding, dan lantainya berbahan kayu, sedangkan atap dari anyaman daun sagu.
Di langit-langit dekat pintu masuk, tergantung puluhan tengkorak ternak babi. Sementara itu, di langit-langit tengah rumah tergantung puluhan tengkorak babi hutan, monyet, rusa, dan hewan buruan lainnya. Di ruang tengah, terdapat abut kerei, perapian tempat memasak ketika acara adat.
Tidak hanya pengobatan, masyarakat adat Mentawai juga berdikari secara pangan. Masyarakat adat tetap menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Setiap keluarga punya ladang sagu. Adapun lauknya bisa didapat dari menangguk ikan, berburu monyet dan babi hutan, ataupun beternak ayam dan babi.
Harmonisnya kehidupan masyarakat adat tak terlepas dari keteguhan dalam memegang Arat Sabulungan, yang berarti kepercayaan pada sekumpulan dedaunan yang dianggap mewakili kekuatan gaib. Kepercayaan lokal ini mengatur keselarasan hidup antara manusia dan alam.
”Sumber kehidupan masyarakat Mentawai ada di hutan,” kata Tarida Hernawati, antropolog yang bekerja di Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Jumat (5/8/2022). Oleh sebab itu, masyarakat adat Mentawai sangat menjaga kelestarian hutan mereka.
Keteguhan warga hidup selaras dengan alam dan mempertahankan adat dan kepercayaan itu mendapat penghormatan. Pada 2017, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menobatkannya sebagai desa terbaik kategori desa adat pada Desa Madobag.
Baca juga: Mentawai Targetkan Rp 8 Miliar dari Wisata
Warga pun mendapat manfaat dari kegiatan wisata minat khusus di desa itu. Uma Aman Laulau, misalnya, rutin dikunjungi wisatawan, terutama mancanegara. Pengunjung menginap di uma nan asri dan melihat langsung kehidupan keluarga sikerei. Kegiatan sikerei mengolah sagu, mencari dan meramu obat, berburu dengan panah, tarian adat, berladang, hingga ibu-ibu menangguk ikan jadi paket wisata menarik.
”Kami senang Madobag jadi desa wisata. Adat dan kepercayaan tetap berjalan, ekonomi keluarga terbantu,” kata Aman Laulau, yang bisa menerima empat grup wisatawan dalam sebulan.
Aman Gebak Kunen (73), sikerei di Dusun Madobag, Desa Madobag, mengatakan, wisatawan sering berkunjung dan menginap di umanya. Itu relatif membantu perekonomian para sikerei.
Tidak hanya keluarga sikerei, dampak ekonomi juga dirasakan warga lainnya. Susanna Sabaggea (45), misalnya, turut menikmati melalui usaha penginapan Rereiket Simaeru di Dusun Madobag sejak 2014. ”Sangat membantu kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak,” katanya.
Perjuangan
Kesetiaan itu bukannya tanpa halangan. Arat Sabulungan sempat dilarang pemerintah pada 1954. Eksistensi para sikerei diberangus. Pemerintah melarang tradisi menato tubuh, memanjangkan rambut bagi laki-laki, dan meruncingkan gigi. Alat-alat kebudayaan dibakar, sikerei dipaksa menggunakan celana, rambut digunting, dan sebagainya. Mereka juga dijauhkan dari hutan.
Dalam perspektif pemerintah waktu itu, kata Tarida, masyarakat adat Mentawai dengan kepercayaan asli mereka dianggap primitif. Rapat Tiga Agama pada 1954 menghasilkan keputusan bahwa orang Mentawai harus meninggalkan Arat Sabulungan dan memilih salah satu agama yang diakui pemerintah.
”Tekanan, ancaman, dan pemaksaan itu berlangsung terus-menerus hingga pengujung tahun 1970-an,” tulis Mulhadi dalam artikel ”Kepercayaan Tradisional ’Arat Sabulungan’ dan Penghapusannya di Mentawai”, dalam Jurnal Equality Volume 13 Nomor 1 Februari 2008.
