Pengalaman "Kompas" Meliput di Pedalaman Pulau Siberut Mentawai
Setelah empat hari mengikuti prosesi Lia Bubuk Uma atau pesta perbaikan atap rumah orang Mentawai di Dusun Puro, Desa Muara Siberut, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kami melanjutkan perjalanan ke pedalaman pulau Siberut. Bukan dengan mobil atau sepeda motor, melainkan kapal pompong selama lebih dari 3,5 jam.
Dusun Puro adalah dusun kecil, sekitar 15 kilometer dari Muara Siberut, pusat kecamatan Siberut Selatan. Siberut Selatan adalah satu dari sepuluh kecamatan di Kepulauan Mentawai, sekitar 3,5 jam perjalan dari Padang menggunakan kapal cepat atau 12 jam menggunakan kapal ferry.
Selama di Puro, saya meliput prosesi Lia Bubuk Uma atau pesta perbaikan atap rumah tradisional Mentawai. Liputan ini merupakan bagian dari Journalist Trip dalam Usaha Penyelamatan Hutan Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai dan ekspansi Hutan Tanaman Industri. Journalist Trip itu diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional bekerjasama dengan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), yayasan yang mendampingi dan mengadvokasi hak-hak masyarakat Mentawai.
Lia Bubuk Uma diselenggarakan sebagai bentuk penghormatan kepada roh penguasa hutan sebab bahan membuat uma diambil dari hutan. Ritual itu diselenggarakan untuk menetralisir energi negatif dalam uma akibat pemakaian kayu yang diambil dari hutan.
Selain pesta untuk perbaikan atap rumah tradisional, pada Lia Bubuk Uma juga diselenggarakan pesta sebagai bentuk permintaan maaf menyusul ditebang kirekat atau prasasti bagi saudara dan anak pemimpin kepala Suku Sabulukkungan Daniel Toggilat Sabulukkungan (70).
Prasasti itu berupa pohon durian berusia puluhan tahun yang ditebang tanpa izin untuk pembangunan jalur Trans Mentawai. Dalam budaya orang Mentawai di Siberut, pohon yang menjadi kirekat tak boleh ditebang.
“Saya sebenarnya ingin membalas dendam. Membunuh orang yang telah menebang pohon kirekat keluarga saya. Menebang pohon itu tanpa izin sama saja dengan membunuh mereka kedua kalinya. Tapi saya menahan diri karena saya tahu negara ini punya hukum,” kata Daniel, Senin (27/11) lalu.
Maka selama empat hari, wartawan termasuk saya bisa melihat serangkaian kegiatan dalam prosesi Lia Buluk Uma. Kegiatan itu antara lain mengambil sagu, mencari daun pameruk atau daun untuk penyucian uma bersama Sikerei atau tokoh spiritual Mentawai, hingga prosesi magri simeruk dan magri sikatai.
Sagu diambil di sebuah hutan, sekitar dua kilometer dari perkampungan tersebut. Meski dekat, namun lokasinya harus ditempuh dengan menggunakan perahu pompong karena berada di seberang sungai. Saya memutuskan ikut kesana karena memang sudah lama penasaran bagaimana proses pengambilan sagu.
Meski jaraknya dekat dan arus sungai tidak begitu deras, namun menaiki perahu pompong yang lebarnya sekitar 50 sentimeter cukup memacu adrenalin. Apalagi jika perahu itu bergoyang ke kiri dan ke kanan, seolah-olah akan terbalik. Belum lagi sungai tersebut, menurut warga, cukup dalam.
Proses mengambil sagu rupanya cukup panjang (baca :Sagu yang Menjaga Pangan Siberut ).Pohon sagu yang boleh diambil biasanya yang berusia 15 tahun. Kalau kurang dari itu, belum berisi sagu, sedangkan kalau sudah lewat biasanya tidak bisa diambil lagi.
Pohon sagu itu kemudian ditebang, lalu dipotong pada ukuran satu meter. Kulitnya dikelupas sebagian dan dijadikan alas. Setelah itu, dua warga yang mengambil sagu menggunakan alat serupa parut yang ditarik maju mundur sehingga mengeluarkan serbuk. Serbuk itu kemudian dikumpulkan, lalu dibawa ke sebuah alat untuk memeras sagu sehingga mendapat saripati yang diambil.
