Jauh sebelum republik berdiri, warga di Sepaku sudah menjalani laku merdeka, yakni bebas dari sifat menjajah. Mereka terbuka dan hidup damai. Hadirnya ibu kota negara menjadi babak baru bagi hidup mereka.
Oleh
SUCIPTO
·6 menit baca
Tahun 2024, pemerintah berencana menggelar upacara hari kemerdekaan di Ibu Kota Negara Nusantara di Sepaku, Kalimantan Timur. Namun, jauh sebelum republik ini berdiri, warga di sana sudah menjalani laku merdeka, yakni bebas dari sifat menjajah. Mereka membuka diri dan menjauhkan diri dari konflik horizontal.
Suku Balik, salah satu suku asli di sekitar IKN Nusantara, dikenal sebagai sekelompok orang yang senang menyepi. Mereka lebih memilih menjauh dari kerumunan dan keramaian, masuk ke dalam hutan untuk mencari penghidupan, menghindari tiran, serta hidup komunal di hutan tak bertuan.
Dari kisah turun-temurun, leluhur mereka cenderung bersikap diam dan menjauhi konflik. ”Jati diri suku Balik itu kebaikan, bukan keburukan,” ujar Sibukdin (59), Kepala Adat Suku Balik di Kelurahan Sepaku, di halaman rumahnya, Rabu (27/7/2022).
Salah satu versi menyebutkan, suku Balik adalah salah satu kelompok asli yang mendiami kawasan Teluk Balikpapan, bagian barat Titik Nol IKN. Dalam legenda rakyat yang dimuat dalam buku 90 Tahun Kota Balikpapan, diperkirakan nama Kota Balikpapan diambil dari nama suku Balik yang mendiaminya. Adapun dalam situs resmi Pemkot Balikpapan (Balikpapan.go.id), nama Balikpapan ditaksir sudah ada sejak 1527.
Rumah yang Sibukdin tempati saat ini pun disebut sebagai kawasan Sepaku Lama lantaran tempat itu merupakan perkampungan awal di area yang saat ini masuk dalam Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Jati diri suku Balik itu kebaikan, bukan keburukan. ( Sibukdin)
Sejak 1970-an, kebiasaan hidup komunal di dalam hutan diperkirakan tak dilakukan lagi. Suku ini memilih tinggal di tepi-tepi sungai sebagai sumber air dan jalur transportasi karena hutan semakin menyempit. Kawasan hutan seluas 190.000 hektar saat itu sudah menjadi Hutan Tanaman Industri yang dikuasai perusahaan. Selain itu, Orde Baru juga mulai mematok lahan di perkampungan itu guna program transmigrasi.
Kendati demikian, mereka terbuka dengan pendatang yang sebagian besar merupakan transmigran dari Pulau Jawa. Bahkan, kini pernikahan antarsuku pun sudah terjadi dengan penduduk lokal, seperti suku Balik sendiri dan suku Paser.
”Kami terbuka dengan siapa saja dan menjunjung perdamaian. Mungkin itu juga salah satu pertimbangan kenapa IKN dipilih di sini. Sebab, minim sekali potensi konflik,” katanya.
Dari interaksi tersebut, terjadi tukar pikiran dan pengalaman. Salah satunya, tentang ilmu perkebunan. Dahulu, suku Balik mengandalkan ladang berpindah untuk bercocok tanam. Lantaran lahan semakin menyempit, kini nyaris semua suku Balik di Sepaku bertani di lahan yang sama. Mereka juga turut menanam sawit, komoditas yang banyak ditanam transmigran.
Pengetahuan mengelola tanaman di satu lahan mereka dapat dari obrolan sehari-hari dan praktik dengan berbagai pendatang. ”Saya ikut belajar bagaimana pemupukan hingga menjualnya. Dari transmigran dan pendatang,” ujar Sibukdin.
Begitu juga para pendatang, banyak mengambil inspirasi mengenai arsitektur masyarakat suku Balik saat awal-awal merintis lahan sebagai transmigran. Tukinem (80), salah satu generasi pertama transmigran di Sepaku, membangun rumah panggung agar terhindar dari binatang buas. Sejak 1977 merintis lahan di Sepaku, ia beberapa kali berpindah tempat. Ia melihat sebagian besar suku asli menetap di tepi sungai agar mudah mendapatkan air. Rumah mereka juga berupa rumah panggung.
”Dulu di sini bukit-bukit. Jadi, banyak lahan yang kena banjir. Jadi, kami juga bikin rumah-rumah panggung supaya ndak kena banjir,” ujar transmigran asal Pacitan, Jawa Timur, itu.