Baca juga: Gubernur Sumbar Diminta Ikut Perjuangkan Masyarakat Adat Mentawai dari UU Sumbar
Keluarga Aman Laulau juga sempat mengalami situasi sulit itu. Diperkirakan pada 1970, polisi membakar semua peralatan sikerei di sejumlah dusun di Desa Muntei dan Desa Madobag. Bahkan, satu rumah di Desa Matotonan juga dibakar.
”Semua alat-alat sikerei habis, rumah dibakar. Tengkorak monyet dan babi hasil buruan habis. Rambut sikerei dipotong. Kalung diambil polisi,” kata Aman Laulau. Warga hidup dalam ketakutan. Polisi masuk perkampungan dan menembakkan pistol ke udara. Uma-uma digeledah. Sebagian sikerei dibawa ke Muara Siberut untuk mengambil pohon bakau dan membersihkan kantor polisi.
Aman Gebak Kunen mengatakan, warga Dusun Madobag juga mengalaminya. Polisi membakar peralatan sikerei, seperti luat, tuddak, ngalou (kalung manik), salipak (kotak perkakas sikerei), dan jejeneng (kentungan). Sikerei tak bisa melawan karena diancam diangkut ke Muara Siberut.
Orangtua Aman Gebak Kunen, yang juga sikerei, terpaksa menyembunyikan peralatan mereka di dalam sebuah pondok di hutan. Ritual adat dilakukan sembunyi-sembunyi. Setelah punen, alat-alat kembali disimpan.
Arus balik mulai terjadi sejak tahun 1980-an. Turis asing mulai berdatangan karena terpesona dengan laporan para antropolog Barat, seperti Reimar Schefold yang menulis tentang ”keaslian” orang Sakuddei yang tinggal di hulu Sungai Sagulubbe. Mereka lari dari Sungai Rereiket karena menolak meninggalkan kerei (sikerei) dan Arat Sabulungan(Kompas, 7/5/2016).
Menurut Aman Gebak Kunen, kondisi mulai reda sekitar 1980. Saat itulah, ia memberanikan diri menjadi sikerei pada usia 35 tahun dan ditato. Sikerei muda kembali bermunculan. Walakin, Arat Sabulungan dan sikerei hanya tersisa di Pulau Siberut, sedangkan di Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan telanjur punah.
Meskipun pelarangan mulai kendur, kata Aman Laulau, rasa waswas masih menghantui. Jalan mulai terbuka saat ia berkenalan dengan warga Kanada Charles Lindsay, fotografer GEO Magazine, Jerman. Charles meyakinkan dan membantu Aman Laulau untuk bertemu Gubernur Sumbar Hasan Basri Durin di Padang, 31 Maret 1988, dan mengutarakan keresahan para sikerei.
Gubernur yang tersentak mendengar cerita Aman Laulau bersurat kepada Bupati Padang Pariaman—waktu itu Mentawai masih bagian dari kabupaten tersebut.
”Dalam hal ini yang perlu disampaikan adalah bahwa masyarakat Mentawai tidak dilarang hidup menurut norma-norma dan tradisi asli mereka, dan usaha memajukan mereka agar lebih banyak bersifat persuasif,” demikian bunyi surat Gubernur Hasan kepada Bupati pada 31 Maret 1988, yang masih disimpan Aman Laulau.
”Masyarakat Mentawai kembali merasa merdeka, sampai Sagulubbek (Siberut Barat Daya), Simatalu (Siberut Barat), dan lainnya. Mereka senang. Sikerei-sikerei muda bermunculan. Kami juga bebas menampilkan kesenian dan kebudayaan Mentawai ke luar daerah,” ujar Aman Laulau.
Baca juga: Pengalaman "Kompas" Meliput di Pedalaman Pulau Siberut, Mentawai
Sejak saat itu, masyarakat adat bisa kembali hidup berdikari sesuai ajaran leluhur. Selain hidup selaras dengan alam, mempertahankan adat dan kepercayaan. Tradisi itu justru mendatangkan turis.