Setelah mendapat saripati, sagu tidak langsung bisa diolah untuk dijadikan makanan terutama pengganti nasi atau penganan ringan. Melainkan dijemur terlebih dahulu hingga kering.
Jika mengambil sagu harus menyebrang sungai, mencari daun pameruk bersama Sikerei cukup di hutan belakang perkampungan tersebut. Meski demikian, ternyata melelahkan karena harus mendaki bukit. Kami beberapa kali harus berhenti mengambil nafas. Berbeda dengan Sikerei yang jalannya sangat cepat melewati semak belukar untuk mencari daun untuk Magri Simeruk dan Sikataik.
Magri simeruk adalah bagian dari ritual penyucian badan uma dan anggota uma serta menjaga keselamatan uma menggunakan air yang telah didoakan. Sedangkan Margi Sikatai berfungsi mengusir roh jahat yang masuk ke uma karena pemakaian kayu atau dedaunan yang diambil dari hutan. Di dua prosesi ini, saya juga ikut mendapat percikan air yang dilakukan oleh sikerei.
Dalam kesempatan itu, saya punya waktu lebih banyak untuk mengobrol dengan sikerei. Tentu untuk mengobrol dengan Sikerai, saya harus didampingi oleh teman dari YCMM yang memang asli Mentawai. Para Sikerei memang ada yang bisa berhasa Indonesia, tetapi tidak lancar.
Sebenarnya, liputan di Puro masih terbilang mudah karena masih dekat dengan pusat kecamatan. Lokasinya masih bisa ditempuh dengan perjalanan darat menggunakan sepeda motor, mobil, atau becak motor. Dalam kegiatan bersama Walhi Nasional itu, perjalanan menggunakan perahu melewati sungai hanya kami lakukan ketika menuju hutan sagu. Itu pun kurang dari sepuluh menit. Sementara berjalan kaki adalah ketika menuju hutan milik Pak Daniel.
Pedalaman Siberut
Perjalanan melewati jalur sungai sesungguhnya adalah ketika menuju Dusun Bekkeiluk, Desa Muntei, Siberut Selatan. Berbeda dengan sebelumnya saat bersama Walhi Nasional, perjalan berikutnya bersama Kemitraan. Jadi sejak 25-28 November saya bersama Walhi Nasional, lalu dari 28 November – 2 Desember bersama Kemitraan. Wartawan yang ikut juga berbeda.
Secara umum, program keduanya sangat berbeda. Walhi Nasional fokus ke persoalan hutan Siberut, sedangkan Kemitraan lebih ke kunjungan media untuk melihat program mereka berupa kegiatan pemberdayaan terhadap masyarakat di pedalaman Siberut. Tetapi apapun itu, bagi saya pribadi tidak soal. Liputan ke Mentawai selalu menyenangkan.
Di Sumbar, bagi sebagian besar wartawan, meliput ke Mentawai itu memang sesuatu yang langka. Maka banyak di antara mereka yang seringkali tidak ingin melewatkan kesempatan jika ada undangan kesana. Saya sendiri, sudah beberapa kali ke Mentawai dengan agedan liputan yang berbeda. Sebelumnya, saya ke Mentawai dalam rangka melihat perkampungan korban Tsunami Mentawai di Pulau Pagai Selatan, mengejar gerhana matahari total, dan bersama tim dari Dana Kemanusiaan Kompas menyerahkan puluhan ribu buku untuk perpustakaan-perpustakaan di Mentawai.
Balik ke cerita ke Bekkeiluk. Untuk mencapai dusun itu pada Rabu (29/11), saya bersama beberapa orang termasuk di dalamnya dua wartawan, satu orang dari Kemitraan dan satu lagi dari YCMM memang harus menggunakan perahu bermotor (pompong) sepanjang sepuluh meter dan lebar satu setengah meter. Kami berangkat sekitar pukul 15.00 WIB.
Pada pukul 16.41 WIB, hujan deras turun. Beruntung, kami sudah mengantisipasinya sejak awal yakni mengenakan jas hujan beberapa belas menit sebelumnya ketika melihat langit yang semakin mendung.
Hujan membuat saya sedikit cemas. Selain kekhawatiran mesin mati, perahu terbalik, atau bertabrakan dengan perahu dari arah berlawanan, saya khawatir hujan akan memicu air bah dari hulu. Apalagi sepanjang tahun 2017, bebarapa kali dilaporkan air sungai di Siberut meluap dan mengakibatkan banjir.
