Badan Pusat Statistik Provinsi Kalteng mencatat terjadi penurunan produksi padi dari tahun 2018-2020. Salah satu penyebabnya adalah mulai banyak petani yang meninggalkan padi untuk menanam sawit, karet, dan tanaman lain.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PULANG PISAU, KOMPAS — Petani di Kalimantan Tengah beralih dari komoditas padi ke komoditas perkebunan seperti sawit, karet, sengon, dan tanaman keras lainnnya. Hal itu terjadi karena larangan membakar dan biaya produksi yang tinggi. Dampaknya, produksi padi di wilayah tersebut terus menurun.
Di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, kebakaran lahan merupakan bencana yang terjadi hampir setiap tahun. Tahun 2015 merupakan salah satu tahun bencana terburuk yang dialamai warga di sana. Salah satu penyebabnya adalah kebiasaan membakar untuk membersihkan lahan.
Sejak bencana tersebut terjadi, pemerintah kemudian memberlakukan larangan membakar. Petani pun gigit jari. Seperti yang terjadi di Desa Kantan Atas, Kabupaten Pulang Pisau, sebesar 80 persen warganya beralih dari pertanian sawah ke perkebunan.
Sekretaris Desa Kantan Atas Petrus Sukarmin mengungkapkan, sekitar 80 persen penduduk di desa itu beralih dari pertanian sawah ke perkebunan. Hal itu sudah dilakukan sejak 2016.
”Kami sudah mencoba untuk tetap menanam di sawah tanpa membakar, tetapi biayanya lebih mahal, hasilnya juga gak seberapa,” ujarnya di Pulang Pisau, Minggu (19/9/2021).
Petrus mengaku dirinya yang memiliki lahan seluas lebih kurang 2 hektar pun beralih dari menanam padi menjadi menanam sawit. Kini sawitnya sudah berumur empat tahun dan sudah mulai panen. Dari 2 hektar lahannya, 1,5 hektar ditanami sawit dan sisanya ditanami karet.
Kami sudah mencoba untuk tetap menanam di sawah tanpa membakar, tetapi biayanya lebih mahal, hasilnya juga gak seberapa.
”Tapi, ya, selama menunggu sawit dan karet bisa dipanen, kami kerja serabutan, ada yang ke perusahaan jadi buruh sawit, ada yang keluar kota, sekarang sudah mulai sibuk mengolah kebun saja. Jadi beras itu, ya, beli,” kata Petrus.
Hal serupa terjadi di Desa Talio Hulu. Sekretaris Desa Talio Hulu Widodo menjelaskan, saat ini lahan pertanian yang masih digunakan untuk menanam padi di desa lebih kurang tersisa 1.500 hektar saja, padahal sebelumnya mencapai 3.500 hektar.
Ssaat ini, di lahan sisa pertanian itu pun warga perlahan mulai beralih menanam karet dan sawit di perbatasan petak sawah. Termasuk di lahan milik Widodo. ”Saya sudah mulai menanam sawit, apalagi harganya lagi bagus,” ujarnya.
Peralihan dari padi ke komoditas lainnya itu berdampak pada banyak hal, salah satunnya adalah turunnya produksi padi di Kalimantan Tengah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalteng, produksi padi 2020 sebanyak 425.110 ton gabah kering giling (GKG) lebih sedikit dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya yang mencapai 443.560 ton atau turun sebesar 18.450 ton.
Namun, jika dibandingkan tahun 2018, produksi 2019 menurun cukup drastis hingga mencapai 71.210 ton GKG. Tahun 2018, Provinsi Kalteng mampu memproduksi 514.770 ton GKG. BPS Provinsi Kalteng mencatat, penurunan produksi itu terjadi karena luas lahan panen yang juga menurun dari 146.140 hektar tahun 2019 menjadi 144.210 hektar tahun 2020.
Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kembali produksi pertanian adalah dengan adanya Program Strategis Nasional (PSN) Food Estate. Dihubungi melalui pesan singkat sebelumnya, Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Provinsi Kalteng Sunarti menjelaskan, di Kabupaten Pulang Pisau, luas lahan yang digunakan dalam program tersebut mencapai 10.000 hektar dengan luas panen mencapai 9.637 hektar dengan hasil pada 2020 mencapai 30.275 ton padi.
”Saat ini di Kapuas, pemerintah membangun banyak (food estate) untuk mendukung pertanian. Saat ini kerja sama dengan beberapa pihak (dilakukan) untuk menggarapnya, nanti saat lahan sudah stabil dan normal diharapkan petani sudah mampu menggarap sendiri,” ujar Sunarti.
Revitalisasi ekonomi
Selain perkebunan, beberapa desa di Kabupaten Pulang Pisau juga mendapatkan program bantuan untuk revitalisasi ekonomi dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) melalui lembaga Kemitraan. Mereka membentuk kelompok usaha, seperti budidaya jamur tiram, produksi kopi liberika, dan banyak lagi.
Di Desa Talio Hulu, Kelompok Wanita Tani bentukan BRGM memproduksi kopi liberika dengan kemasan sendiri, lalu menjualnya ke beberapa warung kopi hingga kafe. ”Hasilnya untuk kelompok nanti dibagi-bagi,” ujar Apriyani (39).