Kisah Pekerja Migran Menembus Negeri Jiran dengan Paspor ”Tembak”
Paspor ”tembak”, paspor yang dibuat tidak melalui prosedur resmi. Paspor ini disebut para pekerja migran bisa dibuat di Batam dan Nunukan untuk mempermudah mereka menembus masuk Malaysia.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·6 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Pelabuhan Tunon Taka di Nunukan menjadi tempat pelabuhan kepergian dan kepulangan pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur dari dan ke Malaysia.
Tidak mudah bagi seorang calon pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur untuk mendapatkan paspor dengan biaya normal sekitar Rp 300.000. Rata-rata calon ataupun yang telah menjadi pekerja migran menyatakan memperoleh paspor dengan sistem ”tembak”. Mereka membayar Rp 5 juta–Rp 10 juta per paspor yang diproses di Batam, Kepulauan Riau, atau Nunukan, Kalimantan Utara.
Kisah tentang paspor ”tembak” ini, antara lain, diutarakan oleh Viktor Mat (28), warga Adonara, Flores Timur, NTT, yang kini masih berupaya mendapatkan paspor di Batam. Semangatnya untuk berangkat ke Malaysia begitu tinggi meski kedua orangtua dan keluarga besar Viktor melarang. Kesulitan ekonomi mendorong dirinya harus mencari uang untuk membiayai hidup istri dan seorang anak yang tengah beranjak dewasa.
Ia pernah mencoba mengurus paspor di Kantor Keimigrasian Kupang, tetapi tidak berhasil. Ia sebelumnya telah memiliki paspor saat berangkat ke Malaysia pada tahun 2015, sesuai data yang terekam secara daring di kantor keimigrasian.
”Orangtua minta pulang ke Adonara karena memproses paspor baru di Kupang cukup sulit. Petugas imigrasi minta paspor lama yang sudah kedaluwarsa atau surat keterangan polisi mengenai kepemilikan paspor lama tadi. Tetapi, polisi bakal menanyakan tujuan pembuatan paspor. Jika dijawab ke Malaysia, polisi akan menangkap dan menahan saya,” kata Viktor, Minggu (24/7/2022), di Kupang.
Saya ke Malaysia agar bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak guna membantu mama dan lima adik yang masih kecil. ( Markus Manek)
Paspor milik Viktor hilang saat ia berada di perkebunan kelapa sawit di Malaysia tahun 2017. Saat pulang ke NTT, ia harus menyelinap secara ilegal dari Tawao ke Nunukan. Ia menempuh jalur ”tikus” dengan bantuan calo untuk sampai di Nunukan. Jalur ini penuh risiko, antara hidup dan mati. ”Sepanjang jalan, kami hanya doa agar tiba dengan selamat di tempat tujuan,” kata Viktor mengenang pengalamannya.
Paspor "tembak" milik salah satu calon PMI asal NTT di Batam. Paspor ini diperoleh dengan biaya Rp 7 juta per paspor dengan masa berlaku dua tahun. Calon PMI itu harus menyeberang ke Tanjung Pinang untuk foto diri guna mendapatkan paspor ini.
Akan tetapi, memperoleh paspor tembak juga tidak mudah. ”Tetapi, ini satu-satunya peluang bisa pergi ke luar negeri, sekaligus beban. Tidak hanya soal biaya paspor, tetapi ke sana kemari mencari informasi soal itu mulai dari sesama rekan calon pekerja migran, menemui para calo paspor dan calo perjalanan kapal laut, serta cara mendapatkan paspor dan jalan yang aman menuju Malaysia,” katanya.
Kini, 20 orang dari 25 rekan Viktor dari Adonara sudah berada di Johor Bahru, Malaysia, melalui jalur laut dengan menggunakan paspor ”tembak”. Mereka mendapatkan paspor itu dengan harga Rp 8 juta per paspor. Sisa lima orang, termasuk Viktor, yang kini telah menyusul ke Batam karena kesulitan memenuhi tuntutan biaya untuk masuk negeri tetangga Indonesia tersebut.
Viktor dan empat rekannya membawa uang masing-masing Rp 9 juta dengan Rp 8 juta di antaranya dipersiapkan untuk biaya proses paspor ”tembak” di Batam dan Rp 1 juta untuk biaya perjalanan dari Larantuka-Batam. Kini, demi menyambung hidup dan menunggu peluang menyelinap ke Malaysia tiba, Viktor dan keempat rekannya bekerja serabutan di Batam.
Jaminan atas pinjaman di kampung asal berupa sebidang tanah di desa mereka. Ia harus melunasi utang itu tepat waktu, satu tahun kemudian, guna mendapatkan kembali sebidang tanah tersebut. Menurut dia, memang seperti itulah sistem meminjam uang yang berlaku di sebagian wilayah Adonara.
Begitu nanti tiba di Malaysia, mereka akan langsung mendapatkan pekerjaan dengan bantuan sesama rekan dari kampung asal yang sudah lebih dulu berada di Malaysia. Komunikasi di antara mereka dibangun sebelum keberangkatan. Rasa senasib dan sependeritaan sebagai kelompok warga miskin di kampung asal menyatukan mereka.
Salah satu keluarga miskin di Desa Tuamese, Senin (20/2/2021). Perempuan ini memiliki dua anak. Mereka tinggal bersama orangtua perempuan ini, sementara suaminya merantau di Malaysia untuk mencari nafkah. Padahal,, sumber daya alam di desa itu cukup tersedia.
