Tujuh Tahun Petani Kalteng Tak Bisa Berladang, Produksi Beras Turun
Sejak dilarang membakar lahan, petani di Kalimantan Tengah tak lagi berladang. Mereka harus keluar kampung untuk mencari pekerjaan lain demi memenuhi kebutuhan keluarga. Dampaknya, produksi beras turun.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
KUALA KAPUAS, KOMPAS — Tujuh tahun lebih petani di Kalimantan Tengah tak berladang sejak larangan membakar lahan digencarkan. Hal itu turut menyumbang berkurangnya luas panen yang berimbas pada turunnya produksi beras di provinsi tersebut.
Sejak 2015, petani atau peladang di Kalteng dilarang membakar lahan karena rawan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sejak saat itu pula banyak petani masuk bui lantaran nekat mengolah lahannya dengan cara membakar. Tanpa membakar, petani dan peladang meninggalkan ladangnya.
Di Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, sebanyak 261 keluarga tak lagi berladang. Mereka tak bisa menanam padi karena selama hidup mereka berladang dengan sistem tebas lalu dibakar. Sanyo (52), mantir adat (pemuka adat Dayak) di Kalumpang, mengatakan, dirinya tak mau lagi membakar lantaran takut ditangkap polisi. Kini dirinya bekerja serabutan atau biasa disebut buruh harian lepas di berbagai tempat.
”Sejak ada larangan itu, kami beli beras, lumbung padi kami kosong. Sebelumnya, beras melimpah, cukup untuk satu tahun, bahkan kami jual sisanya,” ungkap Sanyo, di Kalumpang, Senin (1/8/2022).
Sanyo memiliki lahan seluas lebih kurang 1,5 hektar. Dulu, di lahan itu ia bisa menghasilkan gabah kering giling (GKG) maksimal 400 belek atau setara enam ton padi dengan estimasi tiap belek diisi 15 kilogram GKG. Belek merupakan tempat atau alat ukur padi dan beras di desa itu. ”Itu beras kualitas paling bagus di sini, namanya padi geragai. Tapi, saat ini sudah tidak ada lagi yang punya benih itu karena habis digiling semua untuk makan,” ungkap Sanyo.
Hal serupa dirasakan Heri Pato (53), ketua RT 003 di desa tersebut. Ia harus membeli setidaknya 25 kg beras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Untuk itu, ia harus merogoh kantong Rp 110.000.
“Semuanya sekarang serba beli. Kalau dulu sayuran bisa didapat di ladang, bahkan sampai tinggal di ladang, sekarang semuanya beli. Berharap dari tukang sayur yang lewat, saya hanya bergantung pada karet dan cari uang di luar,” ujarnya.
Tak hanya di Kapuas, berhentinya masyarakat berladang juga terjadi di Kabupaten Pulang Pisau. Di Desa Pilang, sudah tidak ada lagi yang berladang. Rahmawati (30), warga RT 001 Desa Pilang, saat ini berjualan buah-buahan hutan, seperti durian. Ia menjualnya dari desa ke desa hingga ke Kota Palangkaraya yang berjarak 48 kilometer dari kampungnya. Ia biasa bepergian bersama anak dan suaminya, berjualan di pinggir jalan.
Rahmawati tinggal di rumah kayu berukuran 4 x 5 meter. Dia tinggal bersama suami dan tiga anaknya. Hanya ada satu ruangan tidur dan ruang tamu yang jadi satu. Pasangan yang menikah sekitar 10 tahun itu dulu tinggal bersama orangtua dan bekerja di ladang, juga menyadap karet. Karena tak lagi berladang, ia kemudian membeli dan mengumpulkan buah-buahan hutan untuk dijual.
”Jualan buah itu, kan, musiman, tidak setiap saat. Kalau sedang tidak musim, suami saya kerja apa saja yang halal, di kebun sawit, bangun rumah, bersihkan rumput, macam-macamlah,” kata Rahmawati.
Kondisi itu berdampak pada penurunan produksi padi dan luas panen padi di Kalteng. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kalteng, luasan panen padi selama 2021 mengalami penurunan 12,15 persen dibandingkan dengan 2020. Berdasarkan hasil survei kerangka sampel area (KSA), realisasi panen padi di Kalteng Januari-Desember 2021, yaitu 125.870 hektar, turun 17.410 hektar dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 143.280 hektar.
Produksi pun menurun. Tahun 2021, produksi padi di Kalteng hanya 381.190 ton GKG atau turun 76.760 ton GKG dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 457.950 ton GKG. Jumlah itu jika dikonversi menjadi beras hanya 226.430 ton atau turun 16,76 persen jika dibandingkan dengan produksi beras pada 2020 yang sebanyak 272.030 ton.
Penurunan itu bahkan sudah terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya. Pada 2019, luas panen hanya 146.160 hektar, di mana setahun sebelumnya luas panen mencapai 202.140 hektar. Jika melihat dari sumber data yang sama, tahun 2014 luas panen padi mencapai 242.800 hektar.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan Sunarti mengungkapkan, larangan membakar lahan merupakan perintah Undang-undang. Masyarakat masih bisa mengolah lahan dengan memanfaatkan mesin-mesin pertanian yang sudah tersedia. Dia pun mengatakan, meski produksi beras menurun, persediaan pangan di Kalteng masih sangat cukup.
“Larangan membakar itu harga mati. Sampai saat ini ketahanan pangan Kalteng masih baik, apalagi menanam tidak harus di lahan luas. Bisa memanfaatkan pekarangan dengan tanaman sayuran, buah, sampai tanaman obat,” kata Sunarti.
Dia menjelaskan, ketahanan pangan di Kalteng masih dalam kategori baik jika dilihat dari ketersediaan, distribusi, pasokan, juga keanekaragaman pangan lokal. ”Itu semua jika dikelola dengan baik dan kreatif bisa menambah ekonomi keluarga. Selain untuk memenuhi kebutuhan dapur, bisa juga untuk dijual,” ungkapnya.