Akan tetapi tak dapat dimungkiri, belum semua warga merasakan dampak pariwisata. Sebab, pengelolaan wisata belum optimal. Selain itu, akses jalan desa dan sinyal telepon masih sulit, begitu pula listrik hanya ada pukul 17.00-00.00.
Masyarakat Mentawai kembali merasa merdeka, sampai Sagulubbek, Simatalu, dan lainnya. Mereka senang. Sikerei-sikerei muda bermunculan. Kami juga bebas menampilkan kesenian dan kebudayaan Mentawai ke luar daerah. (Aman Laulau)
Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kepulauan Mentawai Joni Anwar mengatakan, Desa Madobag menjadi satu dari empat desa yang dikembangkan menjadi desa wisata. ”Kami tetap konsisten mengembangkan Madobag sebagai kawasan wisata alam dan budaya dengan mempertahankan nilai-nilai lokal,” katanya.
Namun, pandemi Covid-19 membuat upaya pengembangan, terutama pembangunan fisik, terhambat. Upaya itu digenjot kembali tahun ini, salah satunya dengan membantu pengelolaan uma-uma menjadi penginapan sesuai standar sanitasi dan kesehatan dengan dana tanggung jawab sosial perusahaan.
Selain itu, dinas juga memberikan pelatihan kepada kelompok sadar wisata. Mereka diharapkan bisa menyediakan paket-paket wisata menarik.
Perlindungan negara
Menurut Tarida, desa adat memang berpotensi untuk kegiatan pariwisata minat khusus. Namun, peta jalan harus dibuat agar potensi desa adat terkelola baik.
”Kalau dikelola dengan baik, selain menjaga adat dan budaya, juga bisa mendatangkan kesejahteraan bagi warga lain di sekitarnya, tidak hanya bagi sikerei dan keluarga,” katanya.
Tarida juga mendorong pengakuan negara atas Arat Sabulungan. Harus ada penegasan bahwa kepercayaan asli masyarakat adat Mentawai itu juga bagian dari aliran kepercayaan.
Selain itu, interaksi dengan orang luar berisiko menggerus kebudayaan mereka. Sebagian besar sikerei, terutama di kawasan pesisir, mulai menghilang dan enggan menggunakan kabit karena warga luar, secara sadar atau tidak, masih memandang mereka terbelakang dan tidak sopan.
Ancaman itu ditakutkan merambat ke pedalaman seiring dengan akses yang semakin terbuka. Kebijakan yang melindungi nilai dan identitas masyarakat adat dibutuhkan, sebab keaslian nilai desa adatlah yang menjadi daya tarik pengunjung, baik wisatawan maupun peneliti.
Sebagai pusat kebudayaan Mentawai, pedalaman Siberut, termasuk Desa Madobag, juga mesti dilindungi dari eksploitasi hutan. Saat ini, kata Tarida, Madobag adalah satu dari lima desa di Siberut yang diincar oleh perusahaan kayu.
Eksploitasi hutan, sebut Tarida, bakal mengusik kemerdekaan dan merusak tatanan hidup masyarakat adat yang bergantung pada hutan, baik secara ekonomi maupun spiritual. ”Kalau memang itu jadi pusat budaya, hentikan juga eksploitasi, amankan wilayah itu dari incaran korporasi. Perusahaan masuk, hutan dan budaya habis,” ujarnya.
Baca juga: Keresahan di Tengah Hutan Siberut
Aman Laulau sudah mendengar informasi akan masuknya perusahaan kayu ke Desa Madobag. Keluarganya bakal menolak dan melawan jika itu terjadi. Ini senada dengan kata Aman Lepon, ”Semua obat sikerei ada di hutan, tidak di botol seperti di puskesmas. Kalau ada traktor hendak rusak semuanya, sikerei yang susah, tidak bisa ambil obat.”
Karena, kemerdekaan bagi mereka adalah saat kehidupan yang selaras dengan alam itu terpelihara.