Beruntung, kekhawatiran saya itu tidak terjadi. Pengemudi pompong yang telah berpengalaman, membuat kami bisa menjangkau Bekkeiluk sebelum magrib. Saat tiba, kami disambut anak-anak yang tengah asyik bermain di tepi sungai. Setelah menyapa mereka, kami langsung ke penginapan. Bukan penginapan hotel atau sejenisnya, melainkan rumah warga. Rombongan di pisah. Rombongan perempuan tinggal di rumah bidan setempat, sementara laki-laki termasuk saya tinggal di rumah kepala dusun.
Melintasi banjir
Selain mengikuti kegiatan Kemitraan, saya juga menyiapkan beberapa liputan lain tentang kehidupan sosial budaya masyarakat di Bekkeiluk. Salah satunya mengikuti anak-anak di sana yang akan berangkat sekolah.
Saya ingat, pagi itu mendung. Sehari sebelumnya hujan. Ada kekhawatiran kalau terjadi banjir di salah satu titik menuju sekolah. Tapi anak-anak di Bekkeiluk tetap berangkat. Saya bersama dua orang wartawan lain mengikuti mereka.
Sebenarnya mereka bisa menggunakan jalur sungai. Tetapi mereka mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan untuk beli bensin. Jadi jalan kaki melintasi jalur setepak dipilih.
Awalnya perjalanan lancar meski harus tetap berhati-hati karena melewati semak belukar dan jalanan sempit yang licin. Tetapi setelah hampir satu jam perjalanan, tiba-tiba kami dihadapkan pada banjir setinggi 40 sentimeter. Awalnya kami ragu untuk melanjutkan, bahkan meminta anak-anak itu untuk balik kanan.
Alih-alih mendengar usul kami, anak-anak itu justru terus berjalan melintasi banjir. Mereka mengangkat tas ke tas kepala kemudian berjalan pelan-pelan. Kami mau tidak mau harus ikut berjalan juga. Kalau tidak, pasti ketinggalan. Kami ikut basah, meski hanya bagian celana. Sementara baju tidak sampai basah.
“Kalau hujan, tidak hanya saat berangkat, pulang juga banjir,” kata Martina Sagulu (12), salah satu dari mereka.
Di Bekkeiluk memang ada sekolah. Tetapi hanya sekolah dasar sampai kelas tiga. Jadi, untuk melanjutkan ke kelas berikutnya, anak-anak di sana harus ke dusun lain yakni Dusun Salappak, sekitar 1,5 jam perjalana darat atau 30 menit perjalanan sungai dari Bekkeiluk. Setelah lulus SD, mereka harus ke pusat kecamatan yakni di Muara Siberut untuk melanjutkan ke SMP. Sungguh berat.
Tapi dari perjuangan itu, saya melihat bagaimana antusiasme anak-anak dan orang tua mereka untuk mengenyam pendidikan. Mereka seperti saling bekerjasama untuk meraih itu dengan harapan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
”Sebagai orangtua, kami sudah menyadari arti pendidikan. Kami sangat mendukung pendidikan anak kami. Berbeda dengan orangtua kami yang dulu tidak mendukung karena belum mengerti. Apalagi saat itu, belum ada SMP dan SMA sehingga harus ke Padang. Belum lagi biaya mahal untuk sekolah, asrama, dan transportasi,” kata Anjelo Sapeae (50), warga Bekkeiluk yang salah satu anaknya mendapat beasiswa dan baru menyelesaikan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Tanpa sinyal
Jika di pusat kecamatan yakni Muara Siberut saja susah mendapatkan sinyal, maka jangan tanya bagaimana di pedalaman Mentawai seperti Bekkeiluk. Tidak ada sinyal sama sekali. Maka sebagus apapun ponsel pintar yang kami bawa, ujung-ujungnya hanya untuk mendengarkan musik atau mengambil foto serta video.
Itu pun harus hemat-hemat karena di sana juga belum tersentuh aliran listrik. Jika ingin mengecas, harus menunggu jenset dulu. Itu pun kalau ada bensin yang tersedia.
Warga Bekkeiluk sebenarnya ada yang punya gawai. Tetapi seperti saya sebut sebelumnya, mereka juga gunakan untuk mendengarkan musik. Jika ingin menelpon, solusinya adalah pergi ke pusat kecamatan dengan perahu selama 3,5 jam. Itu pun tidak mudah dan penuh pertimbangan. Selain memikirkan ongkos pulang pergi yang bisa mencapai Rp 200.000, mereka juga harus menyiapkan ongkos untuk makan dan menginap selama di Muara Siberut. Mereka harus menginap karena jarang ada yang langsung balik ke Bekkeiluk.
