Pekerja Migran Indramayu Tempuh Jalur Non-Prosedural, Paspor Tidak Sesuai Identitas
Pemberangkatan non-prosedural pekerja migran Indonesia dengan pembuatan paspor tidak sesuai identitas masih menjadi masalah di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Pekerja migran pun dirugikan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
INDRAMAYU, KOMPAS — Pemberangkatan non-prosedural pekerja migran Indonesia dengan pembuatan paspor tidak sesuai identitas masih menjadi masalah di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Selain menyalahi aturan, penempatan non-prosedural itu juga merugikan pekerja migran.
”Memang, pembuatan paspor, (yang) rata-rata berangkat ke Timur Tengah, itu dari luar Indramayu. Mungkin ada makelarnya, calo,” Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Indramayu Akhmad Zaenuri, Rabu (3/8/2022), di Indramayu.
Zaenuri menuturkan, pekerja migran menyerahkan kepada calo untuk pembuatan paspor karena tidak tahu prosesnya dan tidak ingin repot. ”Kalau pekerja migran, tahunya berangkat saja. Uang paspor dipotong dari gajinya. Bahkan, yang ke Timur Tengah justru dikasih duit,” tuturnya.
Sebenarnya, sudah ada layanan terpadu satu atap untuk penempatan pekerja migran. Layanan itu menyediakan pembuatan paspor, data kependudukan, hingga izin dinas terkait. Akan tetapi, menurut Zaenuri, pekerja migran jatuh pada bujuk rayu calo melalui jalur non-prosedural.
Pemberangkatan tidak sesuai prosedur itu, misalnya, menuju Timur Tengah. Padahal, pemerintah masih menetapkan moratorium penempatan pekerja migran ke kawasan itu. Ketika pembuatan paspor, lanjutnya, alamat dan usia pekerja migran kerap diubah untuk mengelabui petugas.
”Padahal, identitas palsu di paspor itu merugikan mereka. Kalau ada masalah, nyari pekerja migrannya susah. Misalnya, orang Indramayu tetapi alamatnya di Jawa Timur,” ungkap Zaenuri. Akhirnya, upaya advokasi untuk pekerja migran terkendala karena identitasnya tidak jelas.
Problem yang dihadapi pekerja migran, antara lain, tidak digaji, mengalami kekerasan seksual, hingga meninggal. Oleh karena itu, Zaenuri mendorong pemerintah daerah hingga pusat menggencarkan sosialisasi hingga ke desa terkait pemberangkatan PMI sesuai prosedur.
”Aparat penegak hukum juga harus sering operasi untuk mencegah yang berangkat non-prosedural. Di medsos (media sosial) juga banyak tawaran pekerja migran ke Timur Tengah. Ini harus diawasi,” tuturnya. Terlebih lagi, Indramayu termasuk kantong PMI di Indonesia.
Pada 2019, sebanyak 23.360 warga setempat mengadu nasib di luar negeri. Namun, ketika pandemi Covid-19, jumlahnya anjlok menjadi 4.789 orang pada 2020 dan 1.252 orang tahun lalu. Ini belum termasuk jumlah pekerja migran yang tidak sesuai prosedur.
Kasus penempatan non-prosedural, antara lain, menimpa Ratna Erna Sari (20), warga Desa Sudimampir Lor, Kecamatan Balongan, Indramayu, Januari lalu. Ia meninggal dalam kecelakaan perahu cepat saat menyeberang lautan dari Pulau Terung, Kepri, ke Johor, Malaysia.
Tujuh orang dilaporkan selamat dan enam orang dinyatakan meninggal. Empat orang yang tewas di antaranya warga Indramayu. Selain Elma Febriani (24) dari Lelea dan Wader (42) dari Losarang, tercatat juga nama Ratna dan Milah.
Sunardi (49), paman Ratna, mengaku curiga dengan kepergian keponakannya ke Malaysia. ”Saya bilang, jangan berangkat kalau bisa. Cari yang aman-aman saja. Masak pasporan (mengurus paspor) sehari saja langsung terbang besoknya? Enggak mungkin itu. Ini pasti ilegal,” katanya, beberapa waktu lalu.