Para pendatang juga menggunakan cara suku asli untuk bepergian. Pada 1970-an, jalur darat di Sepaku amat buruk sehingga untuk menjual hasil panen atau berbelanja kebutuhan harian, warga di sana harus ke Kota Balikpapan dengan perahu melalui sungai dan Teluk Balikpapan. Hal itu sudah dilakukan Suku Balik dan Suku Paser yang menetap lebih dulu. Pengetahuan berlayar dan jalurnya pun sampai kini masih digunakan.
Seiring berjalannya waktu, kini Sepaku didominasi oleh warga pendatang dan transmigran. Jumlahnya sekitar 60 persen dari total populasi di kecamatan itu. Kendati demikian, tak pernah ada konflik di lahan yang semula ditempati suku Balik dan suku Paser tersebut.
Sikap saling terbuka dan menerima itu juga terpelihara hingga kini. Dalam berbagai perayaan hari besar, seperti 17 Agustus, warga menggelar berbagai lomba dan pertunjukan seni. Dalam pertunjukan seni itu, tak hanya kesenian suku Paser dan suku Balik yang ditampilkan. Di sana, Ronggeng Balik ditampilkan bergiliran dengan kesenian yang dibawa oleh transmigran, seperti reog, kuda lumping, dan wayang.
”Kalau 17-an, sebelum pandemi, di sini lengkap tradisinya. Saya juga nonton kuda lumping,” ujar Raniah (57), keturunan suku Paser di Desa Bumi Harapan.
Sekretaris Camat Sepaku Adi Kustaman menilai, keharmonisan tumbuh dengan sendiri. Kearifan lokal di sana membaur dengan nilai-nilai yang dibawa oleh transmigran dan pendatang lain.
”Saya ingat betul, pada 2017 ada tim peneliti dari pemerintah pusat yang mengkaji hal tersebut. Di sini dipilih sebagai kawasan inti ibu kota baru karena punya nilai keberagaman tinggi dan minim konflik,” kata Adi yang juga keturunan transmigran asal Jawa Barat.
Kondisi itu tak lepas dari nilai-nilai yang dimiliki suku Balik dan suku Paser yang sudah mendiami kawasan itu turun-temurun. Dalam tradisi suku Balik, misalnya segala sesuatu di dunia ini adalah pemberian Yang Maha Kuasa. Jika melukai, membohongi, atau merusak, mereka yakin akan mendapat tulah atau malapetaka.
”Sama binatang saja kita ndak boleh bohong. Kita ndak boleh merusak alam. Apalagi menyakiti manusia, bisa ketulahan,” ujar Sibukdin, yang memiliki menantu keturunan Jawa tersebut.
Setelah Sepaku ditetapkan sebagai ibu kota baru, jalan utama di sana yang sebelumnya penuh kubangan dan rusak kini sudah mulus. Peremajaan jalan dilakukan mulai akhir 2020. Kondisi itu memudahkan warga untuk menjual hasil panen ke luar daerah. Sejumlah harga bahan pangan juga jadi terjangkau karena ongkos angkut lebih murah.
Kini sejumlah pembangunan lain juga sudah dimulai untuk mendukung berdirinya IKN, seperti Intake Sepaku seluas 13 hektar, dan Bendungan Sepaku Semoi yang bakal menampung air 10 juta meter kubik. Pembangunan ini akan membawa perubahan pada warga yang kini tinggal di Sepaku. Namun, terselip kekhawatiran di hati mereka.
Di lapangan, puluhan rumah warga sudah dipatok karena masuk Kawasan Inti Pusat Pemerintahan IKN seluas 6.671 hektar. Belum lagi sejumlah infrastruktur pendukung sudah menggunakan lahan warga dengan mekanisme ganti rugi berupa uang.
Ketua Koordinator Tim Informasi dan Komunikasi Tim Transisi IKN Nusantara Sidik Pramono menjelaskan, pemerintah berkomitmen membangun IKN ini dengan baik. Kendatipun kelak ada tanah warga yang bakal digunakan, semua akan dijalankan sesuai mekanisme yang tertera dalam undang-undang.
”Tentu pemerintah menghargai kepemilikan dan penguasaan tanah yang ada di wilayah IKN Nusantara, terutama di titik pembangunan pertama, yakni KIPP,” katanya.
Kehadiran IKN kini menjadi babak baru bagi hidup warga lokal. Mereka berharap hadirnya IKN kian mempersatukan mereka dalam harmoni di Tanah Sepaku. Bukan sebaliknya menyisihkan mereka seperti yang dulu pernah mereka alami.