Kondisi itu memang tidak hanya terjadi di Bekkeiluk, tetapi menjadi masalah utama di Mentawai. Sejauh ini, sebagian besar wilayah di Mentawai baik di Kepulauan Siberut, Kepulauan Sipora, dan Pagai belum tersentuh jaringan komunikasi. Persoalan komunikasi merupakan satu dari persoalan yang dihadapi wilayah terluar. Selain itu, aksesibilitas juga sangat buruk.
Itulah yang membuat saya juga kemudian menulis tentang kondisi jaringan komunikasi di Siberut. Saya merasakan langsung bagaimana beratnya kehilangan akses dari dunia luar karena di pojok kanan atas layar ponsel hanya tertulis “tanpa layanan”. Jika dibandingkan saya yang hanya beberapa hari di sana, tentu apa yang dirasakan masyarakat setempat jauh lebih berat.
Maka, ketika meliput tentang masalah jaringan komunikasi ini, masyarakat sangat antusias. Mereka begitu terbuka menceritakan bagaimana beratnya harus ke pusat kecamatan. Ketika di Puro, saya juga bertemu warga dari daerah lain yang menceritakan bahwa mereka bahkan harus naik bukit untuk mencari sinyal.
Mencicipi ulat sagu
Meliput ke Bekkeiluk juga memberikan pengalaman tak terlupakan yakni mencicipi ulat sagu hidup-hidup. Mencari ulat sagu sebenarnya tidak ada di agenda. Tetapi pada Rabu (30/11), warga mengajak kami mencari ulat sagu.
Di Mentawai, selain untuk pangan, bagian-bagian pohon sagu bisa digunakan, seperti akar untuk obat, batang untuk makanan ternak, kulit kayu untuk bahan bakar, dan daun untuk atap. Sagu juga menjadi alat tukar. Saat akan pesta, sagu bisa ditukar dengan babi atau ayam.
Sagu bahkan menjadi bagian maskawin. Pengantin laki-laki biasanya menyerahkan sepuluh rumpun sagu dalam satu bidang sebagai maskawin. ”Penggunaan sagu sebagai maskawin menjadi tanda betapa berharganya sagu bagi kami,” kata salah satu warga.
Selain itu, pohon sagu tua yang ditebang juga menjadi tempat masyarakat mencari ulat sagu untuk lauk. Ulat sagu biasanya direbus untuk dimakan bersama sagu.
Untuk mencari ulat sagu, kami harus berjalan kaki ke dalam hutan. Itu tidak mudah karena kami harus berhati-hati mengingat jalur yang dilewati adalah rawa. Saya beberapa kali salah memijak sehingga kaki saya masuk ke dalam rawa yang cukup dalam.
Begitu tiba di lokasi, warga menggunakan kapak langsung membelah batang pohon sagu yang telah lama ditebang. Setelah itu, di antara sagu-sagu yang telah membusuk dan lapuk, mereka mencari ulat menggunakan tangan.
Saat mendapatkan sagu, alih-alih memasukkan ke wadah, warga membersihkan kemudian langsung memasukkan ke mulut dan mengunyahnya. Hal itu diikuti warga lain, termasuk anak-anak. Salah satu orang dari rombongan saya juga ikut mencoba. “Cobalah, rasanya seperti kacang,” ucapnya sambil mengunyah.
Tidak mau ketinggalan, saya memberanikan diri. Saya mengambil seekor ulat sagu yang masih hidup. Terasa ulat berwarna putih itu menggeliat di tangan saya. Lalu pelan-pelan saya memasukkan ke mulut dan mulai menguyah. Saat ulat itu pecah di mulut, saya berseru, “Iya, rasanya seperti kacang,”.
Melihat berbagai kondisi yang serba terbatas, mungkin banyak orang yang akan menolak ditugaskan ke Mentawai. Tapi bagi saya, itu menjadi tantangan. Saya belajar banyak bagaimana orang-orang di sana tetap semangat dengan segala keterbatasan itu dan menolak untuk menyerah. Hal terpenting, saya belajar untuk terus bersyukur atas apa yang dengan mudah saya dapatkan : kemudahan akses dan jaringan komunikasi yang lancar.