Lain dengan kisah Hendrik Boli (20), warga Desa Mingar, Kabupaten Lembata. Ia dipulangkan dari Tawau, Malaysia, melalui Nunukan, Kamis (21/7/2022). Boli bersama 278 PMI ilegal asal Indonesia dideportasi melalui Nunukan oleh Pemerintah Malaysia.
”Saya masuk Malaysia melalui Nunukan, Januari 2021, secara ilegal. Begitu tiba di Tawau, kami langsung ditangkap. Kami sempat dipenjarakan selama enam bulan, sebelum dipulangkan ke Indonesia, melalui Nunukan. Di Nunukan, teman-teman ajak kembali ke Malaysia setelah mengurus paspor tembak di Nunukan. Tetapi, polisi di Nunukan tidak ingin kami berlama-lama di sana,” kata Hendrik saat dihubungi via telepon.
Lulusan kelas V SD ini pun mengaku sedang siap-siap kembali ke Lembata dengan kapal laut. Setelah tiba di Lembata, ia berniat kembali lagi ke Malaysia melalui Batam. ”Saya akan pinjam uang saudara untuk buat paspor tembak melalui calo di Batam,” katanya.
Hendrik adalah anak pertama dari pasangan Nela (42) dan Sarul (almarhum). Sarul meninggal di Malaysia Timur karena sakit jantung dan jenazah Sarul dipulangkan Agustus 2021. Nela seorang ibu rumah tangga dengan enam anak.
”Saya ke Malaysia agar bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak guna membantu mama dan lima adik yang masih kecil. Kami berenam tidak sampai SMA. Hanya satu adik sempat lulus sekolah dasar. Ayah meninggal Agustus 2021 di Malaysia, mama saya sakit-sakitan,” katanya.
Salah satu peti jenazah pekerja migran ilegal asal Kodi, Sumba Barat Daya, yang datang di Bandara El Tari, Kupang, Minggu (17/6/2018). Setiap bulan, 1-5 pekerja migran ilegal asal NTT meninggal di luar negeri. Januari 2020 sudah satu TKI ilegal meninggal di Johor Bahru, Malaysia, atas nama Hubertus Bria, warga Malaka.
Vincentius Tius (49), warga Kefamenanu, Timor Tengah Utara, turut berkisah saat ditelepon. Menurut dia, dirinya sudah delapan bulan bersama lima teman berada di Batam, tujuan akhir Malaysia Barat. Namun, mereka ditipu calo pembuat paspor di Batam. Uang senilai Rp 5 juta untuk membuat paspor ”tembak” dibawa lari calo berinisial CK. Calo itu membawa lari uang senilai Rp 15 juta milik lima calon pekerja migran.
Ayah lima anak ini terpaksa bekerja sebagai buruh bangunan di Batam untuk mendapatkan paspor agar bisa masuk Malaysia. Ia mengaku harus hati-hati mencari calo paspor yang baik. Banyak calo bergerilya mencari calon pekerja migran yang masuk Malaysia secara mandiri.
”Saya sudah punya tiga paspor. Paspor kedua dan ketiga dengan sistem tembak. Paspor sistem tembak dengan nilai sampai Rp 8 juta ini sudah lumrah berlaku di Batam dan Nunukan,” kata Tius.
Ia mengaku tidak tahu masa berlaku satu paspor sebenarnya. Masa berlaku paspor ”tembak” dicantumkan petugas imigrasi tidak pasti, yakni 1-3 tahun. Makin pendek masa berlaku, makin cepat proses pembuatan ulang paspor jenis itu.
Tius mengaku sudah hampir 10 kali pergi–pulang dari Malaysia, sebagian besar secara ilegal, tidak memiliki paspor. Ia berangkat pertama kali tahun 1998 saat berusia 25 tahun. Hasil merantau di Malaysia, ia telah membangun rumah, membeli televisi lengkap dengan parabola, dan menyekolahkan dua anak di perguruan tinggi.
Suasana di Bandara El Tari, Kupang, Minggu (17/6/2018). Meski Pemprov NTT telah membentuk Satgas Pencegahan Pekerja Migran Ilegal yang ditempatkan di Bandara dan Pelabuhan Tenau Kupang, keberangkatan TKI ilegal masih marak. Salah satu cara, yakni mereka menyamar sebagai penumpang pesawat di Bandara Kupang menuju kota tertentu di wilayah Pulau Jawa, kemudian dijemput calo TKI di kota itu untuk dibuatkan paspor dengan identitas palsu untuk diberangkatkan ke luar negeri.
Kali ini ia terpaksa mengupayakan paspor karena sudah dua kali ditangkap dan dipulangkan ke Indonesia. ”Memang, kalau kita sudah ditangkap di Malaysia, masuk kategori daftar hitam di Malaysia. Tetapi, di Indonesia dan Malaysia semuanya bisa diatur, kalau menyangkut perut,” katanya.
Sementara Markus Manek (54), warga Nunukan kelahiran Malaka, NTT, mengatakan, bagi warga yang memiliki KTP Nunukan, saat proses pembuatan paspor hanya mengeluarkan biaya sekitar Rp 300.000 per orang. Akan tetapi, warga yang memiliki KTP dari luar harus menyiapkan uang Rp 5 juta–Rp 10 juta untuk mendapatkan satu paspor.
”Saya sempat terlibat sebagai calo paspor selama 15 tahun. Tetapi, saya tinggalkan pekerjaan itu setelah berurusan dengan polisi. Kini, saya terlibat bisnis ikan tuna dari Nunukan ke Tawau, Malaysia,” katanya lewat sambungan telepon.